Bella Cintia?" Gumam Eric. Dia seolah tidak asing dengan nama itu. Bahkan ketika menyebutnya namanya saja membuat hati Eric berdesir menghangat.
"Kenapa harus designer ini?" Tanya Eric.
"Karena hanya dia yang cocok untuk mode produk kita pak."
"Apalagi yang kau ketahui tentang designer ini?" Tanya Eric kembali.
"Dia adalah salah satu designer terkenal di dunia. Dia sering berpindah dari negara satu ke negara lain. Karena dia memiliki cabang butiknya hampir di setiap negara yang dia tinggali. Namanya Bell's Boutique. Tapi untuk rumah mode utama nya, dia hanya memilikinya di negara ini. Nama rumah mode itu adalah Bellaric."
Eric terkesiap kala manager produksi itu menyebutkan kata Bellaric.
"Bellaric?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LidyaMin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gue Eric Raharsya
Seminggu sejak kejadian Eric mengetahui tentang hubungan Ardi dan Clara, dia lebih banyak di sibukkan dengan kegiatan yang bisa di bilang untuk menghilangkan stressnya. Bermain game di ponselnya atau membaca buku di perpustakaan pribadinya.
Dia tahu kalau David atau Daniel sering datang ke kantor ataupun apartemennya. Tapi Eric selalu berkata pada sekretarisnya untuk tidak mengatakannya dia ada. Begitu juga saat mereka datang ke apartemen, Eric tidak pernah mau membuka pintu. Panggilan telepon ataupun pesan tidak pernah dia pedulikan. Dia hanya ingin menenangkan dirinya dengan caranya sendiri tanpa ada gangguan.
Hari ini Eric akan ke kantornya. Sekretarisnya tadi menelepon ada yang harus dia tanda tangani. Eric sudah bersiap-siap di depan cermin. Seperti biasa dia selalu tampil tampan dan menawan.
Tiba di kantor seluruh pegawai yang bertemu dengannya menyapa Eric dengan sopan, dan di balas dengan senyuman ramahnya. Erika menyerahkan beberapa dokumen yang harus Eric tanda tangani. Usai melakukannya pekerjaannya, Eric rehat sejenak dengan melonggarkan dasinya.
Ingatannya kembali melayang pada kejadian seminggu yang lalu. Kedua sudut matanya basah. Sulit bagi Eric untuk melupakan rasa sakit yang dia terima ini. Dia membuka galeri foto di ponselnya. Eric tersenyum tipis tapi juga terluka kala melihat foto-foto mesranya bersama Clara.
"Jadi begini kah akhirnya?" Eric terkekeh kecil.
"Haruskah rasanya sesakit ini?"
Eric menghembuskan nafasnya kasar lalu jarinya dengan lincah menghapus semua foto-foto dirinya bersama Clara di sana. Dia memblokir dan juga menghapus semua nomor ponsel para sahabatnya, termasuk nomor ponsel Clara.
Eric sudah mengambil keputusan mulai sekarang dia tidak akan mengingat mereka lagi. Mulai sekarang dia harus memulai kehidupannya yang baru. Eric menyeka kasar pipinya yang basah karena menangis.
"Gue gak layak menangis lagi. Gue Eric Raharsya. Gue harus buktikan kalau gue bisa hidup tanpa kalian semua. Gue gak benci kalian. Tapi gue benci karena ketidakjujuran kalian sama gue. Gue kecewa." Ucap Eric dengan tegar.
Eric bergegas keluar dari kantornya. Dia sudah meminta pada sekretarisnya untuk membatalkan semua pertemuan pentingnya hari ini. Eric ingin bertemu dengan papa nya. Selain dia merindukan papa nya, ada hal yang ingin Eric diskusikan dengan papa nya.
(Mau tahu detail obrolan Eric dan papa nya, bisa baca kembali novel Author sebelumnya BOSS KU AYAH ANAKKU).
.
.
.
Eric sudah berada di apartemennya lagi. Dia mulai mengemasi barang-barang yang akan di bawa ke tempat di mana dia akan tinggal nantinya. Tadi saat dia bertemu dengan papa nya, Eric mengajukan diri untuk mengurus salah satu perusahaan cabang milik papa nya di luar negeri.
Papa nya menyetujui. Karena sudah lama papa Eric meminta hal itu. Tapi dulu Eric tolak karena tidak ingin jauh dari papa nya dan juga Clara. Tapi sekarang, tidak ada alasan lagi untuk dia tetap tinggal di Indonesia. Kakaknya Eno menawarkan Eric untuk mengelola perusahaan mereka di Singapura. Tapi dia menolaknya. Dia malah memilih negara yang lebih jauh tapi masih di lingkup Asia.
Entah kenapa ketika dia memilih negara tersebut jantung Eric terasa berdebar sangat kencang. Apalagi ketika dia tahu kalau di negara itulah mama dan papa nya bertemu untuk pertama kalinya. Jadi, Eric juga berharap dia akan menemukan pasangan hidupnya disana.
Saat Eric membuka laci meja yang ada di dalam kamarnya, pergerakan Eric terhenti. Dia melihat kotak cincin berwarna merah yang tersimpan rapi di sana. Dia mengambilnya dan kembali membukanya. Dia tersenyum melihat sebuah cincin yang sangat cantik.
"Seharusnya cincin ini sudah lama ada di jari lo Bell..dan seharusnya lo ada di sisi gue sekarang."
Eric tersenyum tipis mengingat bagaimana pengecutnya dia menjadi Laki-laki, hanya karena mendengar keinginan Bella kuliah di luar negeri membuat dia gagal untuk menyatakan perasaannya dan juga gagal untuk melamar Bella.
Lalu matanya juga melihat sebuah novel yang dia beli untuk Bella saat mereka pergi nonton. Novel itu juga belum sempat dia berikan untuk Bella. Eric mengambil cincin dan novel itu, lalu memasukkannya serta ke dalam kopernya. Hanya itu kenangan yang dia miliki untuk mengingat Bella, selain hatinya.
Dia sudah meminta sekretarisnya untuk mengurus semua dokumen yang di perlukan untuk kepindahannya ke Filipina. Ya, Eric memilih negara Filipina dan menetap di kota Manila. Dia ingin memulai semuanya dari awal lagi. Memulai awal kehidupan yang baru di negara yang asing baginya.
Eric menolehkan kepalanya saat mendengar bunyi bel pintunya. Eric berjalan menuju pintu dan mengintip dari lubang disana. Tampak lah kakaknya Edo yang datang.
"Kan sudah tau sandinya. Kenapa harus pencet bel juga." Gerutu Eric sebal pada kakaknya.
"Gak enak masuk tempat orang sembarangan tanpa ijin." Ucap Edo dengan gaya nyelenehnya.
"Biasanya juga gak tau malu kak." Ujar Eric terkekeh.
"Kamu jadi pindah? Emang ada masalah sampai milih pindah?" Edo penasaran ada apa dengan adiknya ini.
Tadi papa nya menghubungi meminta dia untuk menggantikan posisi Eric di perusahaan. Padahal dia sangat malas berurusan dengan perusahaan. Bukan karena dia tidak mampu. Tapi dia memang punya usaha sendiri yang dia rintis dengan susah payah hingga bisa sukses seperti sekarang. Tapi dia tidak bisa menolak keinginan papa nya.
"Maaf kak. Eric belum bisa menceritakannya sekarang. Tapi satu hal yang Eric minta sama kakak. Tolong rahasiakan dimana Eric akan tinggal nanti dari Daniel, David dan juga Ardi." Ujar Eric memohon pada kakaknya.
"Baiklah. Kakak tidak akan memaksa kamu untuk menceritakannya. Tapi kakak harap semuanya baik-baik saja. Semoga kamu betah tinggal di sana."
"Terima kasih kak."
"Bagaimana dengan apartemen ini? Akan kamu jual?"
"Eric tidak menjualnya. Justru Eric maunya kakak yang tinggal di sini."
"Kalau kakak tinggal di sini, siapa yang akan menemani papa? Kasian papa tinggal sendiri nanti." Edo tidak setuju kalau harus meninggalkan papa nya sendiri di rumah sebesar itu.
"Terserah kakak saja. Semuanya aku serahkan sama kakak. Tadi juga sudah Eric bicarakan sama papa." Ujar Eric sambil merapikan barang-barangnya di ruang tengah.
"Lalu bagaimana hubungan kamu sama Clara?"
Eric terdiam cukup lama mendengar pertanyaan kakaknya. Sebelum dia melanjutkan kembali pekerjaannya. Edo yakin kalau ini ada hubungannya dengan Clara.
"Tidak usah di jawab kalau ka–"
"Kami sudah berakhir." Ucap Eric tanpa menunggu kalimat Edo selesai.
Edo terperangah mendengar ucapan Eric. Dari sikapnya bisa Edo lihat kalau adiknya tersebut sedang menahan sesuatu di dalam dirinya.
"Oh begitu ya." Kata Edo dengan sedikit perasaan tidak nyaman dan tidak punya niat untuk bertanya lagi tentang Clara.
"Jadi kapan kamu akan pergi?"
"Besok lusa. Eric akan pamit pada semua karyawan besok di kantor dan sekaligus memperkenalkan kakak sebagai pimpinan yang baru. Besok jangan terlambat kak." Pinta Eric pada kakaknya.
"Semoga saja kakak tidak telat bangun."
Ucap Edo dengan santai. Tapi mendapat tatapan tajam dari adiknya. Edo pun tertawa melihat ekspresi adiknya itu.
"Besok akan setel alarm jam 3 subuh biar kakak tidak terlambat." Ucap Edo sambil terkekeh.
Edo sangat tahu kalau adiknya ini sangat disiplin masalah waktu. Dia sangat tidak suka keterlambatan. Tapi masalah mengungkapkan cinta malah sangat terlambat. Edo terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kakak terkekeh begitu? Ada yang lucu?" Tanya Eric bingung dengan sikap kakaknya sedari tadi terus memperhatikannya dan tertawa.
"Gak pa-pa. Cuma pengen aja."
"GaJe bener." Ujar Eric sambil menggelengkan kepalanya.