NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:796
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 (Part 2)

Setelah pertengkaran mereka malam sebelumnya—pertengkaran pertama mereka yang sesungguhnya—Bunga menjadi sangat, sangat sadar akan kedekatan fisik ini. Ia tidak bisa lagi berlindung di balik ilusi nyaman bahwa Arga adalah 'kakaknya' atau 'wali'-nya. Benteng Guling telah runtuh, secara harfiah dan kiasan. Laki-laki yang berdiri menjulang di depannya, melindunginya dari himpitan, adalah suaminya. Dan ia marah padanya. Atau setidaknya, ia marah semalam.

Jarak mereka hanya beberapa senti. Gerbong KRL di jam sibuk pagi itu bahkan lebih padat dari hari pertama OSPEK-nya. Bunga terhimpit di antara Arga dan seorang ibu yang beraroma minyak kayu putih.

Bunga menunduk, menatap sepatu ketsnya. Tapi ia tidak bisa mengabaikan indranya. Ia bisa merasakan panas tubuh Arga yang memancar, menembus kemeja putihnya sendiri. Panas yang stabil dan kokoh. Ia bisa mencium wangi yang kini mulai ia kenali sebagai wangi khas Arga: aftershave yang tajam dan segar, berbaur dengan aroma pekat kopi paginya. Wangi itu terasa menginvasi, membuat paru-parunya penuh.

Setiap kali kereta bergetar atau mengerem mendadak, lutut mereka nyaris bersentuhan. Tubuh Bunga menegang setiap kali itu terjadi, berusaha keras menjaga jarak yang mustahil itu. Ia merasa seperti sebatang kawat yang ditarik kencang.

Bunga bisa mendengar detak jantungnya sendiri di telinganya, berdebar-debar kencang, mengalahkan deru kereta dan pengumuman stasiun. Apakah Arga juga bisa mendengarnya? Apakah laki-laki itu merasakan ketegangan yang sama?

Ia memberanikan diri mendongak sedikit, hanya untuk menatap kancing ketiga kemeja Arga. Kemeja biru laut yang disetrika rapi. Ia memperhatikan jahitan benangnya. Apa saja, asal tidak bertemu dengan mata laki-laki itu.

"Jangan nunduk terus," bisik Arga tiba-tiba, suaranya pelan namun dalam, terdengar jelas di tengah keriuhan. Suara itu begitu dekat dengan telinganya, membuat bulu kuduk Bunga meremang.

Bunga tersentak kaget dan refleks mendongak.

Matanya langsung bertemu dengan mata Arga.

Laki-laki itu sedang menatapnya. Intens. Bukan dengan tatapan datar yang biasa ia pasang. Bukan dengan tatapan marah seperti semalam. Tapi dengan tatapan... lembut? Bunga tidak yakin. Ada sesuatu di matanya—mungkin sisa-sisa rasa bersalah, mungkin kekhawatiran murni. Ia tidak tahu. Tapi tatapan itu membuat perutnya melilit.

"Nanti kamu pusing dan mual kalau nunduk terus di kereta penuh," lanjut Arga, masih berbisik.

"Nggak," cicit Bunga.

"Pegang lengan jaket Mas," perintah Arga. "Biar kamu nggak goyang-goyang."

Bunga ragu-ragu. Rasanya aneh. Semalam mereka berdebat sengit, dan pagi ini Arga menawarinya pegangan? Tapi dorongan penumpang dari belakangnya membuatnya terhuyung ke depan, nyaris menabrak dada Arga.

"Pegang," ulang Arga, kali ini lebih tegas.

Tangan Bunga yang bebas—tangan yang tidak memegang tali ransel—terulur dengan ragu. Jari-jarinya yang ramping menyentuh kain wol dingin dari jaket kantor Arga. Ia lalu mencengkeram pelan ujung lengan jaket itu. Itu adalah pegangan yang kecil dan canggung, tapi terasa seperti jangkar di tengah lautan manusia yang bergejolak. Kain itu terasa mahal dan kokoh di bawah jemarinya.

Arga tersenyum tipis. Sangat tipis, nyaris tak terlihat. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke depan, kembali memasang wajah datarnya yang profesional, seolah-olah momen kecil barusan tidak pernah terjadi.

Tapi Bunga tahu. Ia merasakannya di genggaman tangannya, di debaran jantungnya yang mulai stabil. Sesuatu di antara mereka sudah berubah selamanya. Pertengkaran semalam telah meruntuhkan dinding, dan keintiman yang canggung pagi ini mulai membangun sesuatu yang baru di atas reruntuhan itu.

Di Stasiun Universitas, pintu terbuka. Kekacauan kembali terjadi.

"Ayo," kata Arga. Ia tidak menarik Bunga, tapi ia menggunakan tubuhnya untuk membuka jalan bagi Bunga terlebih dahulu, melindunginya dari arus penumpang yang masuk.

Mereka berpisah di pelataran stasiun, tempat yang sama seperti kemarin. Udara pagi terasa lebih segar hari ini.

"Kuliah yang benar," kata Arga. Itu adalah kalimat standarnya.

"Iya, Mas." Bunga membetulkan letak ranselnya.

"Jangan lupa... kabar-kabar," Arga mengingatkan aturan baru mereka. Aturan yang mereka sepakati dengan susah payah semalam. Tidak ada rahasia. Tidak ada lagi kebohongan. Kabari Mas.

"Pasti!" janji Bunga, kali ini dengan tulus.

"Oh, dan Bunga," Arga memanggilnya lagi tepat sebelum Bunga berlari menyeberang jalan.

Bunga berbalik. "Ya?"

Arga menatapnya, ekspresinya serius. "Sambalmu semalam... keasinan dikit."

Bunga melongo sejenak. Otaknya memproses. Sambal terasi yang ia buat sambil menangis semalam. Ia mengira Arga bahkan tidak menyentuhnya. Ternyata...

Lalu Bunga tertawa. Tawa lepas yang jujur. "IH, MAS ARGA! BILANG AJA ENAK! NYEBELIN!" teriaknya, tidak peduli pada mahasiswa lain yang melirik. Ia lalu berlari sambil tertawa menuju gerbang kampus.

Arga memperhatikannya pergi, senyum kecil yang tulus akhirnya tersungging di bibirnya. Gadis itu... benar-benar merepotkan. Ia baru berbalik badan, berjalan menuju peron yang akan membawanya ke kantor, saat ponselnya bergetar di saku celananya.

Sebuah pesan masuk.

[Bunga]

Makasih benteng KRL-nya, Mas. Hati-hati di jalan. 🙂

Senyum Arga sedikit melebar. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku.

Hari pertama kuliah—kuliah yang sesungguhnya—sangat luar biasa. Bunga bertemu Vina di depan gerbang, dan mereka berdua berlari dari satu gedung ke gedung lain, mencari ruang kelas mereka. Kelas pertama mereka, Pengantar Teori Arsitektur, diisi oleh seorang profesor tua galak bernama Pak Hadinata, yang langsung memberi mereka tugas untuk menganalisis denah dan fasad Parthenon.

"Selamat datang di Arsitektur," kata profesor itu dengan suara menggelegar. "Jika kalian di sini untuk menggambar pemandangan, silakan pindah ke Fakultas Seni Rupa. Di sini, kita bekerja dengan logika, presisi, dan sejarah!"

Bunga, alih-alih takut, Malah merasa tertantang. Ia mencatat setiap kata di buku barunya. Inilah mimpinya. Ini nyata. Ia sedang duduk di ruangan yang sama dengan calon-calon arsitek hebat. Ia merasa hidup, bersemangat, dan sangat bahagia.

Pukul tiga sore, kelas terakhirnya selesai. Ia berjalan keluar bersama Vina, otaknya penuh dengan denah, fasad, golden ratio, dan teori-teori baru yang memusingkan sekaligus menakjubkan.

"Gila, ya. Dosennya nggak ngasih napas," keluh Vina sambil meregangkan lehernya. "Kepalaku rasanya mau meledak. Parthenon! Kita baru masuk hari pertama, Bung! Kirain disuruh gambar rumah impian dulu!"

"Tapi seru, Vin! Seru banget!" kata Bunga, matanya berbinar.

Saat itulah ia melihatnya. Kak Reza. Ia sedang berdiri di dekat taman fakultas, di bawah pohon rindang, berbicara serius dengan beberapa mahasiswa lain yang sepertinya adalah panitia BEM. Seperti biasa, ia terlihat menonjol. Kemeja flanelnya yang rapi dan caranya berdiri penuh percaya diri membuatnya tampak seperti seorang pemimpin alami.

Seolah merasakan ada yang memperhatikan, Kak Reza menoleh. Ia melihat Bunga dan Vina. Ia tersenyum—senyum ramah dan menawan yang sama—dan melambai.

Vina langsung menyikut Bunga dengan keras. "Tuh! Pangeranmu! Samperin gih!"

Hati Bunga berdebar. Tapi debaran kali ini berbeda. Ini bukan lagi debaran fantasi yang meletup-letup seperti saat OSPEK. Bukan lagi debaran seorang 'upik abu' yang ditolong pangeran.

Kini ada debaran... cemas. Debaran yang penuh perhitungan. Bayangan wajah tegang Arga semalam melintas di benaknya. *'Dia bohong, Bunga. Dia manfaatin kamu.'*

Reza berjalan menghampiri mereka, senyumnya masih terkembang.

"Hai, Melati. Hai, Vina," sapanya ramah. Suaranya tetap terdengar menyenangkan. "Gimana hari pertama kuliahnya? Lebih enak dari OSPEK, kan?"

"Seru, Kak! Dosennya gila-gila!" jawab Vina antusias seperti biasa.

"Lancar, Kak," jawab Bunga lebih kalem, mencoba tersenyum senetral mungkin.

"Syukurlah," kata Reza. Matanya fokus pada Bunga. Tatapan yang dulu membuat Bunga meleleh, kini terasa... terlalu intens. "Melati, kamu sudah lihat draf proposal yang saya kirim?"

Di sinilah ujian itu dimulai. Ujian dari aturan baru mereka.

"Sudah, Kak. Semalam saya lihat," kata Bunga jujur. Ia tidak bisa berbohong. "Idenya bagus banget. Program 'Ruang Ramah Anak' di bantaran kali itu... keren, Kak."

"Bagus, kan?" Wajah Reza terlihat bersemangat. "Nah, saya butuh masukanmu soal desain area bermainnya. Kamu kan masih segar idenya, baru lulus SMA. Besok jadi, kan? Jam empat? Kita bahas detailnya."

Bunga menarik napas pelan. Ia teringat janjinya pada Arga. Bunga janji, Mas. Bunga bakal jujur. Aku bakal kasih batasan.

"Jadi, Kak," katanya mantap.

Vina terlihat kaget Bunga mengiyakan. Reza tersenyum puas.

"Besok jam empat. Di perpustakaan pusat, kan?" lanjut Bunga.

"Betul," kata Reza.

"Tapi..." Bunga melanjutkan, suaranya tetap tenang dan sopan. "Saya cuma bisa sampai jam lima, Kak. Pas mau Maghrib, saya harus sudah jalan pulang. Saya... nggak boleh pulang malam sama... wali saya."

Ia sengaja menggunakan kata "wali". Kata itu adalah kebenaran yang terselubung. Arga adalah wali sah-nya di mata hukum, sebagai suaminya. Tapi di telinga Reza dan Vina, kata itu terdengar seperti paman yang galak atau kakak laki-laki yang super protektif.

Vina menatapnya dengan tatapan "lo-ngomong-apa-sih?". Wali? Sejak kapan?

Reza terlihat sedikit terkejut dengan batasan yang tiba-tiba itu. Senyumnya sedikit kaku. Mungkin ia tidak biasa ditolak atau diberi jam malam oleh maba. Tapi ia segera menguasai diri.

"Oh, tentu aja. Jam lima, ya? Nggak masalah," katanya, senyumnya kembali ramah. "Satu jam cukup buat diskusi awal. Wali kamu ketat juga, ya."

"Iya, Kak," kata Bunga sambil tersenyum tipis. "Dia... sangat protektif." Ada penekanan di kata itu, yang ia harap Reza bisa tangkap.

"Oke, kalau gitu," kata Reza. "Sampai ketemu besok, Melati."

"Iya, Kak."

Reza mengangguk pada Vina, lalu berlalu pergi untuk kembali ke kelompok diskusinya.

Begitu Reza jauh, Vina langsung menyerbu Bunga. "WALI? WALI SIAPA, BUNGA? Sejak kapan lo punya wali di Jakarta? Lo kayak anak SD mau study tour aja! Bukannya lo nge-kost sendirian?"

Bunga menghela napas, merasa lega. "Itu... Mas Arga."

"Hah? Mas Arga? Sepupu jauhmu yang kata lo itu? Yang nganterin lo pas OSPEK?"

"Iya. Dia yang... jagain Aku di sini," kata Bunga, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Dia protektif banget. Dan ternyata... dia yang ngurus dataku yang salah kemarin, bukan Kak Reza."

"APA?!" Vina memekik, membuat beberapa mahasiswa menoleh. "Jadi bekingan lo itu si sepupu jauh? Bukan Kak Reza? Gila! Sekuat apa dia?"

"Dia arsitek senior," kata Bunga, dan ia tidak bisa menahan nada bangga dalam suaranya. "Lulusan sini. Jaringannya kuat. Jadi, ya... Aku harus nurut sama dia."

"Pantesaaan," Vina manggut-manggut, terlihat takjub. "Gila, gila. Bekingan lo lebih ngeri dari Presiden BEM. Terus... lo beneran besok cuma sejam? Nggak nyesel? Itu Kak Reza, lho!"

"Iya. Aku udah janji sama Mas Arga," kata Bunga mantap.

Saat ia berjalan ke stasiun sendirian (Vina naik bus ke arah yang berbeda), ia merasa ringan. Sangat ringan. Ia berhasil. Ia menepati janjinya pada Arga. Ia tidak memusuhi Reza, tapi ia berhasil menetapkan batasan yang jelas. Ia tidak membohongi siapa pun (ia memang punya wali yang protektif).

Ia merasa... dewasa.

Ia tiba di apartemen pukul setengah enam. Masih sepi. Arga belum pulang. Bunga meletakkan ranselnya, tidak menunda-nunda. Ia langsung mengambil ponselnya. Jantungnya berdebar sedikit.

[Bunga]

Mas, Bunga udah di apartemen. Tadi ketemu Kak Reza di kampus. Dia ngajak diskusi proyek BEM-nya besok jam 4 di perpus. Bunga bilang Bunga cuma bisa satu jam, sampai jam 5, karena wali Bunga protektif dan nggak ngizinin pulang malam. Bunga udah bilang gitu.

Pesan terkirim. Ia meletakkan ponselnya di meja, hatinya berdebar menunggu balasan.

Ia pergi ke kamar mandi, mengambil wudhu untuk sholat Maghrib. Ia sholat dengan tenang, pikirannya damai. Saat ia selesai berdoa dan melipat mukenanya, ponselnya bergetar.

Ia bergegas mengambilnya. Pesan dari Arga.

[Mas Arga]

Bagus. Mas lagi di jalan pulang. Kamu mau makan apa malam ini?

Bunga tersenyum lebar, senyum yang mencapai matanya. Lega. Ia berhasil. Ia jujur, dan dunia tidak kiamat. Arga tidak marah. Jawaban singkat "Bagus" itu terasa seperti pujian terbaik di dunia. Hubungan mereka berhasil naik level.

Ia mengetik balasan dengan cepat.

[Bunga]

Bunga mau coba masak... capcai! Tadi lihat resepnya di Youtube. Kayaknya gampang. 🙂

Hampir semenit kemudian, balasan datang.

[Mas Arga]

Terserah. Asal jangan keasinan lagi.

Bunga tertawa kecil. Ia bergegas ke dapur, mencuci tangannya, siap untuk petualangan kuliner berikutnya. Malam ini, ia akan memastikan capcainya sempurna.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!