zaira Kalya , gadis bercadar yang bernasib malang, seolah cobaan terus mendatanginya. Setelah Tantenya-tika Sofia-meninggal, ia terpaksa menerima perjodohan dengan albian Kalvin Rahardian-badboy kampus-yang begitu membencinya.
Kedua orang tua ziara telah meninggal dunia saat ia masih duduk dibangku sekolah menengah pertama, hingga ia pun harus hidup bersama tika selama ini. Tapi, tika, satu-satunya keluarga yang dimilikinya juga pergi meninggalkannya. tika tertabrak oleh salah satu motor yang tengah kebut-kebutan di jalan raya, dan yang menjadi terduga tersangkanya adalah albian.
Sebelum tika meninggal, ia sempat menitipkan ziara pada keluarga albian sehingga mereka berdua pun terpaksa dinikahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Di atas ranjang king size, albian terbaring dengan tubuh yang begitu panas. Sejak semalam ia tak bisa tidur dengan tenang dan terus memikirkan ziara yang entah berada di mana. Albian dihantui dengan perasaan bersalah pada ziara yang pergi dari rumah karena ucapannya yang keterlaluan.
Di samping kanannya, Bi Asih duduk di sisi ranjang sambil mengompres dahi albian agar panasnya segera turun. Sementara di samping kirinya, diana menggenggam tangan albian sambil mencoba menelepon Dokter Heru agar datang ke rumah untuk memeriksa sang putra.
“Kita ke rumah sakit aja ya, bian. Dokter Heru gak angkat teleponnya dari tadi. Mama takut kamu makin parah sakitnya. Kamu demam tinggi sekarang. Hampir 40 derajat,” ucap diana yang tak hentinya mencemaskan sang putra.
Albian menggeleng samar, tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Bahkan kedua matanya terus menutup meski ia sedang tidak dalam keadaan tidur. Kepalanya semakin pusing tiap kali ia membuka mata, seolah ruangan di kamarnya berputar-putar.
"Aduh... Gimana ini, Bi? Saya takut kalau demamnya gak turun-turun. Albian juga gak mau makan sama sekali dari tadi. Gimana bisa dia minum obat kalau begini?" Diana semakin panik melihat keadaan putra tunggalnya yang terlihat begitu pucat.
"Bi Asih juga takut, Bu. Den bian kelihatannya lemes banget. Apa gak ada dokter lain selain dokter Heru, Bu? Biar Den Zian bisa segera diobati. Masalah Den bian gak mau dibawa ke rumah sakit," balas Bi Asih yang sejak tadi mengusap air matanya sebelum menetes ke pipi.
Tok...
Tok...
Tok...
Suara ketukan pada pintu mengalihkan perhatian diana dan Bi Asih yang sedang mengobrol. Bi Asih segera bangkit berdiri untuk membuka pintu kamar karena pintu itu terus diketuk, yang semakin lama semakin keras.
"Iya, sebentar," ucap Bi Asih sambil memegang handle pintu kamar.
"Assalamualaikum, Bi," ucap ziara.
"Waalaikumsalam. Non zia udah pulang? Alhamdulillah, Non. Bibi kuatir banget sama Non zia. Apalagi semalam hujannya sangat deras. Bibi takut Non zia kehujanan," balas Bi Asih sambil meneteskan air mata. Tangan kanannya membelai lengan ziara dan membawa gadis bercadar itu masuk ke dalam.
Ziara menatap sendu ke arah ranjang di mana albian tengah terbaring tak berdaya. Wajah pemuda itu terlihat begitu pucat, membuat dada ziara seketika terasa sesak. Langkahnya begitu berat untuk mendekati albian. Gadis itu menyalahkan dirinya atas sakitnya albian sekarang.
"Kamu sakit kayak begini gara-gara aku, Zian," batin ziara.
Diana segera turun dari atas ranjang dan berjalan menghampiri menantunya. Ia lega karena ziara mau kembali pulang ke rumahnya setelah perlakuan sang putra yang cukup keterlaluan.
Wanita paruh baya dengan gamis warna pastel dan hijab yang senada itu memeluk tubuh mungil ziara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Mama senang kamu kembali, zia. Mama minta maaf karena belum bisa buat albian bersikap baik sama kamu," ucap diana sambil memeluk erat menantunya. "Mama janji, akan buat albian berubah dan bisa memperlakukan kamu layaknya istri."
"Gapapa, Ma. Mama gak salah. Bian juga gak salah. Zia tau istri bian butuh waktu untuk menerima zia. Lagi pula kami berdua juga sepakat ingin merahasiakan pernikahan ini dari anak kampus. Jadi, wajar saja kalo albian berusaha menutupi pernikahan ini dari Agra dan rifki kemarin," balas ziara.
"Tetap saja. Mama akan buat albian berubah agar bisa memperlakukan kamu lebih baik lagi," ucap diana setelah melepaskan pelukannya pada ziara. "Sekarang dia lagi sakit. Semalam Mama lihat dia kedinginan waktu pulang."
Mata ziara mendadak memerah.Ternyata tebakannya benar. Albian sakit karena kehujanan saat mencarinya semalam.
Bi Asih yang berdiri di samping ziara merangkul bahunya yang merosot. "Den bian, ini Non zia udah pulang," ucapnya sambil membawa ziara mendekat ke arah ranjang.
Mata albian mengerjap dan perlahan kedua matanya pun terbuka. Butiran bening menetes bersamaan dengan matanya yang terbuka. Bibirnya yang pucat dan kering itu bergerak perlahan mengucapkan satu kata lirih yang hampir tak terdengar.
"Maaf," ucap albian.
Ziara mendekat dengan langkah lebar. Lalu, duduk di samping Alzian yang terlihat begitu lemah.
Sosok albian yang selalu ziara lihat kuat, keras dan pemarah, kini sangat jauh berbeda. Albian terbaring lemah di ranjang dengan wajah yang begitu pucat, dan berhasil membuat butiran bening menetes tanpa bisa tertahan dari sudut mata albian.
"Udah minum obat?" Ziara mengambil kompres handuk yang ada di dahi albian.
"Gue cuma demam biasa aja, zia," balas albian lirih. Suaranya mungkin tak akan terdengar kalau ziara tak mendekatkan telinganya ke arah albian saat pemuda itu bicara.
"Mau demam biasa atau demam tinggi, tetap aja kamu lagi sakit, bian. Kamu tetap harus minum obat biar cepat sembuh." Ziara meletakkan kembali handuk tadi yang sudah dimasukkan ke dalam air hangat. "Tapi sebelum minum obat, kamu harus makan dulu."
AlbiN menggeleng pelan. "Gue gak mau makan. Jangankan nasi, air minum aja rasanya pahit, zia. Bisa-bisa gue muntah," tolak albian sambil menutup mulutnya dengan satu tangan. Mungkin takut ziara memaksanya makan.
"Gimana kalo aku suapin kamu pelan-pelan? Dikit-dikit aja yang penting ada makanan masuk biar kamu bisa minum obat." Ziara terus mencoba membujuk albian tanpa henti. "Kamu gak mau kan sakit terus kayak gini? Kamu pasti mau sembuh kan?"
Kepala albian mengangguk pelan. "Iya. Gue mau sembuh. Tapi gue gak mau makan."
"Gimana mau sembuh kalo makan aja gak mau, bian? Nanti kalo kamu sakit terus, aku nebeng siapa ke kampusnya? Terus nanti Dara pasti nyariin kamu kalo les privatnya kamu gak datang."
Mata albian seketika terbuka lebar begitu mendengar nama Dira. Nama Dira membuatnya teringat dengan vino yang kelihatannya naksir berat pada ziara. Tentu saja ia tak mau kalau sampai nanti vino mencoba mendekati ziara disaat albian tak ada.
"Ya udah kalo gitu. Minta Bi Asih ambilin gue makanan. Tapi, jangan banyak-banyak. Dikit aja. Sekalian sama obatnya juga," titah albian.
"Gue mau makan karena pengen cepet sembuh. Tugas kuliah gue banyak. Terus juga gue udah janji kan mau beliin lo laptop. Janji itu sama aja hutang. Gue paling anti punya hutang masalahnya," sambungnya.
Diana dan Bi Asih terkekeh pelan melihat albian yang kini jadi seperti anak kecil setelah ziara datang. Padahal sejak tadi pemuda itu terus bungkam. Bahkan membuka matanya saja enggan. Kini akhirnya ia mau makan berkat ziara yang terus membujuknya.
***
Awalnya ziara berniat absen hari ini karena kondisi albian yang masih belum baikan. Suaminya itu masih demam, meski panasnya sudah mulai turun. Tapi, karena desakan diana yang ingin ia tetap masuk kuliah, akhirnya ziara pergi ke kampus bersama eline.
Sepanjang perjalanan menuju kampus, gadis bercadar putih itu terus memikirkan kondisi albian yang masih sakit di rumah. Ia bahkan mengacuhkan Adeline yang tengah menyetir di sampingnya. Hingga gadis dengan rambut tergerai itu mulai merasa kesal karena diabaikan.