Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Marvin membuka laporan yang baru saja diberikan oleh Sabrina kepadanya. Laporan itu baru datang pagi ini dikirim oleh Fahmi melalui kurir yang bertugas hari itu. Semalaman Marvin sulit terlelap karena memikirkan masalah yang ada di proyek dan Bianca yang tidak juga membalas pesannya kemarin.
Beberapa kali Marvin menyipitkan matanya ketika membaca laporan yang dikirimkan oleh Fahmi. Marvin mulai mencoret-coret kertas di hadapannya dan mencocokan dengan dokumen perencanaan pengadaan barang yang sudah ia setujui sebelumnya, dari laporan yang Fahmi kirim ada barang-barang yang tidak sesuai dengan perencanaan dan memiliki selisih nominal yang cukup besar.
Hal ini bukan hanya akan merugikan perusahaan tapi juga akan merugikan konsumen mereka, terutama kepercayaan konsumen.
Marvin meraih ponselnya dan dengan cepat tangannya mencari nama kontak Leo, pria itu dengan cepat menekan tombol panggilan dan tidak perlu waktu lama suara Leo sudah terdengar menyapa pendengarannya.
“Ya, bos.”
“selidiki proyek yang ada di Bandung. Terutama semua karyawan di bagian pengadaan barang.” Perintah Marvin tanpa basa basi, suaranya terdengar tegas namun masih terdengar menahan marah.
“proyek yang baru berjalan tiga bulan lalu?” tanya Leo memastikan.
“ya, menurut laporan dari Fahmi ada yang melakukan kecurangan.” Jelas Marvin sebelum akhirnya mengakhiri sambungan telepon.
Marvin kembali mempelajari laporan itu dan sekali lagi mencoret-coret kertasnya, memberikan catatan di sekitaran tabel pada laporan itu.
Setelah berkutat cukup lama dengan laporan yang membuat kepalanya pening, Marvin menyandarkan tubuhnya pada kursinya, meraih ponselnya dan kembali membuka pesan yang kemarin ia tujukan pada Bianca namun belum juga dibalas oleh wanita itu. Sekali lagi ia mengirimkan Bianca pesan, menanyakan ada apa dengan wanita itu sampai jadwal konsultasinya harus ditunda dan kemana wanita itu sejak kemarin.
Ketukan pada pintu ruang kerjanya membuat Marvin segera menyimpan ponselnya.
“masuk.” Tukas Marvin dengan suara beratnya. Leo dan Saka muncul di ambang pintu dan keduanya langsung menyeruak masuk, mengambil posisi masing-masing di hadapan Marvin.
“Angga Wahyu, manager purchasing.” Suara Leo memecahkan keheningan diantara ketiganya. Marvin dan Saka mengenal nama itu, pria itu sudah lama bekerja untuk perusahaan Dirgantara, sehingga diluar ekspektasi kalau pria itu berani melakukan hal seperti ini.
“Apa yang dia lakukan?” tanya Saka menunggu penjelasan Leo selanjutnya.
“Kerjasama dengan supplier barang, mengganti beberapa barang dengan kualitas yang lebih rendah, bermain dengan harga, sepertinya supplier barang merupakan kenalannya juga.” Jelas Leo yang langsung dimengerti oleh Saka, sedangkan Marvin hanya diam berpikir.
“berapa proyek?” tanya Marvin, ia yakin bukan hanya proyek di Bandung yang di korupsi oleh pria itu.
“ada dua lagi, tapi proses pembangunan baru sampai pembebasan lahan, belum ada barang yang digunakan.” Meski terdengar santai ada ketegangan yang di tahan oleh Leo. Ia tahu Marvin bisa meledak kapan saja.
“Selesaikan, Le. Minta dia ganti rugi dan penjarakan.” Putus Marvin akhirnya. Marvin tidak pernah bermain-main dengan benalu yang menggerogoti perusahaannya. Leo hanya mengangguk, ia mengerti maksud ucapan Marvin, ini akan menjadi tugasnya untuk menyelesaikan dan Marvin hanya tahu beres.
Leo pamit meninggalkan ruangan Marvin untuk kembali menyelidiki dan mengumpulkan bukti untuk bisa menuntut Angga.
“satu lagi Le,” ujar Marvin menghentikan langkah Leo yang akan membuka pintu, “blacklist supplier ini.” Lanjut Marvin yang kemudian di respon dengan anggukkan oleh Leo dan melangkah meninggalkan ruangan bosnya.
“gak mau denger alasan dia melakukan hal tersebut?” tanya Saka ketika Leo sudah menghilang di balik pintu ruang kerja Marvin.
“setelah tau alasannya? Mau dibebasin?” tanya Marvin balik pada Saka.
“ya engga sih, gak ada gunanya juga mempertahankan karyawan yang menyalahgunakan kepercayaan.” Sahut Saka kemudian, ia hanya menyayangkan apa yang dilakukan oleh Angga, pemuda itu salah satu karyawan yang cukup baik di perusahaan.
“nilainya hampir 2 milyar, Ka.” Semua barang yang di gunakan pada proyek Bandung harus di pilah lagi.” Jelas Marvin sambil menyerahkan laporan yang Fahmi berikan.
Saka membacanya sekilas dan sama seperti Marvin sebelumnya pria itu menyipitkan mata dan mengernyitkan dahinya, tidak percaya dengan angka yang tertera di sana.
“hentikan sementara proyek di Bandung sampai ini selesai.” Saka mengangguk mendengar perintah Marvin yang jelas ditujukan kepadanya, “dan selesaikan dengan cepat, Ka.” Lanjut Marvin yang membuat Saka kembali mengangguk.
*
Di tengah berita yang beredar tentang dirinya, Bianca memutuskan untuk menghindari Marvin sementara waktu, dan menunda jadwal konsultasi pria itu. Bianca melirik ponselnya yang bergetar menandakan adanya pesan masuk yang sudah Bianca ketahui pengirimnya. Marvin sudah beberapa kali mengiriminya pesan namun Bianca menahan diri untuk tidak membalasnya.
Hari ini memang seharusnya menjadi jadwal konsultasi Marvin, tapi Bianca sudah meminta Jean untuk memindahkan dan menunda jadwal sesi Marvin untuk waktu yang Bianca sendiri tidak tahu sampai kapan. Dari pesan yang dikirimkan oleh Marvin, Bianca tahu kalau Jean sudah melakukan tugasnya.
Meski sesi konsultasi hari ini sudah berakhir sejak sejam yang lalu, Bianca masih enggan meninggalkan ruangannya, seharusnya saat ini ia sedang menunggu Marvin muncul di balik pintu yang tidak kunjung terbuka itu. Bianca merasa masih perlu menunggu dan tanpa wanita itu sadari dirinya berharap Marvin tetap muncul meski ia sendiri yang sudah membatalkan pertemuan konsultasi saat ini.
Setelah setengah jam bergulat dengan pikiran dan harapan yang ia ciptakan sendiri, Bianca melangkah menemui Jean untuk mengatur sesuatu.
“Jean.” Panggilan Bianca membuat Jean mengangkat kepalanya dari lembaran kertas yang sedang ia rapikan ke dalam sebuah map.
“Apa ada yang bisa saya bantu, Mba Bianca?”
“Untuk jadwal Pak Marvin kamu bisa menjadwalkan ulang di dua minggu lagi ya.” Titah Bianca sopan.
Jean mengangguk dan mencatatnya. “Masih di hari dan waktu yang sama ya, Mba?” Bianca menatap Jean serius mendengar pertanyaan itu, wanita itu sedikit menimbang.
“Hari apa biasanya Mba Fani ada jadwal praktek?” Jean hanya mengerutkan dahi heran dengan pertanyaan Bianca, tapi sedetik kemudian ia melihat layar komputernya.
“Hari Senin dan rabu, Mba.”
Kamu boleh menaruh jadwal Pak Marvin di hari rabu dengan jam yang sama ya, Jean.” Jean mengangguk dan kembali mencatat permintaan Bianca.
Bianca memutuskan untuk kembali ke ruangannya setelah selesai dengan Jean. Ia mengeluarkan ponsel dan memeriksa beberapa notifikasi yang bisa diduga salah satunya ada nama Marvin di sana. Salah satu pesan Marvin sempat membuat dirinya tidak tega, Bianca sangat memahami bahwa pria itu mudah sekali merasa tertolak, terutama dengan sikap yang Bianca berikan saat ini.
Setelah menimbang cukup lama akhirnya Bianca memberikan pesan balasan kepada Marvin setelah pria itu mengirimkan pesan permintaan maaf jika dirinya memiliki kesalahan sampai Bianca mengabaikannya.
‘Kak Marvin. Aku hanya sedang ada urusan dan cukup sibuk saat ini. Kita bertemu di sesi dua minggu lagi ya.’