Komitmenlah yang membuat dua orang terikat dalam sebuah hubungan. Seperti perjanjian, suatu hari akan dipertanyakan. Sekuat itu Ayya menggenggam ikatan meski sedari awal tak terlihat ada masa depan.
Sementara Ali butuh cukup waktu untuk me-reset ulang perasaannya setelah masa lalu bersarang terlalu lama dalam ingatan.
Akan dibawa ke manakah rumah tangga mereka yang didasari atas perjodohan orang tua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbu'na Banafsha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Komitmen
Berada diantara Ali dan Ibra, Ayya merasa sangat tidak nyaman, dia putuskan untuk menyusul orang tuanya yang tengah berada di rumah kakaknya.
“Mas Ali dan Mas Ibra, silahkan lanjutkan ngobrol-ngobrolnya, Ayya mau nyusul Umi sama Abi di rumah kak Bayu.”
Tinggalah Ali dan Ibra duduk berdua di rumah itu
“Ibra, aku hanya ingin mengingatkan padamu bahwa aku tidak mungkin melepaskan Ayya jadi aku harap kamu bisa mengerti.”
“Aku tahu itu, Mas. Jangan khawatir.”
“Tapi sepertinya kamu masih memperrlihatkan usahamu di depan Ayya dan juga orang tuanya.”
“Karena aku belum melihat tanda-tanda keseriusanmu terhadap Ayya, Mas. Selama kamu belum meresmikan pernikahanmu dengan Ayya, aku anggap aku masih memiliki kesempatan untuk merebutnya.”
Ali mulai geram, ia mengepalkan jari-jarinya karena sikap Ibra yang ngeyel membuatnya naik darah.
“Perlu kamu tahu, kalau aku sedang mengurus pernikahan resmiku dengan Ayya, hanya tinggal menunggu waktu saja.”
“Lalu bagaimnana dengan Vina? kamu sudah janji pada almarhumah ibunya untuk menjaga Vina.”
“Menjaganya tapi tidak berarti harus menikahinya lagi 'kan?” jawab Ali mengelak.
“Kalau begitu lakukan dengan baik, jika kamu bisa menjaga Vina tanpa menyakiti Ayya, baru aku akan menyerah.”
“Cihh, sekarang pulanglah! kamu sudah terlalu jauh ikut campur dalam rumah tangga orang.”
Ali meninggalkan Ibra sendirian duduk di ruang tamu, dan karena merasa kehadirannya tidak dianggap, Ibra pun pergi begitu saja.
Ali yang tinggal seorang diri di rumah, menelpon Ayya untuk segera datang. Dalam beberapa menit Ayya datang dan dilihatnya Ibra sudah pulang.
“Mas Baim sudah pulang, ya.”
“Ya, mungkin karena kamu gak ada, dia bosan lalu pulang.”
“Dia ke sini bukan untuk menemuiku, Mas. tapi untuk Abi dan Umi, dia kan gak tahu aku ada di sini.”
“Itu cuma alasan dia, Ayy. Sebenarnya dia mau deketin kamu lewat Abi dan Umi, pake beliin hp buat umi segala lagi, aku 'kan masih mampu membelinya buat umi.”
Ayya tahu kalau suaminya ketemu Ibra, bahasannya akan sangat panjang, jadi Ayya memilih diam dari pada menanggapinya.
“Kenapa diam saja?”
“Aku harus ngomong apa, Mas?”
Ali menarik tangan istrinya duduk di sebelah sambil bersandar di sofa, tangannya memeluk Ayya yang bersandar di dadanya sambil mencium pucuk kepalanya.
Jantung Ayya berdegup kencang jika berada dekat dengan Ali. Benih-benih cinta mungkin sudah muncul di hatinya, sayang sekali Ayya tidak pernah mengetahui perasaan suami terhadapnya, karena ini seperti misteri yang sulit dipecahkan, hanya waktu yang akan menjawabnya.
“Mas, berapa hari rencana kita di sini?”
“Kenapa memangnya? apa kamu mau pulang ke Jakarta? belum juga sehari.”
“Bukan begitu, Mas. Ayya baru ingat, kita pergi meninggalkan mbak Vina yang lagi sakit di Jakarta.”
“Aku sudah telpon bik Nur supaya dia yang urus Vina, jadi jangan bahas Vina dulu sekarang.”
“Baiklah.”
“Ayy, apa aku boleh tanya sesuatu?”
“Tanya apa, Mas?”
“Tentang hubunganmu dengan Ibra.” tanya Ali sedikit ragu.
“Aku gak pernah ada hubungan apa-apa, Mas.”
“Sebelum kita menikah, apa dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya sama kamu?”
“Tidak pernah.”
“Lalu kenapa dia tidak berhenti mengejar kamu.”
“Aku tidak tahu, Mas,” jawab Ayya, wajahnya bersembunyi di balik dada suaminya.
“Kamu yakin tidak tahu?”
“Kenapa tidak mas tanyakan langsung pada orangnya?”
“Iya, dia sudah mengatakannya secara terang-terangan dan juga berkali-kali.”
“Apa yang dikatakannya?”
“Dia bilang tidak akan melepaskanmu begitu saja, jadi kurasa tidak mungkin jika diantara kalian tidak ada hubungan apa pun.”
Ayya bangun dan melepaskan diri dari pelukan suaminya sambil menghela nafas.
“Mungkin kami pernah terlihat sangat dekat, bahkan dia sempat memintaku menunggunya, sesaat sebelum dia berangkat ke luar negeri, hanya itu.”
“Lalu kenapa kamu tidak menunggunya?”
“Karena diantara Ayya dan mas Baim tidak pernah ada komitmen atau ikatan apapun, untuk apa Ayya pertahankan hubungan tanpa status?”
“Sepenting itukah arti sebuah Ikatan, Status dan komitmen dibandingkan perasaan kamu sendiri, Ayy?”
“Komitmenlah yang membuat dua orang saling terikat dalam satu hubungan, seperti sebuah perjanjian, suatu hari nanti akan dipertanyakan.”
“Apa karena keterikatan itu, kamu bertahan menjadi istriku?”
“Tentu saja, kalau bukan karena itu, mungkin posisimu tidak jauh beda dengan mas Baim.”
“Selain karena ikatan, tidak pernah kah kamu mencintaiku, walau hanya sedikit?” tanya Ali sambil menaikan alisnya.
“Haruskah Ayya mencintai Mas Ali? Ayya pikir mencintai lelaki yang hanya mencintai wanita lain dalam hidupnya, itu akan sangat melelahkan dan menyakitkan.”
“Kalau begitu, jangan mencintaiku sebelum aku mencintaimu, supaya kamu tidak terluka.”
“Memangnya kapan sejarah itu akan tertulis? kapan Ayya akan mengetahui perasaan mas Ali, rasanya itu tidak mungkin.”
“Aku mengerti,” ucap Ali sambil menatap mata Ayya. “Aku minta maaf, Ayy.”
“Maaf untuk apa?”
“Karena aku tidak seperti yang kamu harapkan.”
“Aku hanya bingung saja, Mas. Mau dibawa kemana hubungan kita, akan seperti apa rumah tangga yang kita jalani ini?”
“Aku harap kita bisa mencari jawabannya bersama-sama, aku memang egois karena selalu menahanmu untuk pergi, itu karena aku merasa senang jika melihatmu ada di sisiku, dan aku sangat respect jika kamu memutuskan untuk tetap bertahan berada di samping laki-laki seperti aku dengan segala kekurangku.”
Ayya menghela napasnya, dia kembali menjatuhkan kepala di dada suaminya tanpa mengatakan apa pun.
Suasana menjadi sangat hening, bersandar di dada suaminya yang nyaman membuat Ayya hanyut dalam kehangatannya. Rasa kantuk tak dapat dihindarkan lagi, kelopak matanya sayup-sayup kian menutup dan hilanglah kesadarannya. Ketika kepala Ayya semakin terasa berat jatuh di dadanya, Ali mengguncang dengan pelan pipi istrinya.
“Ayy, kamu tidur?” bisik Ali dengan pelan, “Ya ampun Saliva-mu membasahi kemejaku,” Ali bercanda untuk membangunkan istrinya, Dilihatnya dia semakin pulas lalu Ali pindahkan kepala Ayya ke paha nya dan menaikan kakinya ke sofa.
Tak ada yang bisa dilakukan Ali saat ini, bahkan tak ada seorang pun yang bisa diajaknya ngobrol, sesekali dia pandangi wajah istrinya yang tengah tertidur sambil memainkan telunjuk ke wajah Ayya. menyentuh satu persatu bagian wajah yang mulus seperti pualam.
Tak lama kemudian terdengar suara beberapa orang yang baru tiba dan membuka pintu, mereka adalah Bu Aisyah, pak Ramlan, bersama anak, menantu dan juga cucunya yang sengaja datang untuk menemui Ali. Ali menjawab salam dan juga sapaan dari Kaka iparnya yang jika di lihat dari segi umur, Bayu kakaknya Ayya lebih muda dari Ali.
Seorang anak perempuan berusia 6 tahun jongkok di depan sofa tempat Ayya tertidur, lalu dia duduk sambil memandangi wajah Ayya.
BERSAMBUNG ...
Readers-ku tersayang mana suaranya? Author doakan semoga kalian selalu sehat dan banyak rejeki. Jangan lupa angkat jempolnya buat tekan like dan komen di bawah, dukung selalu karya-karya recehanku, supaya lebih semangat up-nya.😘