Resta adalah seorang pemimpin sekaligus pemilik salah satu perusahaan percetakan terbesar di kota Jakarta. Memiliki seorang kekasih yang sangat posesif, membuat Resta harus mengganti sekretarisnya sesuai kriteria yang diinginkan sang kekasih. Tidak terlihat menarik, dan tidak berpenampilan menggoda, serta berpakaian serba longgar, itu adalah kriteria sekretaris yang diinginkan kekasihnya dalam mendampingi pekerjaan Resta.
Seorang gadis berpenampilan culun bernama Widi Naraya hadir, Resta menganggapnya cocok dan sesuai dengan kriteria yang diinginkan kekasihnya. Hari-hari yang mereka lalui berjalan dengan aman dan profesional, sebagai bos dan sekretaris. Sampai ada satu hal yang baru Resta ketahui tentang Aya, dan hal itu berhasil membuat Resta merasa terjebak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merayakan hari kebebasan
langit senja menemani perjalanan mereka. Ini adalah kali kedua mereka pergi bersama, di satu mobil yang sama. Aya tak banyak bicara, dia masih mencoba meredam kekesalannya karena perlakuan Nadine terhadapnya.
Ya ampun. Aya mengeluh dalam hati. Ada ya manusia aneh kayak dia, cantik-cantik kok bar-bar.
Aya mengelus dadanya. Dia juga tidak habis pikir berani memaki Nadine seperti tadi, untung saja Nadine bukan lagi kekasih bosnya sejak detik itu. Jika masih, Aya tidak tahu nasibnya akan seperti apa setelah dia memaki.
Mata Aya menatap lurus pada jalanan, pada kendaraan-kendaraan yang melaju di depan mereka. Sesekali dia juga menatap langit sore hari. Karena hari ini tidak mendung dan hujan, langit terlihat sangat cantik dengan warna jingga, terkena bias matahari yang akan tenggelam.
“Sebenarnya, kita mau ke mana Pak?” Aya membuka suara. Dia merasa punya hak untuk bertanya. Karena dia mulai curiga pada Resta. Bukankah jika bertemu klien, semua jadwal ada padanya? Sedangkan hari ini, mereka tidak ada jadwal ke mana pun.
“Ke tempat yang asyik. Sebentar lagi nyampe,” sahut Resta.
Tidak berapa lama setelah Aya bertanya, Resta membelokkan mobilnya dan masuk ke pelataran parkir salah satu hotel berbintang.
“Pak, nggak salah tempat?” Bagaimana tidak panik. Aya tidak pernah pergi ke tempat seperti ini sebelumnya. Apa Resta akan berbuat yang tidak-tidak padanya.
“Nggak, ini udah benar. Ayo kita bersenang-senang, Ay!” Resta mengulas senyum bahagia. Dia tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan kebebasan ini.
Hubungan yang berawal dari coba-coba, karena kata teman-temannya, pacaran itu asyik, ada yang perhatikan, ada yang peduli, ada yang sayang, juga punya tempat untuk melampiaskan hasrat. Ya memang itu benar, tapi indahnya Resta rasa di awal-awal saja. Lama-lama Resta merasa memiliki anjingg penjaga yang selalu mengekorinya. Nadine yang sempat membuatnya terpikat, lama kelamaan sosoknya begitu mengerikan dan ingin selalu dia hindari.
“Pak, bersenang-senang di hotel, maksudnya apa? Pak, jawab, jangan dia aja!” sedari tadi Aya protes. Namun, Resta tidak menanggapinya karena dia sibuk dalam lamunannya.
“Tenang Ay, saya tau apa yang ada dipikiran kamu. Bukan itu senang-senang yang sayang maksud.” Resta membuka sabuk pengamannya. “Ayo turun!” titah Resta.
Jika Resta tidak bermaksud lain padanya, kenapa harus ke hotel. Memangnya tidak ada tempat lain? Aya menunduk, dia tidak langsung turun seperti yang dipinta Resta.
“Aya, turun.” Resta mengetuk kaca jendela di sisi Aya.
Mau tidak mau, Aya turun. Dia sudah menyiapkan sesuatu di dalam tasnya jika Resta hendak berbuat yang tidak-tidak padanya. Aya memiliki sebuah senjata yang selalu dia bawa ke mana-mana, di dalam tasnya. Dia sadar, dunia ini kejam. Tidak semua orang yang terlihat baik selalu baik.
“Jalan di samping saya.” pinta Resta lagi.
Aya berkerut kening. Kenapa bosnya ini rewel sekali hari ini, apa karena baru putus cinta? jadi pikirannya agak terganggu.
“Saya di belakang aja.” Aya bersikeras, tidak mau menyamakan langkahnya dengan Resta karena sadar akan posisinya siapa.
“Jalan di samping saya, atau harus saya gandeng paksa?” ancam Resta lagi.
Aya memutar bola matanya, mengambil langkah untuk maju dan berjalan sejajar dengan Resta, menunu lift di hotel itu. “Pak, jangan aneh-aneh sama saya kalau Bapak nggak mau saya bikin pingsan.” Aya balas mengancam. Dia berdiri berjauhan dengan Resta saat mereka berada di dalam liftt. Aya memperhatikan tangan Resta memencet lift dengan lantai tertinggi di hotel ini.
Resta hanya tertawa menanggapinya. “Kalau saya mau berniat lain sama kamu, kenapa nggak dari kemarin waktu kita berdua di ruang rahasia kita?”
Aya hanya diam, melipat kedua lengannya di dada.
“Tenang Ay, saya udah bilang. Nggak akan merusak perempuan yang menjaga dirinya.” tegas Resta.
Sekitar lima beberapa menit mereka berada di dalam lift, akhirnya mereka sampai di lantai tertinggi. Harus menaiki beberapa anak tangga lagi untuk sampai ke tempat tujuan. Aya bernapas lega karena Resta tidak mengajaknya ke kamar, melainkan ke sebuah tempat yang ramai. Aya tidak tahu ini bar, longue, kafe atau restoran. Yang jelas, tempatnya sangat bagus. Berada di rooftop, banyak pasangan muda mud sedang bercengkerama, tertawa, sambil menikmati hidangan yang ada di meja.
“Temani saya merayakan hari kebebasan saya.” Resta menghempaskan tubuhnya di atas sebuah sofa. Ya, dia telah melakukan reservasi terlebih dahulu dan memilih tempat duduk yang paling nyaman.
“Sebahagia itu Pak, baru putus? nggak ada sedih-sedihnya,” sindir Aya. Dia imut tersenyum melihat Resta yang juga mengulas senyum lebar, sambil menatap langit.
“Bahagia sekali, saya nggak tau harus gimana.”
“Biasanya dulu, almarhum ibu saya selalu bikin acara syukuran kalau dia lagi bahagia.” timpal Aya.
Mendengar kata almarhum, Resta sedikit tercengang. “Ibu kamu udah meninggal?”
Aya mengangguk.
“Selama ini, kamu tinggal sendirian? punya saudara?”
“Saya anak tunggal,” sahut Aya.
Resta mengangguk menatap Aya dengan tatapan iba. “Kalau boleh tau, Ayah kamu masih berapa lama lagi?”
“Saya nggak ingat, mungkin dua tahun lagi.”
“Be yourself Ay. Jadi diri kamu sendiri setelah ini, kamu nggak perlu menyamar jadi jelek lagi.” saran Resta.
“Saya udah nyaman begini sih sebenarnya, lebih aman. Tiap pulang kerja, jalan kaki, atau ke mana aja, nggak ada yang ngelirik saya. Dan itu membuat saya nyaman, sekaligus khawatir,” jelas gadis itu.
“Khawatir tentang?”
“Nggak ada yang mau sama saya, bakalan susah dapat jodoh.”
Resta tertawa mendengar jawaban polos Aya. “Makanya jadi diri kamu yang biasa, mulai sekarang.”
Aya mengangguk pelan. Dia menikmati suasana, jika tahu akan diajak ke tempat seperti ini, tidak mungkin dia berani mengancam Resta seperti tadi.
“Gimana, setelah saya ajak ke sini, masih mau bikin saya pingsan?” tanya Resta dengan mada mengejek.
“Maaf Pak, tadi itu saya cuma bercanda. Tapi kalau Bapak beneran ajak saya ngamar, ya lihat aja nanti apa yang bakalan saya lakukan.” tegas Aya.
“Tapi nanti suatu saat kita pasti bakalan tidur sekamar-“
Aya menggeleng. “Nggak bakalan. Nggak ada alasan untuk itu. jangan anggap saya perempuan gampangan kayak yang pernah bapak kenal.”
Resta tertawa lagi. “Maksud kamu, Nadine?”
“Saya nggak sebut nama,” sahut Aya.
“Tapi kamu mengarah ke sana, kan?”
“Ya begitulah.” aku Aya.
“Udah jangan bahas dia. kita bahas yang lain aja Ay.” Resta mendengkus kesal, mendengar nama Nadine saja benar-benar membuatnya muak.
“Bahas apa?” tanya Aya.
“Bahas tentang kamu aja.”
Kali ini Aya yang tertawa. “Apa yang mau bapak tau tentang saya? nggak ada yang menarik.” tolak Aya.
“Tapi kamu unik.” Resta menegakkan tubuhnya, tak lagi bersandar, dia menatap lebih dalam pada Aya.
“Di mana Endri dapat sekretaris unik kayak kamu, ya? kalian kenal di mana? beneran nggak punya hubungan apapun?” Resta melontarkan sederet pertanyaan yang bertubi-tubi padanya.
“Kami kenal dari kecil-“
“Sahabat kecil?”
“Sejenis itu lah, tapi… ya begitulah.” Aya terlihat ragu ingin menjelaskan, ingat pesan Endri jangan sampai ketahuan kalau mereka sepupu. Apa mungkin Endri malu punya saudara sepertinya, bisa saja.
“Sekarang teman tapi mesra? atau mungkin friend with benefit?”
“Hah, maksud bapak?” Aya tersindir dengan kata-kata itu. Dia pernah mendengar istilah friend with benefit.
“Nggak… nggak, saya nggak bermaksud apapun. Kita ngobrol dari tadi, belum pesan apapun. Silakan pilih Ay, jangan bilang kamu ngikut saya lagi.”
Aya mengangguk, lalu mulai membuka menu.
Like like like ❤️
sehat selalu yaa thor, selalu ciptain karya² yg luar biasa ❤️