Bukan menantu pilihan, bukan pula istri kesayangan. Tapi apa adil untuk ku yang dinikahi bukan untuk di cintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahlina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
“Mau bagaimana pun, aku berhutang budi padanya. Saat itu hanya terlintas dirinya yang bisa aku mintai tolong. Berharap bisa menyelamatkan nyawa ku dari serangan Angel.”
“Masalah kamu belum juga selesai dengan Angel? Emang ya itu kepompong, seneng bangat nyari masalah sama kamu. Udah sih risent aja, kaya gak ada kerjaan lain aja. Banyak tuh perusahaan yang mau ngerekrut kamu buat jadi karyawannya.” gerutu Nisa.
“Mudah bangat itu congor ngomongin risent!”
“Iya lah gampang tinggal ngomong doang! Lagi si ribet bangat, kamu itu udah ada pak Alex, Wati! Kalo urusan kamu sama mas Hasan gimana? Jadi ngajuin gugatan cerai?”
Keduanya ngobrol ngalor ngidul, hingga tanpa terasa malam semakin larut. Entah berapa kali dering ponsel Wati berbunyi, namun si empunya belum juga berniat menjawab panggilan telepon yang masuk ke nomornya.
“Kamu udah buka blokiran mas Hasan?” beo Nisa, yang di angguki Wati.
“Jangan mengulur waktu buat kamu buang si brengsek itu, Wati! Laki laki brengsek kaya dia mah gak pantas dipertahankan.” serono Nisa penuh emosi.
“Sssttt! Gak usah bahas itu terus kenapa!”
“Baik lah, besok aku bakal dateng lagi buat nemenin kamu ngobrol, tapi setelah pulang dari kantor ya!” Nisa cipika cipiki dengan Wati, lalu meninggalkan Wati dalam kesunyian di ruang rawat.
“Mau berapa lama lagi, kau pura pura tidur pak Alex!” beo Wati datar.
Alex menggeliat, menampilkan otot otot lengannya yang mengencang, kedua matanya terbuka dengan wajah bantalnya.
“Kalo bukan mengingat wanita itu sahabat mu satu satunya yang kamu miliki, sudah dari tadi ku usir wanita berisik itu. Membuat telinga ku sakit saja!” Alex memiringkan tubuhnya, memandang Wati yang masih duduk dengan kedua kaki lurus di sisi ranjang lainnya.
Wati memperlihatkan kepalan tangannya di depan Alex, “Berani kamu melakukan itu, aku hajar kamu!”
Bukannya marah, Alex malah menatap Wati dengan tatapan nakal, “Lakukan saja jika kamu berani, satu pukulan, satu kali bergulat di ranjang dengan lama waktu 3 jam. Aku sih dengan senang hati menerima pukulan dari mu!”
“Enak aja kalo bicara, aku pukul kamu! Kalo kamu mau, kamu bisa lakukan dengan wanita lain. Apa itu bergulat dengan lama 3 jam. Dasar gila!” cibir Wati, membaringkan tubuhnya dengan posisi memunggungi Alex.
“Tidur lah dengan tenang, belakangan ini kamu pasti sulit tidur kan! Mengingat banyaknya hal sulit yang kamu lalui belakangan ini!” Alex mengelus puncak kepala Wati dengan penuh kasih sayang.
Langit di luar masih tampak gelap, matahari pun belum memunculkan diri.
Dengan kedua mata yang masih terpejam, rasa kantuk menghilang seketika. Saat Alex meraba raba bagian sisi ranjang Wati yang kosong.
“Wati gak ada? Apa dia melarikan diri dari ku?”
Dengan wajah panik, Alex langsung beranjak dari ranjang rawat, lalu menggedor pintu kamar mandi.
Dugh dugh dugh.
“Wati, apa kau ada di dalam? Wati, kamu ada di dalam tidak?”
Alex menem pelkan telinganya ke daun pintu, berharap dapat mendengar suara Wati dengan jelas, tapi hasilnya tidak ada sahutan dari dalam kamar mandi.
“Wati! Katakan sesuatu atau aku terpaksa membuka pintunya dengan paksa!” seru Alex merasa dirinya gak kehabisan ide.
“Baik lah jika itu yang kau inginkan, aku akan membuka pintunya.” bak orang bodoh, Alex menjawab pertanyaannya sendiri.
Ceklek.
Alex mengerutkan keningnya, mendapati kamar mandi yang kosong, tapi kamar mandi itu tampak belum lama digunakan, Alex melihat lantai yang masih basah terkena air.
Alex menyambar benda pipihnya yang ia letakkan di atas nakas, lalu ke luar dari ruang rawat, ia berlari bak orang kesetanan menuju meja jaga suster.
Begitu sampai di meja jaga suster.
“Sus, apa kamu melihat pasien yang ada di kamar VVIP keluar dari ruangannya? Dia Wati, kekasih ku. Aku tidak menemukan nya di ruang rawatnya. Cepat cari dia, sus!” desak Alex dengan wajah panik yang gak bisa ditutupi.
“Nona Wati? Tadi belum lama ia lewat sini Tuan.” beo salah satu suster.
“Ke mana dia pergi, sus? Kenapa kalian tidak menghalanginya? Harusnya kalian melarang pasien VVIP untuk meninggalkan ruangannya!” Alex menggerutu kesal, kedua matanya terus mengedar, mencari ke segala arah yang mungkin dilewati Wati.
“Mungkin pasien hanya berkeliling rumah sakit, Tuan.” timpal salah satu suster, mencoba menenangkan pria yang ada di hadapannya.
Alex mengerutkan keningnya, berkata dengan penuh emosi, gak terima dengan alasan yang dikemukakan suster padanya.
“Kanu sadar dengan apa yang kamu katakan? Ini masih larut! Apa yang mau dia cari hah!”
“Tapi Tuan …”
Belum selesai suster bicara, Alex sudah mencelanya sembari berlalu meninggalkan meja jaga suster.
“Percuma bertanya pada kalian! Membuang waktu ku saja! Harusnya aku mengikuti kata Arif, jika saja dia berjaga di depan pintu ruang rawat. Saat ini pasti Wati tidak akan lari dari ku.” gerutu Alex, menyesali keputusannya.
Alex terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit, melewati beberapa kamar, beberapa belokan, namun belum juga menemukan Wati.
Alex dihadapkan dengan 2 pilihan, menuruni lantai dengan lift atau tangga darurat.
“Orang kabur mana mungkin naik lift, pasti dia akan menghindari bertemu banyak orang.” pikir Alex.
Tak tak tak tak.
Langkah cepat Alex saat menuruni anak tangga darurat, menghasilkan bunyi dari sepatunya dengan nyaring.
“Apa mungkin Nisa yang menyarankan Wati untuk lari dari ku? Ah sialll, kenapa aku jadi bodoh begini menghadapi Wati!” Alex menggaruk kepalanya dengan frustasi.
Alex keluar dari tangga darurat dengan menarik pintu yang akan membawanya pada lantai 3, sementara lantai 4 adalah lantai di mana ruang rawat Wati berada.
Waktu berputar seakan sangat lambat bagi Alex, Alex terus mencari keberadaan Wati di rumah sakit, hingga membawanya sampai ke lantai 1.
Di mana ada taman bermain dalam ruangan, kantin, tempat ibadah, taman di luar ruangan yang terdapat kolam ikan, taman yang ditumbuhi beberapa tanaman rindang, beberapa ayunan dan bangku taman.
Alex menatap jengkel benda pipihnya yang ada di dalam genggaman tangan kanannya.
“Bodoh, kenapa aku tidak mencoba menghubungi Arif!” umpat Alex pada dirinya sendiri, dengan nafasnya yang memburu kesal.
Mencari Wati sudah membuatnya seperti orang gila yang kehilangan arah.
Panggilan pertama tidak dijawab Arif, baru di dering ke 2. Arif menjawab sambungan telepon. Dengan suara lantang yang diikuti nada panik, Alex memberikan perintah pada Arif.
“Dengarkan aku, Rif! Kerahkan orang orang terbaik yang kita miliki untuk mencari keberadaan Wati!”
[ “Mencari Nona Wati bagaimana maksud mu? Bukan kah dia bersama mu di rumah sakit?” ]
“Tidak bersama ku, dia kabur. Emmm tidak, mungkin Wati melarikan diri dari ku!” beo Alex dengan panik.
[ “Gak mungkin hilang, coba kamu cari dulu di sekitaran rumah sakit. Mungkin saja Nona Wati bosan di dalam kamar, jadi dia keluar untuk mencari udara segar.” ] pikir Arif dari sambungan teleponnya.
“Kenapa kalian mengatakan hal yang sama? Aku tidak mau tau, cepat kamu utus orang terbaik kita untuk berpencar mencari keberadaan Wati! Jika kamu gagal menemukannya, bersiaplah kehilangan posisi mu!” ancam Alex gak mau di bantah.
Alex terus melangkah dengan mata mengawasi sekitar, berharap menemukan sosok Wati.
Terdengar Arif menghembuskan nafasnya dengan kasar, sebelum akhirnya ia berkata dengan suara yang lebih santai, bahkan suaranya terdengar mengejek Alex.
[ “Kau saja yang terlalu bodoh Alex, pakai otak mu untuk berfikir dengar jernih. Nona Wati gak akan mungkin melarikan diri dari mu! Kamu masih terlalu dini mengambil kesimpulan. Sekarang kembali lah ke ruang di mana Nona Wati di rawat, secepatnya aku menyusul mu!” ]
Emosi Alex semakin menjadi, ia mengatai Arif dengan suara naik beberapa oktaf, “Kau pikir otak ku butek hah! Bisa bisanya kau mengejek ku! Dasar ka…”
Alex gak melanjutkan kata katanya, seketika umpatan nya pada Arif langsung terhenti, ia bahkan langsung memutuskan sambungan telponnya tanpa ragu.
Alex mempertajam pandangannya pada sosok yang tengah ia cari, sosok yang membuatnya hilang akal. Sembari mempercepat langkahnya ke arah yang ia lihat dengan langkah lebar, Alex menyimpan benda pipih itu ke dalam saku kemeja yang membalut tubuh atletisnya.
Alex tersenyum lebar dengan mata berbinar, ‘Aku yakin itu kamu, aku hapal betul punggung mu, rambut mu, aku datang Wati.’ pikir Alex.
Grap.
Alex langsung berhambur memeluk sosok wanita yang tengah berdiri memunggunginya.
“Kenapa kamu pergi tanpa membangunkan ku? Kamu mau membuat ku gila? Gak bisa kah tetap diam di dalam kamar?” Alex ngegas, sembari menjatuhkan dahinya pada salah satu bahu wanita yang ia pikir adalah Wati, ia menumpukan semua rasa lelahnya.
Hanya hembusan angin, tanpa adanya jawaban yang ke luar dari mulut wanita yang ada di dalam dekapan Alex.
Alex menghirup dalam dalam aroma tubuh yang tengah ia peluk, tangannya yang melingkar erat di pinggang si wanita kini mulai perlahan mengendur.
‘Kenapa wangi tubuhnya berbeda? Apa aku salah mengenali orang? Apa mungkin wanita ini bukan Wati?’ pikir Alex, meski cuma dalam hati.
Alex menegakkan tubuhnya, menarik lengan wanita itu hingga ke duanya saling berhadapan.
Bersambung