NovelToon NovelToon
Obsesi Tuan Adrian

Obsesi Tuan Adrian

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Diam-Diam Cinta / Mafia / Cintapertama / Balas Dendam
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Azona W

Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.

Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.

Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kita Sudah

Kabut yang menyelimuti Petunia Hill semakin tebal menjelang sore.

Rumah itu terasa seperti terjebak di dalam gelembung sunyi. Sunyi yang memaksa siapa pun cukup peka untuk merasakan bahaya mendekat perlahan.

Elena berdiri di belakang Adrian ketika Sebastian menurunkan tirai jendela sepenuhnya.

“Mobil itu sudah tidak ada,” Sebastian akhirnya berkata sambil melepaskan napas panjang. “Tapi itu tidak berarti aman.”

Adrian mengangguk. “Dia hanya menunjukkan kalau dia bisa datang kapan saja.”

Sebastian menatapnya lama.

“Dia sedang memetakan celah.

Mengukur seberapa kuat kau sekarang.

Dan seberapa jauh kau akan melindungi Elena.”

Adrian mengepalkan rahang. “Dia akan tahu kalau celah itu tidak ada.”

Sebastian menaikkan satu alis  “Kau yakin?”

Adrian menatap Elena sejenak, lalu kembali pada Sebastian. “Sangat.”

Elena merasa dadanya hangat meski situasinya mencekam.

Sebastian menghela napas. “Baik. Kalau begitu, kita mulai memperkuat pertahanan.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan menuju meja kerja kecil di sudut ruangan dan mengeluarkan beberapa perangkat kecil.

Elena menatapnya sambil mendekat. “Apa itu?”

“Sensor gerak,” jawab Sebastian. “Dan ini—” ia mengangkat benda kecil seukuran koin, “sensor getaran untuk jendela. Cassian punya orang-orang yang suka bekerja seperti hantu. Kita pastikan mereka tidak bisa masuk tanpa jejak.”

Elena tersenyum pahit.

“Lucu. Beberapa hari lalu aku bahkan tidak tahu hidup seperti ini.”

Adrian menoleh padanya, ekspresinya berubah lembut.

“Aku tidak ingin kau terbiasa. Dan aku tidak ingin kau hidup dalam ketakutan.”

Elena menggeleng pelan.

“Aku tidak takut… aku hanya…”

Ia menelan ludah. “Lelah menyimpan hal-hal yang tidak kuketahui.”

Adrian melangkah mendekatinya. Ia meraih kedua tangan Elena, menggenggamnya dengan kehangatan yang kontras dengan dinginnya ruangan.

“Mulai sekarang,” katanya perlahan, “kau tidak sendiri menghadapi itu.”

Elena menatapnya tanpa berkedip. Mata Adrian, yang biasanya gelap dan ditarik oleh masa lalu, kini terlihat berbeda. Lebih jujur, lebih rapuh, lebih… manusia.

Elena menggeser satu langkah lebih dekat.

“Aku percaya padamu, Adrian,” katanya lirih. “Bahkan setelah semua ini.”

Adrian menutup mata sejenak, seperti seseorang yang akhirnya diizinkan bernapas setelah terlalu lama tenggelam.

Kemudian, dengan suara hampir tak terdengar:

“Terima kasih, Elena.”

Mereka terdiam dalam keintiman yang tidak berlebihan tetapi begitu kuat hingga udara di sekitar mereka menjadi hangat.

Sebastian yang berdiri tidak jauh mengalihkan pandangan dengan sopan. Ia membersihkan tenggorokan.

“Baik. Kalian bisa lanjut saling menatap setelah kita pasang semua sensor.”

Adrian mendengus kecil, sesuatu yang mirip senyum melintas di wajahnya. Elena bahkan tertawa pelan, tawa yang jernih namun masih dibayangi rasa cemas.

Mereka bertiga bekerja bersama memasang sensor di setiap jendela dan pintu.

Sebastian bergerak cepat, Adrian mengikat kabel-kabel, dan Elena memastikan semua benda yang dipasang kembali pada tempatnya agar rumah tidak terlihat “berubah”.

Ketika semuanya hampir selesai, Sebastian memanggil Adrian.

“Lihat ini.”

Ia menunjuk pada salah satu tiang pagar di luar jendela, tepat di jalur masuk.

Sebuah goresan kecil. Hampir tak terlihat. Tapi jelas bukan goresan biasa.

Elena merinding. “Apa itu?”

Sebastian mencondongkan tubuh. “Penanda.”

Adrian langsung menegang. “Dia menandai rumah.”

Elena menatap Adrian, bingung dan takut. “Untuk apa?”

Adrian menatapnya dengan tatapan gelap.

“Untuk menunjukkan bahwa dia sudah memilih kita sebagai titik masuk permainan.”

Elena merasa seolah lantai di bawahnya bergerak.

“Jadi… itu pesan?”

Sebastian mengangguk.

“Ya. Dan pesan itu artinya: ‘Aku sudah di sini. Dan aku tahu kalian takut.’”

Adrian menggeleng cepat, tajam. “Tidak. Itu artinya dia ingin kita panik.”

Elena mengepalkan tangan. “Aku tidak akan panik.”

Adrian menatapnya bangga, terkejut, dan tersentuh sekaligus.

Sebastian bahkan tersenyum tipis.

“Elena…” Adrian mendekat, suaranya lebih lembut. “Kau tidak harus pura-pura kuat.”

Elena mengangkat wajahnya.

“Aku tidak pura-pura.” Ia menghela napas. “Aku… hanya tidak mau dia merasa menang sebelum permainan dimulai.”

Adrian terdiam. Lalu menyentuh pipinya dengan lembut.

“Itu salah satu hal yang membuatku takut kehilanganmu.”

Elena terpaku. Jantungnya berdentang keras.

Namun sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Sebastian kembali memotong suasana.

“Kita harus membuat rencana. Cepat atau lambat, orang Cassian akan kembali. Dan kali ini bukan hanya mengawasi.”

Adrian melepaskan sentuhannya perlahan.

“Baik,” katanya. “Tapi satu hal dulu.”

Ia menatap Elena.

“Aku ingin Elena pindah ke kamarku.”

Elena membelalakkan mata. “Apa?”

Adrian mengangkat tangan sebelum Elena sempat salah paham.

“Bukan karena itu,” katanya pelan.

“Kamarku lebih aman. Dindingnya lebih tebal. Jauh dari jendela. Dan ada ruang aman kecil di belakang perpustakaan yang bisa kau masuki kalau keadaan darurat.”

Elena terdiam. Ia menatap Adrian lama, mencoba membaca kesungguhannya.

Lalu ia mengangguk.

“Baik. Aku pindah.”

Adrian mengembuskan napas lega. Sebastian menambahkan dari belakang:

“Itu keputusan terbaik. Karena kalau Cassian ingin memulai langkah pertama… dia akan memilih malam.”

Elena menggenggam jari-jari Adrian tanpa sadar.

“Lalu kita harus bersiap,” katanya.

Adrian membalas genggamannya.

“Kita sudah.”

Bab itu ditutup dengan suara sensor kecil yang baru terpasang menyala pelan, bilah cahaya biru membelah kegelapan ruang tamu.

Pertanda bahwa rumah ini… bukan lagi tempat yang sunyi.

 

1
Mentariz
Penasaran kelanjutannya, ceritanya nagih bangeett 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!