Bagaimana rasanya, jika dituduh menyembunyikan lelaki dan berbuat yang tidak-tidak, lalu dipaksa menikahi Lelaki yang baru ia kenal.
Hayu terpaksa menikah dengan Devan, seorang pria yang amnesia, dan membantu lelaki tersebut pulih. Disaat pernikahan berjalan mulus dan romantis, keluarga Devan datang dan membawa pria itu pergi.
Namun, dapatkah Hayu menerima identitas asli Suaminya itu? Dan, berjuang mendapatkan restu kedua orang tua Devan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alisya_bunga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 28 – Menyesal!
Hening!
Devan tidak bergerak sedikitpun untuk membantu sang Istri, emang Suami lacnutt. Hayu dengan tubuh polosnya tanpa sehelai benang pun hanya diam, dengan menahan malu. Ia berusaha menutup tubuhnya yang naked agar Devan tak melihatnya.
Aduh, bodohnya. Kenapa aku lupa kalo aku tidak mengenakan apa-apa!' pekik Hayu dalam hatinya.
"Apa yang coba kau tutup-tutupi dariku? Aku sudah melihat semuanya..." Devan mendekati telinga Hayu lalu berbisik.
"Bahkan sudah menikmatinya," bisik Devan, dengan sensual. Membuat Hayu merona.
"Massssss!"
"Kalo enggak mau bantu udah sana pergi," usir Hayu, sebal.
Devan tanpa aba-aba mengangkat tubuh Hayu ala bridal style membuat Hayu semakin malu, karena tubuhnya semakin terekspos. Tapi mau bagaimana lagi, ia sudah tidak sanggup berjalan.
Jangankan berjalan, mungkin dudukpun pinggangku sakit. Ya Allah, aku tau dia kekar dan kuat. Tapi siapa sangka semalamanpun tidak cukup untuknya,' batin Hayu memikirkan kejadian semalam, dimana ia dihajar habis-habisan oleh Devan. Sampai dirinya tak sadarkan diri.
"Sana mandi..." Devan hendak pergi, namun Hayu menahannya.
"Jangan pergi kerja dulu. Aku... Aku ada sesuatu yang harus aku omongin sama kamu. Penting!" Hayu menatap Devan sungguh-sungguh. Ia tak mau kesalahpahaman ini berlanjut yang akhirnya membuat hubungan mereka rengang.
Devan dengan pasrah mengangguk.
Lima belas menit kemudian.
Hayu sudah siap, walau ia harus menahan sakit dibagian selangkangannya. Tapi ia harus tahan bagaimanapun ia menikmatinya semalam. "Hah! Tolong, pikiran buruk pergilah!" teriak Hayu menatap wajahnya di cermin.
Mereka saat ini sedang berhadapan. Hayu mulai keringat dingin.
"Mas, aku mau bilang sesuatu. Tapi... sebelum itu kamu jangan marah yah?" tanya Hayu dengan wajah memelas.
Devan mengernyit bingung, juga penuh curiga. Tapi ia sangat penasaran. "Baiklah, tergantung apa dulu," jawab Devan seadanya.
"Ish, kok gitu! Udah enak loh kamu semalam! Masa enggak kasih toleransi?" Hayu memalingkan wajahnya sebal.
"Enak? Bukankah kau juga merasakan enak juga?" tanya Devan, terdengar menggodanya.
Hayu memerah."Ap---apa sih... Ga---gak usah bahas itu!"
"Aku serius! Aku mau ngomong, jangan marah yahhhh. Tolong dong, Suamiku," bujuk Hayu, mengedip-ngedipkan matanya manja.
Devan yang melihat tingkah imut Hayu semakin gemas. Kau memang benar-benar bisa membuatku seperti ini, Hayu. Bahkan sekarang aku ingin menerkammu lagi,' batin Devan, menahan gejolak dirinya.
"Cih, cepetlah. Tidak ada tawar menawar, jika aku mengetahui sesuatu ini dari orang lain, kau tau aku akan lebih marah," ucap Devan dengan dingin. Dalam hatinya ia sudah menebak apa yang akan dikatakan Hayu.
Mungkin, tentang Hayu yang pergi bersama Johan kemarin.
"Ak-Aku minta maaf... Aku takut cerita sama kamu, kalo sebenarnya rumah ini milik kami, tapi tidak dengan tanahnya." Hayu mulai bercerita dengan kepala tertunduk.
"...Dan, pemilik tanah ini adalah Neneknya, Johan. Dia sangat baik kepada kami dan menganggap Ibu adalah anaknya dan aku Cucunya."
"Karena Nenek Sari sudah meninggal. Johan mengancam ku akan mengambil tanahnya kembali," jelas Hayu dengan menahan tangisnya.
Devan terdiam. Hatinya terasa tersayat silet mendengar penjelasan Istrinya, apa lagi mendengar suara serak Hayu yang menandakan ia menangis.
Astaga. Apa yang aku lakukan! Aku melakukan hal itu tanpa pikir panjang bahkan aku belum yakin aku mencintainya atau tidak?' batin Devan.
Menyesal? Ya, ia sedikit merasa menyesal melakukan hal itu. Namun, ia lebih merasa bahagia daripada menyesal.
"