NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tikus di Sarang Bangsawan

Napas Yi Seon memburu, memecah keheningan tegang di Paviliun Bulan Baru yang remang-remang. Keringat membasahi pelipisnya, mencerminkan kepanikan yang mencengkeram hatinya. "Tidak mungkin, Hwa-young! Dia tidak akan tertipu lagi!" serunya, tangannya terkepal di atas peta ibu kota yang terbentang di meja. "Kang tahu kita sengaja menyerang Gubernur Selatan. Dia tahu jembatan itu kita yang hancurkan. Pengalihan lain hanya akan jadi lelucon!"

Hwa-young tidak mengangkat wajahnya dari sisa-sisa Buku Besar Bayangan yang hangus. Ujung jarinya menelusuri nama-nama yang tertera di sana, seolah mencari jawaban di antara abu. Asap tipis masih mengepul dari pinggiran kertas yang terbakar, aromanya pahit dan menusuk. "Justru karena itu dia akan percaya," balasnya,  serendah desisan ular. "Kita tidak akan menyerang bentengnya. Kita akan menyerang sesuatu yang dia anggap remeh, seekor tikus di lumbungnya."

"Apa maksudmu?"

"Bijih Besi dan Garam itu naga penjaganya. Terlalu besar, terlalu kuat," lanjut Hwa-young, otaknya berputar lebih cepat dari api yang melahap buku itu. Matanya terkunci pada satu nama. "Kita harus menusuk kelemahannya yang paling kecil, tapi paling intim." Jarinya berhenti, menekan keras sebuah nama yang hampir tak terbaca. "Tuan Park."

Yi Seon menyipitkan mata. "Park? Pejabat perizinan dagang? Dia bukan siapa-siapa! Kenapa harus membuang waktu untuk orang sekecil dia?"

"Karena orang kecil memegang kunci terbesar," desis Hwa-young. Dia akhirnya mengangkat kepala, dan sorot matanya membara dengan keyakinan yang hampir gila. "Dia bukan sekadar pejabat, Yi Seon. Dia adalah mata dan telinga Kang di gerbang perdagangan. Setiap pedagang asing, setiap kapal yang masuk, semuanya harus melewati mejanya. Kang memeras mereka melalui Tuan Park."

"Dia pasti sangat setia pada Kang!"

"Setia?" Hwa-young tertawa sinis, tawa yang tak sampai ke matanya. "Lihat ini." Dia menunjuk sebuah catatan kecil di samping nama Park. "Sepuluh keping perak sebulan. Itukah harga sebuah kesetiaan? Bukan, Yi Seon. Itu harga dari sebuah ketakutan. Pria ini tidak loyal, dia hanya terjebak."

Hwa-young merasakan pergulatan batin yang menyiksanya. Untuk mengalahkan monster, haruskah ia menjadi monster juga? Menggunakan ketakutan seseorang, memanipulasi kelemahan mereka ... bukankah itu taktik yang selalu digunakan Matriarch Kang? Bayangan Sora yang terancam melintas di benaknya, disusul wajah para pengikut Chungmae yang menaruh harapan padanya. Tidak. Ini bukan untuk kekuasaan. Ini untuk bertahan hidup. Tekadnya mengeras seperti baja yang ditempa.

"Bagaimana kita menghubunginya? Kang sudah memutus semua jalur," tanya Yi Seon, menarik Hwa-young dari lamunannya.

"Aku tahu di mana dia tinggal," jawab Hwa-young, matanya menyipit, berubah menjadi predator. "Dia tinggal di Distrik Utara. Di dekat toko ramuan tempat kita dulu bertemu Paman Go. Dia sering ke sana."

"Untuk apa?"

Nada suara Hwa-young melembut, dipenuhi sedikit kepahitan. "Untuk putrinya. Dari ingatanku ... putrinya menderita penyakit langka. Penyakit yang hanya bisa diredakan dengan ramuan mahal dari Selatan." Dia berhenti sejenak, membiarkan kalimat berikutnya menggantung di udara. "Ramuan yang perdagangannya diblokir total oleh Matriarch Kang."

Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan. Yi Seon menatapnya ngeri, memahami implikasi dari kata-kata itu. "Kau ... kau akan menggunakan putrinya?"

Rasa mual yang tajam menusuk perut Hwa-young. Menggunakan anak-anak. Itu adalah batas tergelap yang tidak pernah ingin ia lewati. Tapi dinding pilihannya semakin sempit, dan di ujung lorong gelap itu, hanya ada satu jalan keluar.

"Aku harus," bisiknya, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Yi Seon.  bergetar karena tekad. "Aku tidak akan menyakitinya. Aku hanya akan menunjukkan padanya siapa penjahat yang sebenarnya. Aku akan memberinya pilihan."

"Bagaimana caranya?"

"Aku akan pergi sekarang. Kau harus menahan Kang di sini," perintah Hwa-young, bergerak cepat meraih jubah hitamnya. "Buat keributan politik. Tuntut penangkapan Gubernur Selatan dengan lebih keras. Berdebatlah soal anggaran. Lakukan apa saja untuk membuatnya sibuk di Istana Timur ini. Jenderal Kim sudah berangkat ke perbatasan, kita tidak punya pelindung lain."

Yi Seon menarik napas panjang, menguatkan dirinya. "Aku akan memberinya perang politik yang tak akan dia lupakan. Tapi berjanjilah, Hwa-young. Kembali sebelum fajar. Jika kau tertangkap di luar istana dengan tuduhan sihir yang masih menggantung, aku tak akan bisa menolongmu."

"Aku tahu," sahut Hwa-young. Dia menoleh ke pelayan setianya. "Mae-ri, kau ikut denganku. Tunjukkan jalan rahasia yang pernah kau ceritakan."

Mae-ri mengangguk tanpa ragu.

*

"Yang Mulia, ini terlalu berisiko," bisik Mae-ri, napasnya terengah-engah saat mereka berlari melintasi jalanan Distrik Utara yang sepi.

"Risiko terbesar adalah tidak melakukan apa-apa," balas Hwa-young, wajahnya tersembunyi di balik kerudung tebal. "Kang terlalu sibuk memandangi bentengnya yang megah, dia tidak akan pernah menyangka kita menyerang dari lubang tikus di bawah kakinya."

 "Siapa?" tanyanya serak.

"Kami datang mencari 'arang'," bisik Hwa-young, menggunakan kata sandi lama jaringan pedagang Chungmae.

Paman Go mengerutkan kening. "Di sini tidak jual arang."

Hwa-young melangkah maju, membiarkan cahaya rembulan menyinari separuh wajahnya. "Kami datang untuk Anggrek Merah," katanya dengan suara tegas. "Untuk putri Tuan Park."

Mata Paman Go melebar karena terkejut dan takut. Anggrek Merah. Ramuan terlarang itu. "Siapa kau sebenarnya?"

"Aku adalah harapan Chungmae," jawab Hwa-young. "Dan aku datang untuk menyelamatkan gadis kecil itu."

Paman Go ragu, tubuhnya gemetar. "Chungmae sudah tiada. Mata-mata Matriarch Kang ada di mana-mana. Mereka mengawasiku."

"Matriarch Kang akan segera menyusulnya," desis Hwa-young, melangkah masuk tanpa diundang. Toko itu berbau herbal kering dan keputusasaan. "Aku butuh ramuan itu sekarang. Aku tahu kau menyimpannya di balik papan lantai ketiga dari perapian. Ibuku memberitahuku."

Pria tua itu menatapnya dengan ngeri, seolah melihat hantu. Tanpa berkata-kata lagi, dia berjalan tertatih, membuka papan lantai yang dimaksud, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil. Di dalamnya, bubuk kemerahan berkilauan samar.

"Ini hanya akan meredakannya, tidak menyembuhkan," kata Paman Go pelan.

"Aku hanya butuh waktu," sahut Hwa-young. "Apakah Tuan Park akan datang malam ini?"

"Dia selalu datang," jawab Paman Go getir. "Setiap kali putrinya menjerit kesakitan."

*

Satu jam terasa seperti selamanya. Hwa-young menunggu dalam kegelapan, jantungnya berdebar kencang, mempersiapkan diri untuk pertarungan moral yang akan segera dihadapinya. Tiba-tiba, pintu digedor dengan panik.

Paman Go membukanya. Seorang pria paruh baya dengan pakaian pejabat yang rapi tapi wajah pucat pasi dan rambut acak-acakan menerobos masuk. Tuan Park.

"Paman Go! Aku butuh ramuannya! Putriku! Dia kejang lagi!" teriaknya, putus asa.

"Tuan Park," sela sebuah suara tenang dari bayang-bayang. Hwa-young melangkah maju.

Tuan Park terlonjak kaget. Matanya tertuju pada wanita berkerudung gelap yang memegang kotak kayu kecil di tangannya.

"Tidak mungkin! Hanya Anggrek Merah yang bisa ... dan Kang memblokir semuanya!"

"Aku punya Anggrek Merah," kata Hwa-young, mengangkat kotak itu. Tuan Park menatapnya seolah itu adalah artefak suci. "Ini akan menenangkan putrimu malam ini. Tapi aku butuh sesuatu sebagai gantinya."

Mata Tuan Park berkaca-kaca. "Apa? Ambil semua uangku! Ambil semuanya!"

"Aku tidak butuh uangmu," balas Hwa-young. "Aku tahu kau bekerja untuk Matriarch Kang. Sepuluh keping perak sebulan untuk melaporkan setiap pedagang yang mencoba mengganggu monopolinya."

Wajah Tuan Park menjadi seputih kertas. Dia membeku. "Aku ... aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."

"Jangan menghinaku dengan kebohonganmu, Tuan Park," desis Hwa-young, melangkah lebih dekat. "Aku juga tahu alasan mengapa kau melakukannya. Karena wanita itu menggunakan putrimu sebagai rantai di lehermu. Dia menahan obatnya, membiarkan putrimu menderita, hanya untuk memastikan kau tetap patuh."

Tuan Park akhirnya runtuh. Dia menundukkan kepalanya, isak tangis tertahan keluar dari bibirnya. "Ya ... itu benar."

Hwa-young mengulurkan kotak itu. "Dan malam ini, aku akan melakukan hal yang sama."

Pria itu mengangkat kepalanya, matanya dipenuhi kebingungan dan kengerian. "Apa maksudmu?"

"Aku akan memberimu obat ini," kata Hwa-young, menyorongkan kotak itu ke tangannya yang gemetar. "Dosis untuk dua minggu. Setelah itu, putrimu akan membutuhkannya lagi. Dan hanya aku yang bisa memberikannya. Matriarch Kang memerasmu dengan penderitaan. Aku memerasmu dengan harapan."

"Apa ... apa yang harus aku lakukan?" bisiknya,  parau.

"Jadilah mata-mata kami," perintah Hwa-young. "Teruslah menjadi tikus kecilnya yang setia. Berikan padanya laporan yang ingin dia dengar. Tapi berikan aku laporan yang sebenarnya. Aku ingin tahu setiap rencananya, setiap pedagang yang dia incar, dan yang terpenting ... di mana dia menyimpan semua bahan baku yang dia sembunyikan dari ibu kota."

"Tapi jika dia tahu..."

"Dia tidak akan tahu," potong Hwa-young. "Pilihanmu sederhana, Tuan Park. Terus diperas oleh tiran yang membiarkan putrimu mati perlahan, atau bekerja sama denganku, dan putrimu akan terus mendapatkan obatnya. Kau harus memilih siapa yang akan memegang rantaimu."

Tuan Park menatap kotak di tangannya, lalu ke wajah Hwa-young yang tersembunyi dalam bayangan. Dia adalah seorang ayah yang terpojok. "Aku ... aku akan melakukannya," katanya dengan suara patah. "Aku akan menjadi mata-matamu. Tapi berjanjilah ... berjanjilah kau akan menepati janjimu."

"Chungmae tidak pernah menjadikan anak-anak sebagai sandera," jawab Hwa-young,  melembut untuk sesaat. "Ambil kertas dan pena itu. Tuliskan laporan pertamamu. Aku ingin tahu semua tentang Gudang Selatan. Siapa kepala keamanannya, jadwal patroli, dan di mana titik terlemahnya. Sekarang!"

Dengan tangan gemetar, Tuan Park mulai menulis.

Beberapa menit kemudian, dia menyerahkan secarik kertas yang penuh dengan detail penting. "Namanya Jenderal Go. Fanatik Kang. Tapi dia punya kelemahan ... judi. Setiap malam ketiga, dia meninggalkan posnya selama satu jam untuk pergi ke rumah judi ilegal di dermaga."

Hwa-young mengambil laporan itu. Ini lebih dari cukup. "Bagus. Sekarang pergilah. Selamatkan putrimu."

Tuan Park mengangguk, menyeka air matanya, dan berlari keluar toko, memeluk kotak kayu itu seolah itu adalah seluruh dunianya.

Hwa-young menatap laporan di tangannya. Dia merasa kotor, tetapi juga merasakan secercah harapan. "Kita berhasil," bisik Mae-ri.

"Ini baru permulaan," kata Hwa-young. Dia menoleh ke Paman Go yang dari tadi diam membatu. "Paman, aku butuh bantuanmu sekali lagi. Kau harus mengantarkan ini ke Istana Timur. Berikan pada Yi Seon. Katakan pesannya dari 'Anggrek Merah'."

Paman Go tampak ragu. "Tapi, Yang Mulia..."

"Ini satu-satunya cara," potong Hwa-young. "Lakukan ini, dan aku berjanji akan membuka kembali jalur perdagangan Selatan."

Pria tua itu akhirnya mengangguk.

Saat Hwa-young dan Mae-ri hendak menyelinap keluar melalui pintu belakang, pintu depan tiba-tiba ditendang hingga hancur.

BRUAK!

Beberapa sosok berjubah gelap menyerbu masuk. Bukan pengawal istana biasa. Mereka bergerak dengan efisiensi mematikan, seperti pembunuh bayaran. Hwa-young dan Mae-ri segera bersembunyi di balik rak-rak ramuan yang tinggi. Paman Go menjerit kaget sebelum mulutnya dibekap dan diseret.

Di tengah kekacauan itu, seorang pria melangkah masuk dengan tenang. Sosoknya familier, tegap, dan memancarkan aura otoritas yang dingin.

Itu Jenderal Kim.

Dia seharusnya sudah dalam perjalanan menuju perbatasan utara.

"Mencariku, Putri Mahkota?" tanyanya,  bergema di toko kecil itu. Matanya tidak menunjukkan keramahan seperti biasanya, melainkan kekecewaan yang sedingin es. "Atau kau terlalu sibuk bermain sebagai Matriarch Kang, memeras orang-orang yang putus asa di gang-gang gelap?"

Hwa-young membeku, laporan Tuan Park masih tergenggam erat di tangannya. Dia telah dijebak. Tapi oleh siapa?

Jenderal Kim menatap lurus ke arah persembunyian Hwa-young. "Pangeran Mahkota Yi Seon mengirimku untuk mengikutimu. Dia ingin memastikan kau tidak melewati batas." Jenderal itu berhenti sejenak, matanya berkilat tajam di bawah cahaya lentera. "Dan sekarang aku melihatnya sendiri. Kau tidak ada bedanya dengan wanita ular itu.”

1
Noveni Lawasti Munte
ahhhh dialognya kek sinetron ikan terbang🙄🙄🙄😄😄😄😄
Putri Haruya: muasek?
total 1 replies
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!