Blurb
Arjuna Syailendra dan Anggita Jelita, menerima perjodohan demi kepentingan masing-masing. Bersama bukan karena cinta, tetapi hanya sebatas azas manfaat.
Akankah rasa berdebar tak terencana tumbuh di hati mereka? Sementara Arjuna hanya menganggap Anggita sebagai pelampiasan dari cinta tak berbalas di masa lalu.
Ikuti kisah mereka yang akan menguras emosi. Selamat membaca🤗.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senjahari_ID24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14b
Istri Arjuna bab 14b
Di ruang tamu, dua orang wanita elegan nan anggun sedang duduk menyilangkan kaki. Marina ibunya Arjuna, datang berkunjung bersama anak sulungnya Maharani Syailendra yakni kakak Arjuna. Lina menghidangkan kopi murni tanpa gula sesuai permintaan tamu yang juga merupakan keluarga tuannya.
Marina menoleh ke arah undakan tangga. Tampak Arjuna turun menggandeng Anggi. Ia bangkit, menaruh tas dan menghampiri anak menantunya, sedangkan Maharani lebih memilih meraih cangkir, duduk tegak juga kaku, tidak tertarik untuk menyapa.
“Mami kangen kalian. Terutama kamu, Anggi.” Marina membuka kedua lengan. Mengundang Anggi untuk memeluknya.
“Aku juga. Mi.”
Begitu sampai di undakan terakhir, tanpa sungkan Anggi memeluk ibu mertuanya. Orang yang selalu memperlakukannya seperti anak sendiri. Tidak membedakan antara anak kandung maupun menantu.
“Kenapa Mami tidak memberitahu mau datang? Kalau mengabari, pasti aku jemput ke Bandara. Jam berapa dari Bali?” Juna bertanya setelah mencium punggung tangan Marina.
“Sekitar pukul tiga sore. Memang sengaja tidak mengabari. Mami datang ke Jakarta karena ada keperluan mendadak, Rekan Mami mengundang untuk datang di pesta pernikahan anak mereka. Sekalian ingin menjenguk kalian juga Bu Ningrum. Katanya kamu juga sakit, sakit apa? Pandu yang bilang saat Mami mampir ke kantor. Pandu memberitahu Juna tidak masuk karena kamu sedang kurang sehat.” Marina beralih pada sang menantu.
Juna tampak kikuk. Khawatir Anggi berkata jujur bahwa sakitnya disebabkan oleh dirinya yang mendesakkan amarah dalam hasrat gila. Marina pasti murka jika mengetahui alasan yang sebenarnya.
Maka dari itu Maharani tidak pernah suka akan kehadiran Anggi di tengah-tengah keluarganya. Dia benci perlakuan ibunya yang begitu menyayangi Anggi. Merasa tersaingi karena selama ini di keluarga besar Syailendra dia diperlakukan bak putri raja, tidak seperti saudari-saudari sepupunya. Kebenciannya bertambah berkali-kali lipat saat Batara suaminya pernah diam-diam mengamati Anggi dengan tatapan penuh minat, memupuk racun dengki semakin bertumbuh subur.
“Eh. I-itu, aku hanya demam sama tidak sengaja terpeleset di kamar mandi,” jawab Anggi pelan. Tenggorokannya kering, berharap Marina percaya ucapannya.
“Cih, cuma demam sama terpeleset saja manjanya minta ampun! Masa hanya gara-gara itu Arjuna sampai tidak bisa ke kantor? Kekanak-kanakan!” Maharani berujar sinis tanpa mengalihkan mata dari nail art cantik di kuku-kuku tangannya.
“Anggi tidak pernah meminta, Mbak. Aku sendiri yang berinisiatif. Sebagai suami aku harus bertanggungjawab penuh terhadap istriku,” sambar Juna dengan nada rendah demi memanipulasi geram yang ingin menghambur dari lisan.
Kalimat pembelaan Juna entah mengapa membuat Anggi merasa tersentuh. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya dan ia benci itu. Anggi lebih suka Juna yang culas ketimbang yang penuh perhatian. Takut benteng jiwanya yang rapuh runtuh begitu saja jika Juna terus-menerus bersikap seperti sekarang.
“Rani, your language.” Marina memperingatkan anak sulungnya yang disambut dengusan tak suka dari Maharani.
“Juna. Mami dan Mbakmu berniat menginap beberapa hari di sini. Rani ikut datang karena mempelai wanita yang akan menikah merupakan teman satu kampusnya dulu. Tapi setelah mendengar Anggi sakit, mungkin Mami akan menginap di hotel saja. Khawatir menganggu pemulihan istrimu,” jelas Marina panjang lebar kepada Arjuna, kemudian mengusap-usap kepala Anggi penuh sayang.
“Menginap di sini saja, Mi. Lagi pula aku sudah baikan. Di sini masih banyak kamar kosong,” pinta Anggi tulus. Walaupun jengah dengan kehadiran Maharani ia akan berusaha menahannya. Mertuanya datang jauh-jauh dari Bali malah menginap di hotel sungguh membuatnya tak enak hati, sementara di rumahnya kamar yang tidak dipakai masih berjejer beberapa.
“Aku minta kamar yang paling lengkap fasilitasnya juga steril. Aku tidak bisa tidur jika bukan di tempat yang super bersih!” Maharani menyela obrolan. Menuntut dipenuhi keinginannya dengan nada memerintah yang kental.
“Iya, Mbak. Nanti biar Bik Tiyas yang siapkan,” jawab Anggi sembari meremas jemari Juna. Berusaha menenangkan lantaran ekspresi Juna saat ini laksana seekor naga yang siap menyemburkan api.
TBC
JUNA NYEBELIN TINGKAT TINGGI 😡