Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 MEMBANTU
Keesokan harinya, semua penduduk Desa Willow telah mendapatkan rumah singgah sementara. Mereka masih berduka atas kehilangan rumah dan anggota keluarga. Terlebih dari itu, tanah pertanian mereka bahkan rusak akibat amukan ular raksasa. Dalam periode ini mereka masih bisa sedikit bersyukur karena penguasa wilayah Utara mengulurkan tangan untuk membantu memberikan papan, pangan, dan sandang.
Rumah singgah dibangun hanya dalam setengah hari. Semua ksatria sihir dan prajurit tangguh bekerja keras untuk menyelesaikan rumah sederhana ini. Meski terbuat dari kayu, ukuran rumah tersebut sangat besar dan cukup untuk melindungi diri dari suhu panas dan dingin. Ada lebih dari enam rumah singgah yang didirikan secara tiba-tiba. Untungnya, itu cukup untuk menampung beberapa keluarga. Sebagian warga Desa Willow ada yang memilih tinggal di tempat kerabat atau saudara mereka.
Semua korban jiwa dimakamkan secara massal dengan sangat khidmat. Mereka dimakamkan bersamaan dengan prosesi pemakaman para ksatria sihir yang telah tewas dalam pertempuran melawan ular itu. Warga Desa Willow tidak tahu bagaimana ular itu mati. Meski demikian, mereka sangat bersyukur akan kematiannya. Setidaknya itu dapat mengobati sedikit rasa sakit di hati mereka.
Sebagai penguasa wilayah ini, Arthur Froger selalu memberikan yang terbaik untuk warganya. Dia mengerahkan banyak pasukan untuk merekonstruksi keseluruhan Desa Willow hingga kembali layak untuk ditempati. Beberapa pekerjaannya di bidang perdagangan bahkan sedikit terhambat karena sibuk mengurus hal ini. Meski begitu, Arthur tidak gelisah. Dia memberikan komando pada semua pasukannya dengan sangat baik.
Pada siang hari, daftar nama-nama korban jiwa akibat amukan binatang suci yang gagal mencapai ranah dewa ditempelkan di papan pengumuman di tengah alun-alun ibu kota. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada keluarga korban yang tidak tinggal di Desa Willow.
Hainry yang mendengar kabar bahwa semua penduduk Desa Willow yang selamat telah mendapatkan rumah singgah, segera meminta izin kepada sang tuan untuk memastikan keselamatan kakek dan neneknya. Untungnya, dia mendapatkan tuan yang baik hati. Ia diberikan izin satu hari. Maka dari itu, setelah berpamitan, dia segera meninggalkan mension dengan langkah tergesa.
Akan tetapi, Hainry mengubur dalam-dalam angannya untuk kembali bertemu dengan kakek-neneknya. Sebab, saat dia melewati papan pengumuman di tengah alun-alun ibu kota, nama kedua orang tua itu terpampang di sana. Hainry hanya bisa menekuk lutut lemah dan menangis bersama keluarga korban lain yang juga melihat daftar nama-nama itu.
---
“Max, Ibu dengar ada insiden mengerikan di desa tempat tujuan kamu kemarin? Insiden apa itu?” tanya Riana pada saat makan siang.
Max yang baru saja menyelesaikan makannya, meneguk air putih sejenak sebelum menjawab, “Binatang suci yang gagal mencapai ranah dewa mengamuk di sana. Beruntung aku tidak tiba di sana lebih awal.”
Mendengar hal ini, Riana cukup terkejut. Sewaktu dia masih muda, Riana juga pernah menyaksikan binatang suci yang telah gagal mencapai ranah dewa mengamuk. Itu sangatlah mengerikan dan penuh ketegangan. Terlebih waktu itu, binatang tersebut mengamuk tepat di pintu masuk desa tempat tinggalnya. Mengingat hal ini, Riana mau tak mau juga mengingat sosok gagah yang telah menyelamatkan semua warga di desanya.
“Lalu, apakah banyak korban jiwa? Bagaimana binatang itu ditangani?” sang ibu kembali bertanya dengan nada cemas. Meski Riana baru tiba di wilayah ini dan tidak mengenal orang-orangnya, tetap saja dia merasa simpati terhadap korban jiwa akibat binatang suci yang menggila.
“Cukup banyak. Semua rumah warga ambruk, begitu pula dengan lahan pertanian. Kupikir, salah satu petinggi wilayah Utara yang telah membunuh binatang itu,” jawab Max sesuai fakta dan sedikit kebohongan.
Kemarin malam setelah ia pulang ke mension, Max memang tidak menceritakan hal ini kepada ibunya. Dia cukup sibuk membujuk sang putra yang sedang menangis.
“Oh Dewa, mengapa hal ini bisa terjadi? Ibu bersyukur kamu tidak tiba lebih awal di desa itu.” Riana semakin bersimpati ketika mendengar banyaknya korban jiwa dan kerusakan.
Sementara Max yang mendengar ibunya bersyukur dia tidak tiba lebih awal di desa itu, diam-diam kecewa pada dirinya sendiri. Sejujurnya, Max sangat menyesal karena tidak tiba lebih awal di desa itu. Meski dia tidak mengenal orang-orang di sana, tetap saja melihat mereka menderita banyak kerugian dan korban jiwa membuat Max tidak bisa tidak menyalahkan diri sendiri. Jika dia bisa memprediksi masa depan yang tak terduga, mungkin Max dapat mencegahnya. Meski berpikir begitu, Max tahu dirinya bukanlah mahakuasa dan serba tahu.
“Sepertinya di pusat kota ada biro bantuan untuk insiden ini. Aku akan menyumbang beberapa emas di sana. Apa Ibu ingin membuat makanan untuk disumbangkan?” tanya Max di akhir kalimatnya.
Riana mengangguk tanpa pikir panjang. Meski dia tidak bisa membantu apa-apa, setidaknya dia bisa membuatkan makanan untuk para korban yang selamat. Sudah sewajarnya bagi sesama manusia untuk membantu, barang sekecil apa pun itu.
Setelah itu, Max segera meminta pelayan dapur untuk membeli bahan makanan dalam jumlah besar. Bersamaan dengan itu, Max juga memberikan Yas dua kantong hitam berisi emas dan perak untuk disumbangkan ke biro bantuan. Yas yang memegang dua kantong itu sedikit gemetar. Jika itu kantong kecil, mungkin dia akan biasa saja. Namun, kantong itu sebesar dua tangan orang dewasa. Dia tak dapat membayangkan sebanyak apa isinya. Meski demikian, Yas diam-diam bertekad untuk membawa kedua kantong itu dengan aman sampai ke tempat tujuan. Jadi siang itu beberapa pelayan dapur dan Yas segera melaksanakan tugas dengan menggunakan kereta kuda.
---
Di lain sisi, Arthur yang sedang beristirahat di pendopo belakang kastil mendapatkan surat dari Kekaisaran Zenos. Surat tersebut berisi mengenai berita duka Zenos karena meninggalnya Pangeran Kedua. Arthur hanya membaca surat itu tanpa ekspresi. Jika salah satu pangeran atau putri mahkota suatu kekaisaran meninggal dunia, hal pertama yang dikaitkan kaum bangsawan adalah perebutan kekuasaan.
Arthur sudah merasa lumrah akan hal ini. Meski demikian, dia sangat kesal sekaligus jijik dengan sistem saling membunuh ini. Karena sistem inilah Arthur juga kehilangan sahabat sekaligus saudaranya. Padahal, Arthur tahu betul sahabatnya tidak pernah menginginkan kekuasaan lebih, apalagi sampai menduduki takhta kekaisaran. Mengingat hal ini, Arthur jadi tidak bisa mengendalikan emosinya. Surat di tangan itu ia remas sampai sedemikian rupa.
“Ayah, apa yang kamu pikirkan?” Suara lembut itu tiba-tiba menyadarkan Arthur dari berbagai emosi. Dia mendongak dan mendapati Anna, putri sulungnya, sedang melangkah mendekat. Senyum kecil terbit di wajah tampan nan tegas itu.
“Apa Ayah masih mengkhawatirkan penduduk Desa Willow?” tanya Anna sembari duduk di seberang sang ayah.
Arthur mengangguk kecil sebelum menjawab, “Ya. Ayah tidak habis pikir, di saat masa tenang seperti ini, malapetaka malah datang di wilayah kita.” Suara Arthur terdengar serak dan lelah.
“Di masa depan, tampaknya kita harus mempersiapkan segala hal untuk mencegah kejadian serupa terjadi. Mungkin Ayah bisa memulainya dengan memberikan pelatihan tambahan kepada para ksatria sihir,” ujar Anna memberikan saran.
Mendengar hal ini, Arthur mendapatkan sedikit pencerahan. Mata pria itu tampak berbinar dengan kesungguhan. Arthur tidak menyangka putri sulungnya akan membuka pikirannya seperti ini.
“Ya. Itu ide yang cukup bagus. Ayah juga akan menambahkan prajurit bayangan dan ksatria sihir untuk berjaga di tiap-tiap desa kecil,” imbuh Arthur dengan semangat. Tanpa sadar, beban pikirannya beberapa waktu lalu perlahan tersapu.
Anna tersenyum ketika melihat wajah sang ayah yang tidak lagi murung. “Ketika aku menjelajahi perpustakaan bawah tanah, aku menemukan ini. Kupikir ini akan sangat berguna untuk Ayah,” ujar Anna sembari memberikan sebuah buku bersampul hitam pekat dengan motif lingkaran sihir.
Arthur mengernyitkan dahi ketika melihat buku itu. Tanpa pikir panjang, dia segera mengambilnya dari tangan Anna. Cukup lama Arthur memandang sampul tersebut. Namun, dia tidak pernah melihatnya di perpustakaan bawah tanah. Mengabaikan segala kebingungan, Arthur pun segera membuka buku tersebut.
Setelah membaca beberapa baris kalimat, mata Arthur melebar seketika karena terkejut. Buku itu memuat segala macam bentuk sihir yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan energi abnormal yang dipancarkan oleh binatang suci.
“Jika semua ksatria sihir mempelajarinya, maka binatang suci yang memiliki energi abnormal dapat kita basmi sebelum mereka mengalami kegagalan mencapai ranah dewa,” suara Anna kembali terdengar ketika Arthur serius membaca.
Sang penguasa wilayah Utara itu pun mendongak dan menatap putrinya dengan tatapan cerah. Arthur nyaris percaya bahwa dewa meminjamkan tangan kepada Anna untuk menunjukkan buku ini padanya.
---