(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran Tentang Reni
Aku masuk ke dalam rumah sembari membawa sayur-sayuran yang baru kubeli. Ku masukkan asal semua bahan masakan itu ke dalam kulkas, terburu-buru untuk mencari ponsel yang sebelumnya kutinggal untuk mengisi daya.
Aku menganggap Reni sebagai adik. Jika apa yang para tetangga katakan adalah fitnah, tentu aku tidak bisa membiarkannya. Paling buruknya, mungkin aku akan ikut angkat bicara dan membela Reni meski konsekuensinya hubungan kami yang diam-diam masih berjalan baik ini akan ketahuan.
Tapi kalau apa yang mereka katakan itu benar...
Ah, tidak-tidak. Reni saja diselingkuhi oleh mantan suaminya. Dia pasti tahu sakitnya diduakan seperti apa. Jadi tidak mungkin dia melakukan hal yang sama pada perempuan lainnya, kan.
[Assalamu'alaikum, Ren. Kamu lagi sibuk?]
Aku segera bicara begitu panggilan teleponku diangkat. Pokoknya aku harus mendapat klarifikasi darinya hari ini juga!
[Enggak sih, Mbak. Kenapa?]
Aku menghela napas panjang. Tenang, Inara. Belum tentu kabar itu benar.
[Ren, Mbak ingin tanya sesuatu. Kamu bilang, kamu lagi dekat dengan seorang Duda. Dia benar-benar duda, kan?]
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Tak ada jawaban. Aku melihat layar ponsel, mengira panggilan telepon kami terputus.
[Halo, Ren?]
[Mbak dengar sesuatu?]
Entah mengapa, rasanya kali ini nada suaranya berbeda. Datar, dingin... tidak seperti Reni yang biasa kukenal.
[Ren? Jangan bilang, laki-laki itu...]
Terdengar helaan napas panjang dari seberang telepon.
[Iya, Mbak. Aku bohong sama Mbak. Sebenarnya laki-laki yang dekat denganku itu adalah suami orang.]
Mataku melebar denga tangan menutup mulut.
Astaghfirullahalazim!
[Kok kamu jadi gini, Ren?]
Aku tidak ingin menyudutkannya. Tidak juga ingin menggunjing dirinya seperti para tetangga yang lain. Karena itu aku memilih konfirmasi langsung padanya, kan? Dan mendengar pengakuannya, sebagai seseorang yang sudah dianggap kakak olehnya bukankah wajar jika aku menasihatinya? Mumpung dia belum melangkah terlalu jauh dengan laki-laki itu.
[Kamu kan tahu bagaimana rasanya diselingkuhi, Ren. Masa sekarang kamu mau jadi selingkuhan?]
[Tapi dia baik sama aku, Mbak. Dia selalu ngertiin aku.]
[Itu juga yang dirasakan perempuan perebut lainnya, Ren. Tapi kamu harus ingat, dong. Dia itu suami orang. Dia punya istri dan anak. Masa iya kamu mau rusak kebahagiaan keluarganya padahal kamu tahu sedihnya bagaimana?]
[Tapi aku sayang sama dia, Mbak.]
Tanganku gatal. Jika saja dia ada disini, mungkin akan aku guncang-guncang bahunya agar dia sadar.
[Enggak ada yang bisa mengatur pada siapa hati kita akan berlabuh. Tapi kita punya akal pikiran untuk tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mbak enggak niat jelek ke kamu, Ren. Bukannya Mbak enggak senang kamu bahagia. Mbak tentu akan senang kalau kamu bahagia. Tapi, Mbak harap enggak begini caranya. Jangan sampai bahagia kamu berada diatas kesedihan perempuan lain.]
Aku meremas erat ponsel di telingaku, menunggu jawaban darinya.
[Hm. Akan Reni pikirkan.]
Aku tidak tahu apakah dia benar-benar akan mendengarkan saran dariku. Karena setelah itu pun panggilan telepon dariku dia matikan dengan alasan dia punya pekerjaan. Aku tahu sebagai kasir sebuah RAM, tentu memungkinkan jika dia memang benar-benar sibuk saat ini karena mobil truk pengangkut sawit yang baru datang untuk menimbang hasil panen. Tapi... menurutku bukan itu alasan dia mematikan sambungan telepon kami.
Karena sepertinya, dia marah atau tersinggung dengan ucapanku.
Ya Allah, apa aku memang terlalu ikut campur, ya?
Hanya saja tubuhku merespons lebih cepat sebelum aku berpikir ulang mengenai pantas tidak pantasnya aku bertanya, karena aku sudah terlanjur menganggap dia sebagai adikku---sebab aku adalah anak bungsu. Jadi aku merasa tidak bisa jika mendengar orang lain menggunjing tentang dia, apalagi ternyata yang orang gunjingkan tentang dia memang benar!
"Duh, Reni. Semoga saja kamu enggak salah paham sama maksud Mbak." gumamku sendirian.
***
Aku sepertinya sempat tertidur sesaat setelah shalat isya. Pelan-pelan, aku turun dari ranjang sembari menyambar ponsel di meja rias, berjalan perlahan menuju kulkas untuk mengambil sebotol air mineral dingin dari sana. Tenggorokanku rasanya kering. Aku melihat jam di ponsel.
Jam 10 malam, rupanya.
Aku mendesah pelan. Orang lain harusnya mulai beranjak tidur jam segini, tapi aku justru malah terbangun. Mas Hendra tentu masih belum pulang dan bermain bersama teman-temannya. Jadi sekarang aku hanya bisa bermain ponsel---melihat-lihat postingan orang di FB maupun menonton drama pendek china di aplikasi yang kupunya---untuk menghabiskan waktu.
Sembari menyesap air dari botol minuman, aku membuka FB milikku. Kuarahkan jari ini untuk menekan status-status yang orang lain buat disana.
Namun, sebuah status yang tiba-tiba muncul membuat aku terbatuk karena tersedak dengan tiba-tiba. Mataku melebar tak percaya, sedang tanganku meremas ponsel dengan erat hingga jari-jariku memutih.
Itu Dewi!
Dia sudah memblokir akun medsosku sehingga aku tak akan bisa melihat postingannya. Dan aku pun mustahil berteman dengannya. Fotonya bisa muncul di beranda FB ku... karena dia sedang berfoto dengan teman FB ku, dengan Reni!
Iya, Reni yang itu!
Tak percaya dengan apa yang aku lihat, aku segera mencoba menghubunginya. Tapi, tidak bisa. Reni tidak mengangkat panggilan telepon dariku. Segera jariku mengetik pesan di layar ponsel.
[Reni, kok kamu bisa tiba-tiba sama dia?]
Aku memang pernah memberitahu Reni mengenai masalah rumah tanggaku, tapi aku belum pernah menunjukkan wajah si perempuan sundal itu padanya. Jadi, bagaimana mereka bisa saling kenal sampai foto bersama seperti itu?
Tidak mungkin jika mereka secara random bertemu lalu berfoto bersama, kan? Mereka bukan artis! Jadi bagaimana bisa dua orang yang sangat kukenal---musuh dan sahabatku---sepertinya saling kenal?
Ting!
Aku buru-buru membuka pesan yang masuk saat bunyi notifikasi kembali terdengar. Tanganku gemetaran membaca pesannya.
[Sudah kuduga Mbak bakalan tanya.]
Apa maksudnya? Jelas aku akan tanya! Reni itu sudah kuanggap sedekat itu, kok bisa tiba-tiba mereka saling kenal bahkan tampaknya dekat seperti itu!
[Jawab pertanyaan Mbak, Ren. Kok bisa tiba-tiba kamu sama dia? Kamu kenal sama dia? Sejak kapan?]
Jantungku berdebar kencang menunggu balasannya. Tidak mungkin hanya karena ucapanku pagi tadi, jadi dia mencari orang yang bermusuhan denganku untuk menjadi sekutunya, kan? Aku tidak berniat jahat sama sekali saat aku mengatakan semua itu padanya tadi.
Atau bahkan jika dia memang tidak bisa mendengarkan nasihatku, ya sudah. Aku pun tidak bisa bicara lagi. Tapi kenapa dia harus berteman dengan si Dewi durjana itu?!
Aku menunggu dengan tak sabaran, tapi sepertinya Reni tak membalas pesanku lagi. Tidak ada ikon mengetik bahkan saat pesanku sudah dia baca. Dasar, anak ini benar-benar membuat orang jadi penasaran!
Segera ku screenshot foto keduanya, lalu aku mengirim foto itu pada Dena. Mungkin, dia bisa menjawab pertanyaanku yang tak bisa Reni jawab.
[Den, kamu kenal perempuan yang sama Mami kamu ini?]
Agak lama, karena sepertinya Dena sedang tidak memegang ponsel saat aku mengiriminya pesan. Tapi sekitar setengah jam kemudian, akhirnya dia membalas.
[Reni, ya?]
Aku semakin syok. Bahkan Dena pun kenal dengan Reni. Artinya Reni bukan orang baru dalam lingkup mereka.
Siapa dia ini sebenarnya?
***
Terimakasih author ucapkan kepada kakak-kakak yang masih setia mengikuti cerita ini sampai kesini.
Masih akan ada banyak teka-teki yang terbongkar di bab-bab selanjutnya. Jadi... jangan bosan mengikuti cerita ini, ya! Hehe
Jangan lupa like, komen, vote, dan subscribe!
See you tomorrow~
Semangat berkarya ya Thor