NovelToon NovelToon
HIJRAH RASA

HIJRAH RASA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:621
Nilai: 5
Nama Author: Azzurry

Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?

Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.

“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.


Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hijrah Rasa - 01

Jakarta 5 tahun lalu...

Hujan mengguyur Jakarta tanpa ampun. Langit seolah tak punya belas kasihan malam itu-gelap, berat, penuh gelegar. Jalanan memantulkan cahaya lampu seperti cermin retak, memperlihatkan betapa rusaknya dunia ini.

Di atas jembatan tua yang membentang di atas sungai Ciliwung, Farah gadis 18 belas tahun berdiri di sana. Jilbabnya berantakan,lepek menempel di wajah, tubuhnya basah kuyup, matanya merah dan sembab.

Air hujan menetes dari dagunya, bercampur dengan air mata yang terus mengalir.

Tubuhnya menggigil. Tapi hatinya lebih berantakan dari penampilannya.

Jakarta tetap hidup di bawah sana-klakson, motor, sorot lampu,tetapi semua terasa jauh. Seperti hidup sedang berlangsung tanpa dirinya.

Gadis itu mendongak. Menatap langit yang bergulung kelabu. Seolah turut merasakan ke hancurannya.

"Bang ... maafin aku ..." suaranya nyaris tenggelam dalam derasnya hujan.

Suara Fariz terngiang di kepalanya-tawa kecil, kata-kata lembut, dan pertengkaran terakhir mereka malam itu. Lalu pintu yang dibanting. Lalu kabar kematian.

"Aku yang salah," bisiknya. "Kalau aja aku nggak egois ... kalau aja aku masih sabar ... "

Dadanya seperti ditusuk ribuan jarum. Hatinya perih bagai di hantam ribuan batu karang.

"Kenapa, Tuhan ... kenapa harus bang Fariz ..." Sekali lagi teriakan itu mengudara tanpa jawaban.

Angin malam menusuk tulang, membawa bau sungai yang menyengat lumpur dan sampah. Farah menggenggam pembatas jembatan -dingin, licin, kasar.

"Kenapa keluargaku yang hancur? Kenapa Engkau tega banget, Tuhan? Aku udah nurut. Sudah ku lakuin semua perintah-Mu. Aku hindarin semua larangan-Mu... Tapi kenapa begini akhirnya?!"

Tangisnya pecah. Ia teriak, menantang langit yang bisu.

"APA AKU MASIH PANTAS HIDUP?!" Teriaknya kembali.

Farah melangkah ke tepi. Naik ke atas besi pembatas.Sungai Ciliwung yang hitam dan deras seolah memanggilnya untuk terjun kebawah.

"Bang Fariz ... tunggu Farah ..."Bisiknya pelan.

Gadis itu berdiri di tepi jembatan siap untuk melepaskan dunianya.

"Maafin Farah Bang ... Maafin Farah Pa ..." Terdengar bisikan pasrah untuk terakhir kalinya.

Farah berdiri siap melompat, menatap air sungai pekat di bawah sana yang siap menelan tubuhnya seketika rasa takut menahan,tetapi coba ia tepis.

Saat ia hendak melepaskan diri, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya kuat menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.

Farah tersentak. Dengan cepat ia menoleh.

Di belakangnya Seorang pria berdiri menatap sinis padanya. Wajahnya sedikit tertutup topi hoodie, nyaris menyembunyikan sebagian besar ekspresinya. Tapi sorot mata itu tajam dan sinis.

Farah melongo, mencari tau siapa pria yang menariknya ke tepi jembatan.

"Lo pikir, dengan bunuh diri, penderitaan lo selesai?" Suara bariton itu terdengar sinis.

Farah mencoba menarik diri.

"Lepasin! Lo nggak tau apa-apa tentang gue!"

"Gue emang nggak tahu hidup lo. Tapi Tuhan tahu," ucap Pria itu tegas.

Farah mendengus kesal.

"Jangan sok tahu. Kamu nggak pernah ada di posisi aku! Kamu nggak tahu gimana rasanya Tuhan ngancurin hidup mu dalam sekejap!"

Pemuda itu tetap tenang. Seulas senyum terlihat samar di balik topi.

"Gue nggak tahu hidup lo. Tapi yang gue tahu. Sebelum ada di dunia ini, lo udah dikasih lihat semua jalan hidup lo dari lahir sampai mati. Dan ditanya bukan cuma sekali, tapi sebanyak 77 kali. Dengan keputusan yang akan lo buat dan lo pilih jalan itu dengan sadar."

Farah membeku. Suara pemuda itu seperti gema yang menampar nuraninya.

"Kalau lo ngerasa dunia ini nggak adil, mungkin karena lo belum ngerti kenapa lo diizinkan hidup di dunia ini." Sambungnya lagi

"Aku capek ... Aku hancur ... Tuhan itu nggak ada... kalau Dia ada, Kenapa sekejam ini?"

Pemuda itu menyeringai tipis. "Kalau capek istirahat. Bukan mengakhiri hidup. " Jeda pada kalimatnya.

"Tuhan ada. Lo aja yang terlalu sibuk nyalahin takdir. Dikasih hidup, dikasih tubuh, dikasih napas. Tapi lo malah mau buang semuanya. Dasar bodoh."

"DIAM!" teriak Farah, matanya menyala.

Pria itu tidak peduli teriakan Farah dan kembali berucap.

"Berhenti jadi tanah sombong. Tanah yang lupa caranya bersyukur, lupa semua nikmat yang udah dikasih. Sekarang Nangis-nangis mau akhirin hidup, cih... "

"Eh... kalau aku sombong, apa bedanya dengan kamu yang udah rendahin ciptaannya?"

"Gue cuma tanah hina," ucap pemuda itu, "Yang masih pengen lihat tanah lain bangkit ... sebelum jadi debu sia-sia."

Farah diam. Tak ada lagi teriakan, tak ada lagi perlawanan. Yang tersisa hanya sisa napas yang tercekat dan air mata yang mengalir.

"Aku harus gimana ...?" lirihnya. Bukan lagi amarah, tapi permohonan.

Pemuda itu menatapnya sekilas, sorot matanya tajamnya berubah lembut penuh belas kasihan.

"Lo udah tahu ... apa yang harus lo lakuiin."

Pria itu berbalik. Langkahnya tenang perlahan menjauh meninggalkan Farah. Punggungnya makin lama semakin samar di balik kabut dan rinai hujan.

Farah menatapnya pergi, mendongak setengah bingung.

"Hai...!"

Tak ada jawaban. Tak ada nama. Hanya langkah yang menghilang di pelataran kota yang terus bergerak.

Farah terduduk. Memeluk lututnya erat. Tubuhnya masih menggigil, tapi untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa tidak sendirian sepenuhnya.

Dengan satu tanya yang menggantung di dada:

"Kalau Tuhan tidak ada ... kenapa ada dia malam ini?"

***

Lima tahun berlalu....

Musik menghantam langit-langit klub malam seperti petir yang tak pernah benar-benar reda. Bass menghentak dari lantai, merambat ke tulang, mengguncang napas siapa pun yang mencoba tetap waras di tengah kebisingan. Lampu-lampu biru dan ungu menari liar di udara gelap, menyapu wajah-wajah yang setengah mabuk dan penuh luka, menciptakan bayangan yang tampak lebih hidup dari manusianya.

Asap rokok membumbung pelan, melingkari kepala para pelarian malam itu. Alkohol, parfum mahal, dan keringat menyesak di udara, seperti racun yang perlahan membius ingatan. Di sinilah orang-orang datang bukan untuk berdansa, tapi untuk lupa. Untuk tenggelam. Untuk mati sedikit demi sedikit-tanpa perlu benar-benar menghilang.

Dan di tengah-tengah Lautan manusia Farah menari liar tubuhnya melenggang seperti nyala api yang tak mau padam. Matanya kosong, tapi menyimpan badai. Langkahnya bukan koreografi, tapi perlawanan. Setiap gerakan adalah jeritan yang ditelan dentuman musik. Ia menari bukan untuk bersenang-senang. Tapi karena jika ia berhenti, dunia akan menelannya bulat-bulat.

Pikirannya tak tinggal diam. Ia selalu kembali ke sana-malam terakhir bersama Faris---kakaknya.

"Faa, nggak gitu ngomongnya sama Mama. Bagaimanapun juga, dia Mama kita."

Suara Faris lembut, tapi terdengar seperti seseorang yang sudah lelah menahan keretakan.

"Dia selingkuh, Bang! Dia hancurin Papa! Dan lo masih bisa panggil dia 'Mama'? Lo waras?!"

Farah berdiri seperti bara. Nafasnya kasar, tubuhnya tegang. Dadanya naik turun seperti habis berlari.

"Faa..."

"Lo itu kemana aja selama ini, hah? Geng motor, cewek-cewek lo-itu yang lo urusin kan! Jadi jangan sok peduli sekarang!"

"Diam." Bentak Faris.

Farah membeku.

Hening.

Tatapan Faris seperti ingin bicara lebih. Tapi waktu tak pernah memberinya kesempatan.

"Keluar dari kamar gue. Gue nggak butuh lo. Jangan pernah gangguin gue." Farah membuka suara setelah bosan dengan keheningan itu.

Itu kata-kata terakhir Farah kepada Faris.

Beberapa jam kemudian, suara dari seberang telepon menusuk malam. Kecelakaan. Faris. Meninggal.

Dan sejak saat itu, Farah bukan lagi orang yang sama. Rasa bersalah itu terus menghancurkan hidupnya.

Tubuhnya terus menari, tapi pikirannya membeku.

Di klub yang penuh teriakan dan tawa palsu, Farah adalah sunyi yang tak bisa disentuh. Musik terus berdentum. Tapi semua terdengar jauh.

Ia melihat wajah Faris ... dan wajah lain yang ia benci setengah mati. Ibunya.

Wanita yang dulu ia peluk saat ketakutan. Kini jadi bayangan yang ingin ia bakar habis. Wanita yang sudah menghancurkan semuanya, membawa lelaki asing ke rumah. Mengganti aroma ayah dengan wangi tubuh pria lain.

"Wanita itu udah ngerusak semuanya ..." Gumam Farah pelan,tersimpan dendam yang tidak pernah selesai.

Gelas champagne di tangan kanannya setengah kosong. Cairannya pahit, tapi hangat. Di tangan kirinya terselip sebatang rokok yang sudah setengah. Sesekali empulan asap terlihat keluar dari hidung dan mulut gadis itu.

Dulu Farah muslimah taat. Hijabnya rapi. Shalatnya terjaga, hafalan Alqur'annya sempurna. Doa-doanya indah ia takut akan Tuhan.

Tapi sekarang semua itu terasa seperti cerita yang ia tonton dari kejauhan. Bukan miliknya lagi.

Dari semua batas yang sudah ia lewati, hanya dua yang ia pertahankan :

Ia masih menjaga kehormatannya, Dan ia tak menyentuh narkoba.

Dua garis tipis yang masih membuatnya merasa manusia.

Masih ditempat yang sama dua orang Pria duduk saling berhadapan yang satu sibuk dengan minuman di tangannya dan satu pria  sejak tadi sibuk memperhatikan Farah yang sedang menari, tak jauh dari tempat ia duduk. Sesekali senyuman sinis terlihat di wajah pria itu.

“Dasar bodoh.”

***

Assalamualaikum.

Hai kenalin aku Iin. Orang seperempat lama di bumi , kini mencoba merangkap jadi Author karena isi kepalanya berisik hehe.

Mau aku simpen aja takut jadi penyakit. Mending aku tuangin disini tau-tau ada yang suka hihi.

Maafkan atas segala kekurangan dalam tulisan ku.

Selamat menyelami goresan aksaraku, memetik hikmah dalam setiap kisah..

Jangan lupa

Follow authornya ya

komen dan like juga.

Jazakallahu khair

kamshammida

1
Wilana aira
keren ceritanya, bisa belajar sejarah Islam di Italia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!