Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
happiness that comes with a price
Sore itu, Azey membawa Taeri ke galeri seni pribadi yang baru-baru ini ia hadiahkan padanya. Ketika mereka tiba, suasana galeri terasa hidup dengan kesibukan para pekerja yang sedang mempersiapkan segala keperluan untuk acara pameran.
Mata Taeri tertuju pada puluhan podium kaca yang sedang dibawa masuk. Dengan nada lembut, ia bertanya, "Sayang, apa kamu berencana langsung mengadakan pameran?"
Azey menoleh padanya, lalu menjawab dengan tenang, "Tidak juga. Itu semua tergantung padamu. Aku hanya ingin mempersiapkan segalanya agar lebih mudah jika kau ingin mengadakan pameran kapan saja." Ia mengusap lembut rambut Taeri, memberikan isyarat bahwa ia akan selalu mendukung apapun keputusan kekasihnya.
Taeri mengangguk mengerti, merasa tersentuh dengan perhatian Azey, meskipun dulu ia sempat menolak hadiah galeri ini. Namun, keraguan kembali menghantuinya. "Tapi, aku tidak yakin bisa menjalankannya, Sayang," ucapnya lirih. Ia merasa tidak percaya diri untuk mengelola galeri sebesar ini.
Azey menggenggam tangannya, menatap dalam ke mata Taeri. "Tenanglah," sahutnya pelan, mencoba menenangkan kekasihnya. "Aku percaya padamu. Tidak mungkin calon Nyonya Denizer akan gagal hanya karena memimpin sebuah acara pameran."
Mendengar betapa Azey mempercayainya, Taeri tersenyum tipis. "Terima kasih ya, Sayang," ucapnya lembut. "Terima kasih karena sudah melakukan segalanya hanya untuk membuatku bahagia." Ia meraih tangan kiri Azey dan menggenggamnya erat. "Kalau begitu, ayo masuk! Aku sudah tidak sabar ingin melihat ke dalam."
Azey merangkul pinggang Taeri dengan lembut, lalu membimbingnya masuk ke ruang utama galeri. Di sana, puluhan lukisan sudah mulai dipajang dengan indah di dalam lemari kaca. Taeri tidak bisa menyembunyikan kekagumannya saat melihat salah satu dari sepuluh lukisan termahal di dunia terpampang di depannya.
Suaranya tercekat saat ingin bertanya. "Sa... Sayang, ini... ini kan 'Number 17A' karya Jackson Pollock?" Ia menoleh pada Azey, meminta penjelasan. "Bagaimana kamu bisa mendapatkan lukisan ini?"
"Dari pelelangan," jawab Azey singkat. "Aku menyuruh Leonardo untuk memburu lukisan-lukisan termahal di dunia," sambungnya, lalu tersenyum tipis melihat raut wajah tidak percaya kekasihnya.
"Pasti kamu menghabiskan miliaran dolar untuk ini semua," tebak Taeri. Ia tahu harga sebuah lukisan saja bisa mencapai ratusan juta dolar.
"Jangan pikirkan uangnya. Pikirkan saja kebahagiaanmu," ucap Azey lembut, mengusap bahu Taeri. Kemudian, ia menarik tangan Taeri menuju sebuah bingkai besar yang tertutup kain. Taeri merasa penasaran, menebak-nebak apa yang ingin ditunjukkan oleh kekasihnya.
"Ini apa, Sayang? Kok ditutup-tutupi segala?" tanyanya pelan, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
"Bukalah. Kau akan melihatnya sendiri," jawab Azey datar, namun dengan nada lembut yang khas. Ia sengaja mengajak Taeri ke sini untuk memperlihatkan sesuatu yang istimewa.
Dengan jantung berdebar, Taeri menarik kain penutup bingkai itu. Seketika, wajahnya memucat. Matanya membulat, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Astaga... Sayang, ini... ini 'Salvator Mundi'!" ucapnya bergetar, nyaris tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya.
"Sayang, aku... aku tidak..." Taeri kehilangan kata-kata, merasa terharu dan kewalahan dengan hadiah yang sangat mewah ini.
"Terimalah. Jangan menolaknya," ucap Azey memotong, memeluk Taeri dari belakang. Ia mencium lembut rambut kekasihnya, merasakan kebahagiaan Taeri sebagai kebahagiaannya juga.
"Selamat ulang tahun, little girl," ucap Azey lembut sambil menciumi pipi Taeri bertubi-tubi.
Seketika, tubuh Taeri membeku. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia baru menyadari bahwa hari ini adalah ulang tahunnya yang ke dua puluh dua, dan orang pertama yang memberinya selamat adalah Azey. Dengan perasaan haru, ia berbalik menatap pria itu penuh cinta. Suaranya bergetar saat berkata, "Sa... Sayang, aku... hiks... hiks... aku tidak tahu harus berkata apa. Kamu bahkan lebih dulu mengingat ulang tahunku daripada aku sendiri."
Tanpa ragu, ia berjinjit, menempelkan bibirnya pada bibir Azey, lalu melumatnya dengan penuh kasih sayang. Azey membalas ciuman itu dengan lembut. Saat Taeri membuka sedikit mulutnya, lidah mereka saling membelit, menciptakan suara basah yang menggema di seluruh ruangan.
Saat napasnya mulai terengah-engah, Taeri melepaskan ciumannya perlahan. Azey menatapnya dalam, seolah ingin membaca setiap emosi yang berkecamuk di dalam diri kekasihnya. Dengan suara lirih, Taeri berbisik, "Terima kasih, Sayang."
Azey tersenyum tipis, lalu menarik pinggang Taeri mendekat dan memeluknya erat. "Tidak perlu berterima kasih," bisiknya di telinga Taeri. "Ini memang tugasku. Dan semua ini sepadan untuk kamu dapatkan. Mulai sekarang, berbahagialah."
"Kau memang selalu cantik, baby," ucap Azey tulus. Di mata Azey, Taeri selalu mempesona, apapun keadaannya.
Taeri terkekeh pelan, merasa tersanjung dengan pujian itu. "Iya sih, memang aku selalu cantik," ujarnya dengan nada bercanda. "Buktinya, pria sedatar kulkas sepertimu saja bisa bertekuk lutut padaku." Ia mengelus-elus wajahnya di dada Azey, menikmati kehangatan yang selalu ia rasakan saat bersamanya.
Azey membalas dengan usapan lembut di punggung Taeri. "Sekarang, kau ingin ke mana lagi, baby?" tanyanya datar.
Taeri mendongak, berpikir sejenak. Ke mana lagi, ya? Tiba-tiba, terlintas di benaknya sebuah tempat yang selalu membuatnya nyaman dan rileks. "Sebaiknya kita pulang saja," jawabnya dengan mata berbinar. "Aku sudah kangen berat sama bak mandi dan ruang perawatan kecantikanku."
"Tentu saja," sahut Azey datar, namun dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Ia pun Mambawa taeri kemobil, meninggalkan galeri, menuju kediaman mereka. Di sepanjang perjalanan, suasana hening hanya diisi oleh deru mesin mobil dan alunan musik jazz yang mengalun lembut.
Saat jam menunjukkan pukul delapan malam, Taeri dan Azey tiba di depan mansion mereka. Begitu keluar dari mobil, Taeri menggandeng erat tangan Azey dan berjalan masuk. Namun, suasana ruang utama terasa aneh. Tidak seperti biasanya, ruangan itu gelap gulita.
"Sayang, kenapa lampunya mati semua?" tanya Taeri penasaran. "Kok jadi kayak penjara gini?"
Rahang Azey langsung mengeras mendengar pertanyaan itu. Dengan nada dingin, ia bergumam, "Sepertinya ada yang ingin dipecat di sini."
Taeri mengusap lembut lengan Azey, berusaha meredakan emosinya. "Tenang dulu, Sayang," bisiknya. "Mungkin para pekerja sedang memperbaikinya."
Belum sempat Taeri menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba seluruh lampu di ruang tamu menyala secara serentak. Taeri terkejut, terpaku di tempatnya. Untuk kedua kalinya hari ini, ia mendapatkan kejutan yang membuatnya tak bisa berkata-kata.
Puluhan pelayan tiba-tiba menuruni tangga, menyanyikan lagu "Happy Birthday" dengan riang gembira. Di barisan depan, Orellana membawa kue ulang tahun yang indah. Dengan senyum tulus, Orellana menyerahkan kue itu pada Taeri sambil mengucapkan, "Selamat ulang tahun, Nyonya Denizer. Semoga panjang umur dan selalu diberkati."
Air mata haru kembali menggenang di mata Taeri. "Kalian semua... hiks... hiks... terima kasih banyak sudah mau merayakan ulang tahunku," ujarnya dengan suara bergetar.
Sementara Taeri terisak haru, Azey memeluk pinggangnya erat, memberikan dukungan. Seorang pelayan lain mendekat, menyodorkan piring kecil dan pisau pada Taeri. Pricilia segera memegangi kue itu agar Taeri lebih mudah memotongnya. Dengan nada lembut, Pricilia berkata, "Silakan potong kuenya, Nona."
Taeri tersenyum tulus. Dengan anggun, ia memotong kue itu, lalu beralih menatap Azey. "Sayang, sekarang buka mulutmu," pintanya lembut. "Suapan pertama ini spesial untukmu."
Permintaan itu membuat Azey menatap Taeri datar. Dengan nada enggan, ia berkata, "Singkirkan itu dariku, baby. Aku tidak suka makanan manis."
Seketika, senyum di wajah Taeri memudar. Melihat kekecewaan di mata kekasihnya, Azey menghela napas. Dengan nada sedikit mengalah, ia kembali berkata, "Baiklah. Sekarang, suapi aku."
Taeri kembali tersenyum cerah saat menyuapi kue ke mulut kekasihnya. Dengan nada penuh harap, ia bertanya, "Gimana, Sayang? Enak, gak?"
"Lumayan," jawab Azey singkat, meskipun sedikit terpaksa.
Para pelayan yang menyaksikan momen itu menahan tawa. Mereka ingin sekali tertawa melihat ekspresi Azey, namun mereka masih sangat menyayangi pekerjaan mereka, atau lebih tepatnya, nyawa mereka.
Setelah menyuapi Azey, Taeri menyuapi dirinya sendiri, lalu beralih menatap Orellana. "Sekali lagi, terima kasih ya atas usaha kalian semua," ucapnya tulus.
"Sama-sama, Nona," jawab Orellana sambil sedikit menunduk. "Ini memang kewajiban kami. Kami senang karena Nona menerima hadiah kecil dari kami."
Perlahan, Taeri mendekat, memberikan kue yang ada di tangannya pada pelayan lain, lalu memeluk Orellana sekilas. "Terima kasih banyak," bisiknya di telinga Orellana.
Kemudian, ia tersenyum pada seluruh pelayan. "Kalau begitu, aku ke kamar dulu, ya. Ingin istirahat," pamitnya lembut.
Semua pelayan menunduk serempak, memberikan penghormatan. Azey merangkul pinggang Taeri dengan posesif, membimbingnya menuju tangga yang mengarah ke kamar mereka.
Di kamar, setelah menikmati mandi yang menyegarkan, Taeri langsung memilih lingerie tipis berwarna hitam yang menggoda dari lemarinya. Ia kemudian duduk di depan meja rias, mulai memoles wajahnya dengan riasan yang memukau. Sambil berkaca, ia bergumam pelan, "Hmm, kurang apa lagi, ya? Ah, ini dia sentuhan terakhir."
Taeri tahu betul bagaimana cara memanjakan Azey dan membuatnya betah. Ia beranjak ke lemari kacanya, membuka pintu, dan memilih salah satu parfum mewahnya. "Hmm, sepertinya wangi strawberry ini terlalu manis untuk malam ini," gumamnya sambil meletakkan kembali botol parfum itu.
Ia kemudian mengambil botol parfum yang lain. "Nah, ini baru pas, Amber Jasmine," bisiknya pelan sambil menyemprotkan parfum itu ke seluruh tubuhnya. Tak lupa, ia juga menggunakan luxury feminine wash untuk memberikan kesegaran pada area sensitifnya.
Setelah semua persiapan selesai, Taeri keluar dari walk-in closet dengan langkah anggun dan percaya diri, menuju tempat tidur. Ia siap menyambut Azey dengan penampilan yang tak terlupakan.
Sesampainya di ranjang, Taeri mendapati Azey sudah berbaring dengan laptop bertengger di atas perutnya. Pria itu menatapnya datar saat ia mendekat. Taeri tersenyum menggoda, lalu meraih laptop itu dan meletakkannya di atas nakas.
"Sibuk sekali, ya, Sayang?" bisiknya lembut. Ia kemudian mendudukkan dirinya di atas perut Azey, menatapnya dengan tatapan menggoda. "Apa malam ini kamu cuma mau tidur saja? Atau..." Taeri sengaja menggantungkan kalimatnya, memancing reaksi Azey.
"Atau apa, baby?" sahut Azey cepat, dengan nada penasaran yang kentara. Perlahan, ia mengangkat sedikit tubuhnya, lalu membelai lembut pipi Taeri dengan ujung jarinya. Kemudian, jarinya itu turun perlahan, menyusuri belahan dada Taeri yang tersembul dari balik lingerie tipisnya. Sambil menatapnya dengan tatapan penuh nafsu, ia berbisik, "Sepertinya kamu sedang ingin bermain malam ini."
"Tidak, aku hanya sedang senang karena ini hari ulang tahunku," elak Taeri, berusaha menyembunyikan hasratnya. Ia tidak ingin terlihat terlalu agresif di depan Azey, meskipun ia tahu pria itu tidak akan keberatan.
Azey menyeringai licik, seolah tahu apa yang sedang disembunyikan Taeri. Sambil berbisik serak di telinganya, ia berkata, "Tidak perlu malu-malu, baby. Kita kan sudah sering melakukannya."
Dengan gerakan lembut, Azey mencium bibir Taeri. Gadis itu memejamkan mata, menikmati sensasi lidah Azey yang bermain-main di dalam mulutnya. Desahan kecil lolos dari bibirnya saat tangan Azey mulai meremas lembut kedua payudaranya. "Ssshh... Ah... Sayang," desahnya tertahan.
Setelah beberapa saat, Azey melepaskan ciumannya. Ia menatap Taeri dengan tatapan penuh gairah, membuat jantung gadis itu berdebar kencang. Dengan napas tersengal, Taeri berbisik manja, "Sayang, aku ingin memimpin malam ini." Ia mengusap lembut perut Azey, lalu melanjutkan, "Biasanya aku cuma disuruh berbaring diam, tapi malam ini aku ingin suasana yang berbeda. Karena ini ulang tahunku."
Azey mengangguk patuh, menuruti keinginan Taeri. Perlahan, ia merebahkan tubuhnya kembali di atas ranjang, memberikan kendali penuh pada kekasihnya. Taeri menyambut kesempatan itu dengan senyum nakal. Dengan gerakan lembut namun pasti, ia membuka celana pendek yang dikenakan Azey.
"Milikmu ini selalu menantang, Sayang," bisiknya menggoda. "Kadang aku sampai sedikit takut melihatnya."
"Kalau begitu, jinakkan dia, baby," sahut Azey pelan, dengan nada menggoda yang membuat bulu kuduk Taeri meremang. Sambil berbaring menikmati sensasi yang diberikan Taeri, ia mengusap lembut perut kekasihnya yang hanya tertutup oleh kain tipis. Ia merasa bangga dan bahagia melihat Taeri sudah tidak lagi merasa canggung atau takut padanya. Ia senang karena gadis itu mulai berani mengeksplorasi keintiman di antara mereka.
Tanpa menunggu lebih lama, Taeri sedikit merendahkan wajahnya, lalu memulai ritual yang sudah lama dirindukannya. Sentuhan lembut dan menggoda itu membuat Azey mendesis nikmat. "Ssshh... Baby, lebih cepat lagi... please," erangnya tertahan sambil mencengkeram rambut Taeri.
Dengan penuh perasaan, Taeri terus melumat milik Azey dengan lembut, berusaha memberikan yang terbaik yang ia bisa. Saat ia merasa Azey sudah hampir mencapai puncak, ia melepaskan ciumannya dan mensejajarkan pinggangnya dengan milik Azey.
Sambil berbisik lirih, nyaris seperti desahan, di telinga Azey, ia bertanya, "Sayang, kamu sudah mau selesai, ya? Kalau begitu, aku mulai, ya?"
Saat Azey mengangguk, memberikan izin penuh, dengan hati-hati Taeri mengangkat sedikit lingerie yang menutupi area intimnya dan mulai menyatukan tubuh mereka. "Ssttt... Sayang, keluarkan semuanya di dalamku," desisnya tertahan saat merasakan sentuhan pertama yang membakar.
Azey tersenyum tipis, menikmati sensasi yang diberikan Taeri. "Bergeraklah, baby," bisiknya pelan, "Tapi pelan-pelan saja, jangan sampai kamu kelelahan."
Taeri mengangguk kecil, matanya sayu penuh gairah. Dengan hati-hati, ia mulai menggerakkan pinggulnya, menyesuaikan diri dengan ritme yang mereka ciptakan. Setiap gerakan itu membuat Azey mendesis. "Sss stttt... Baby, kamu semakin pintar," pujinya.
Mendengar pujian itu, Taeri semakin bersemangat. Ia mempercepat gerakan pinggulnya, menahan diri dengan kedua tangan yang bertumpu di dada Azey, sambil mendesah nikmat. "Sayang... ahhhh..." desahnya, larut dalam kenikmatan yang membara.
Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat. Mereka tidak hanya bercinta sebentar, namun hingga jam satu dini hari. Sejujurnya, Azey masih belum merasa cukup dengan permainan mereka. Tubuh Taeri sudah menjadi candu yang melahap jiwanya, membuatnya ingin terus dan terus.
Namun, saat ia melihat Taeri sudah sangat kelelahan dan terbaring lemah di sampingnya, ia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan. Ia tidak ingin memaksakan kehendaknya. Dengan lembut, ia memeluk gadis itu erat, lalu berbisik lembut di telinganya, "Sekarang tidurlah, baby. Good night." Ia mencium kening Taeri dengan penuh kasih sayang.
Taeri tersenyum tipis, merasa damai dalam pelukan Azey. "Sweet dreams," balasnya singkat sambil menyusupkan wajahnya di dada bidang Azey, lalu memejamkan matanya.
Tanpa terasa, malam-malam yang dulu begitu mengerikan untuk dilewatkan bersama Azey, kini telah berubah menjadi detik-detik penuh cinta. Kehadiran pria itu di sisinya bukan lagi sebagai ancaman, melainkan sebagai kasih sayang yang selalu ia rindu dan harapkan, sekalipun ia harus sedikit mengorbankan moralnya.