Rika Nurbaya adalah seorang guru honorer yang mendapat perlakuan tak mengenakan dari rekan sesama guru di sekolahnya. Ditengah huru-hara yang memuncak dengan rekan sesama guru yang tak suka dengan kehadirannya, Rika juga harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya, Ramdhan memilih wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Hati Rika hancur, pernikahannya yang sudah berjalan selama 4 tahun hancur begitu saja ditambah sikap ibu mertuanya yang selalu menghinanya. Rika pun pergi akan tetapi ia akan membuktikan bahwa Ramdhan telah salah meninggalkannya dan memilih wanita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apresiasi Sekolah
Rika menatapnya dengan tenang. “Minta maaf untuk apa, Miss Rini?”
“Untuk semuanya,” Miss Rini menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. “Untuk semua gosip, semua bisik-bisik di ruang guru, semua yang saya lakukan bersama Bu Rosba. Saya tahu, saya jahat. Saya tahu, kami sudah keterlaluan.”
Miss Rini mengangkat wajahnya. Air mata mulai menetes di pipinya. “Saya ikut menyebarkan cerita bohong tentang kamu yang tidak sopan pada mertua. Saya tahu Bu Rosba memfotomu dengan Arya. Saya juga ikut tersenyum saat kamu dipecat.”
“Saat kamu mendapatkan penghargaan, saya ikut Rosba mencemooh. Saat kamu berhasil di Bina Cendekia, saya ikut membenci. Saya tahu kami iri, Rika. Kami iri karena kamu punya integritas dan keberanian, hal yang tidak kami miliki.”
Miss Rini terisak pelan. “Tapi setelah melihat Bu Rosba sekarang, saya sadar. Kebencian itu tidak pernah membawa kebaikan. Itu hanya merusak kami sendiri. Saya takut, Rika. Saya takut nasib saya akan sama dengan Bu Rosba.”
Rika meraih tangan Miss Rini, menggenggamnya dengan hangat. Sentuhan itu mengejutkan Rini. Ia menyangka Rika akan membalas dendam dengan kata-kata kasar.
“Miss Rini, lihat saya,” kata Rika lembut.
Miss Rini mengangkat pandangannya yang basah.
“Saya tahu, kamu bukan orang jahat. Kamu hanya takut,” ujar Rika. “Kamu takut sendirian di ruang guru. Kamu takut tidak diterima oleh Bu Rosba dan kelompok senior.”
“Saya sudah memaafkan kamu, Miss Rini. Saya memaafkan Bu Rosba, dan saya memaafkan kamu. Saya memaafkan kalian bukan untuk kalian, tapi untuk diri saya sendiri.”
“Saya tidak mau lagi membawa beban kebencian itu. Saya tidak mau energi saya habis hanya untuk memikirkan dendam. Sekarang, saya punya pekerjaan yang baru, murid-murid yang luar biasa, dan peluang yang besar. Masa lalu itu sudah selesai,” jelas Rika, nadanya penuh ketenangan.
Miss Rini menggeleng, air matanya semakin deras. “Tapi kamu dipecat karena kami, Rika! Kami menghancurkan karier kamu di sekolah negeri!”
****
Rika tersenyum tulus. “Tidak, Miss Rini. Kalian tidak menghancurkan saya. Kalian, dan terutama Bu Rosba, justru mendorong saya. Kalian memaksa saya untuk melangkah keluar dari zona nyaman. Kalian memaksa saya untuk menjadi guru tetap di sekolah yang jauh lebih baik dan dengan gaji yang jauh lebih besar.”
“Saya harus berterima kasih pada kalian. Karena tanpa semua drama itu, saya tidak akan pernah tahu seberapa kuat saya, dan saya tidak akan pernah tahu seberapa berharganya saya.”
Pengakuan itu membuat Miss Rini terisak semakin keras. Ia merasa lega, namun juga malu atas kekejaman masa lalunya.
“Saya janji, Rika. Saya tidak akan ikut campur lagi. Saya akan fokus pada mengajar,” ujar Miss Rini, mencoba menenangkan diri.
“Bagus, Miss Rini. Kamu guru yang pintar. Kamu hanya perlu fokus pada hal-hal yang benar,” kata Rika, melepaskan genggaman tangannya.
Rika bangkit. Ia menatap Miss Rini dengan senyum terakhirnya yang damai.
“Jangan sia-siakan waktu dan energi kamu, Rini. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan kebencian dan intrik. Berdoalah untuk Bu Rosba, dan mulailah lembaran baru di sekolah. Saya percaya kamu bisa,” kata Rika.
Rika kemudian berbalik menuju lift. Miss Rini hanya bisa menatap punggung Rika yang menjauh. Ia melihat Rika melangkah dengan percaya diri dan aura kedamaian.
Miss Rini menyentuh pipinya yang basah. Ia memegang bunga lili di tangannya. Ia akhirnya mengerti. Rika Nurbaya, si guru honorer yang lemah, telah memenangkan segalanya—karier, martabat, dan terutama, kedamaian hatinya. Dan Rika tidak pernah meminta balasan, hanya memberikan pengampunan.
Miss Rini bangkit, berjalan menuju kamar Bu Rosba. Namun, ia berjalan dengan langkah yang berbeda, langkah yang kini dipenuhi penyesalan dan keinginan untuk memulai perubahan di dalam dirinya sendiri. Ia tahu, perpisahan ini adalah akhir dari babak kelamnya. Rika telah membebaskannya.
****
Di SMA Bina Cendekia, Rika Nurbaya menemukan kembali makna profesinya. Kelas-kelasnya selalu dipenuhi diskusi yang hidup dan ide-ide inovatif. Ia tidak hanya guru; ia adalah inspirator yang membawa pengalaman dunia nyata ke dalam kurikulum Bahasa Inggris. Dalam waktu singkat, Rika berhasil membuat program unggulan Bahasa Inggrisnya menjadi sorotan, terutama program debate and public speaking yang sangat diminati.
Pagi itu, Rika dipanggil ke ruangan Bapak Aris, Kepala Sekolah SMA Bina Cendekia. Aris, yang selalu tampak energik dan futuristik, menyambut Rika dengan senyum lebar.
“Rika, silakan duduk,” kata Aris, menunjuk sofa kulit di ruangannya. “Saya ingin bicara tentang hasil survei kepuasan guru yang baru kami selesaikan.”
Rika duduk, hatinya berdebar sedikit cemas, namun juga penuh antisipasi.
Aris memegang sebuah map tipis. “Sejak Anda bergabung, kami melihat perubahan drastis dalam semangat departemen Bahasa Inggris. Program debat yang Anda inisiasi berhasil menarik minat 80% siswa, jauh melampaui target kami.”
“Kami juga mendapatkan laporan dari para orang tua. Mereka mengatakan anak-anak mereka kini lebih bersemangat belajar tenses yang dulu mereka anggap membosankan. Dan yang paling penting, Rika,” Aris mencondongkan tubuhnya, “Anda mendapatkan rating tertinggi dari semua guru dalam hal motivasi dan integritas.”
Aris menutup map itu. “Atas nama Yayasan dan sekolah, kami ingin memberikan apresiasi resmi kepada Anda. Ini adalah bonus kinerja di luar gaji bulanan Anda, sebagai pengakuan atas kerja keras Anda. Dan yang lebih penting, kami ingin menawarkan Anda penyesuaian gaji dan tunjangan yang signifikan.”
****
Rika terhenyak. Bonus. Kontrak jangka panjang. Status dan pengakuan yang ia impikan. Air mata haru tak tertahankan. Ini adalah balasan sempurna atas fitnah yang ia terima.
“Pak Aris, saya… saya tidak tahu harus berkata apa. Terima kasih banyak,” Rika berbisik, suaranya tercekat. “Saya berjanji akan terus memberikan yang terbaik untuk Bina Cendekia.”
“Kami tahu Anda akan melakukannya, Rika. Anda membawa energi baru ke sini. Kami bangga memiliki Anda,” Aris tersenyum. “Teruslah menginspirasi, Rika.”
Rika meninggalkan ruangan itu dengan hati yang meluap-luap. Di tangannya, ia memegang amplop tebal dan janji kontrak yang menjamin masa depannya. Kehinaan di SMA Negeri 2 kini terasa seperti kisah lama yang jauh. Rika makin bersemangat untuk menorehkan prestasi, membuktikan bahwa dedikasi tak akan pernah kalah oleh dendam.
****
Sementara Rika menapaki puncak kariernya, di kamar rumah sakit yang sunyi, Bu Rosba masih terkunci dalam kebencian dan ketidakberdayaannya.
Sudah tiga minggu sejak serangan stroke itu, dan kondisinya belum menunjukkan kemajuan berarti. Fisioterapi berjalan lambat, dan ia masih sepenuhnya bisu serta lumpuh di sisi kanan. Ia terperangkap dalam tubuhnya, dan satu-satunya yang bisa ia gerakkan adalah mata kirinya dan rasa benci yang semakin mendalam.
Setiap sore, Pak Zakaria datang. Ia tidak pernah absen, merawat istrinya dengan penuh kesabaran yang luar biasa. Ia menyuapi Rosba bubur, membersihkan tubuhnya, dan yang paling penting, memberinya nasihat rohani.
Sore itu, Pak Zakaria duduk di samping ranjang, setelah selesai menyuapi Rosba. Ia memegang tangan kiri Rosba yang masih bisa bergerak, mengusapnya pelan.
“Bu, sudah waktunya Ibu bicara dengan hati, bukan dengan amarah,” ujar Pak Zakaria, matanya menatap Rosba penuh harap.
Rosba menatap suaminya. Tatapan matanya yang tajam menyampaikan penolakan dan rasa frustrasi yang luar biasa. 'Aku tidak salah! Aku tidak mau bicara!'