Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perhatian Aurelia
Jarum jam hampir menunjukkan pukul tujuh malam saat mobil hitam milik Leo berhenti di depan mansion mereka yang berdiri megah di tengah salju tebal. Lampu-lampu di sepanjang halaman berpendar lembut, memantulkan cahaya ke permukaan putih yang berkilau.
Begitu turun dari mobil, Arinda langsung merapatkan mantel tebalnya. Uap napasnya keluar pelan-pelan dari bibir, wajahnya memerah karena dingin.
“Mbak Sofia… dingin banget, ya… Arinda sampai mau beku,” gumamnya polos sambil menggigil.
Sofia yang berdiri di sampingnya tertawa kecil. “Sudah nona, ayo masuk dulu. Air hangatnya sudah saya siapkan.”
Ia segera membawa Arinda masuk, menuntunnya menuju kamar. Di dalam, ruangan itu sudah dipenuhi aroma sabun dan bunga mawar lembut. Air hangat di bathub mengepul, mengundang rasa nyaman setelah seharian menembus dingin.
Arinda duduk di tepi bathub, kakinya perlahan menyentuh air. “Ahh… hangat banget,” ucapnya pelan, senyum kecil terbit di wajahnya yang lelah.
Sofia dengan telaten membantu menyabuni tubuh nona kecilnya itu. “Tadi nona senang jalan-jalannya?” tanya Sofia pelan.
Arinda mengangguk kecil. “Senang banget, Mbak. Indah sekali ya, Swiss. Tapi dinginnya itu, aduh, Arinda sampai kaku semua.”
Sofia terkekeh kecil, menatap polosnya gadis muda itu. “Kalau bukan karena tuan Leo yang ngajak, nona pasti sudah menyerah di tengah jalan.”
Arinda tertawa ringan. “Mas Leo kan kuat, beda sama Arinda yang gampang kedinginan.”
Sementara itu, di luar kamar, suasana ruang keluarga sedikit menegang.
Aurelia yang baru turun dari tangga memandang Leo yang berdiri di depan perapian. Api yang menari di balik kaca hanya menambah kontras antara panas dan dingin yang menyelimuti percakapan mereka.
“Seharusnya ketika Arinda kedinginan, kau mengajaknya pulang lebih cepat, Leo.” Suara Aurelia datar tapi jelas menusuk. “Kau mau membunuhnya di tengah salju? Dia belum terbiasa dengan cuaca dingin seperti ini.”
Leo memutar tubuhnya perlahan, menatap istrinya dengan pandangan tajam. “Ini urusanku,” ujarnya singkat, tenang namun penuh tekanan. “Aku hanya mengajaknya jalan-jalan keliling Swiss. Dia belum pernah keluar negeri. Sedangkan kau…” ia berhenti sejenak, menatap Aurel dari ujung kaki hingga kepala, “kau sudah terlalu sering.”
Nada Leo tidak meninggi, tapi justru itu yang membuatnya terasa menohok. Aurelia mengepalkan tangan, menahan emosi.
“Leo, aku tidak iri,” balasnya dengan nada menahan. “Yang aku khawatirkan itu kondisi Arinda. Dia terlalu rapuh, terlalu polos. Kau tak bisa memperlakukannya seperti dirimu sendiri. Dia butuh perhatian, bukan dinginmu itu.”
Leo diam sesaat, lalu memalingkan wajahnya. “Aku tahu apa yang harus kulakukan, Aurel. Kau tak perlu mengaturku.”
Aurelia menghela napas keras. “Sudahlah. Percuma bicara dengan pria sekeras batu seperti kau. Aku lelah.”
Ia berbalik menuju tangga, gaun tidurnya menjuntai lembut menyapu lantai marmer. Sebelum naik, ia sempat menoleh sejenak, menatap suaminya dengan campuran lelah dan getir.
“Jangan bangunkan aku untuk makan malam,” ujarnya dingin. “Aku sudah kenyang berdebat.”
Langkahnya menghilang di ujung tangga, meninggalkan Leo sendirian di ruang keluarga yang kini hanya diterangi cahaya api perapian.
Beberapa menit kemudian, langkah lembut Sofia terdengar dari arah tangga.
“Tuan,” katanya pelan. “Nona sudah selesai mandi. Sekarang dia sudah berbaring.”
Leo hanya mengangguk pelan. “Baik. Pastikan dia hangat dan tidak demam.”
Sofia tersenyum kecil. “Nona tadi bilang, terima kasih sudah diajak jalan-jalan. Katanya hari ini hari paling indah.”
Leo terdiam, hanya pandangannya yang sedikit melunak. Dalam keheningan itu, Sofia meninggalkannya sendirian—membiarkan tuannya menatap salju yang terus turun di luar jendela, sementara di dalam, kehangatan yang sesungguhnya baru mulai tumbuh perlahan.
Pagi itu Swiss menyambut dengan cahaya matahari lembut yang memantul di hamparan salju putih. Burung-burung kecil berterbangan di luar jendela besar kamar mereka, dan udara dingin merayap pelan ke dalam ruangan. Arinda membuka mata perlahan, merasa sesuatu yang hangat melingkupi tubuhnya.
Ia menoleh pelan. Di sana, Leo masih terlelap dengan napas tenang. Lengan kokohnya memeluk Arinda dari belakang, dadanya yang bidang terasa hangat di punggung Arinda. Wajah Arinda memerah; jantungnya berdetak cepat setiap kali merasakan napas hangat suaminya di lehernya.
Ia tersenyum kecil sambil bergumam pelan, “Mas Leo masih tidur ya….”
Tangannya menyentuh dada bidang Leo, terasa keras dan kuat. Ia takjub sendiri—bahkan setelah seminggu tinggal bersama, Leo tetap seperti misteri baginya.
Pagi itu terasa damai. Tapi sekaligus berat. Karena hari ini, mereka harus kembali ke Indonesia.
Arinda menatap keluar jendela. Salju masih turun lembut, menutupi taman kecil yang selama seminggu menjadi tempatnya berjalan pagi bersama Sofia. Ia menarik napas panjang.
*Arinda lebih suka di sini*… batinnya. *Di sini nggak ada aturan ketat, nggak ada larangan aneh. Di sini Arinda bisa lihat dunia luar*…
“Kenapa melamun, baby?” suara berat Leo memecah keheningan.
Arinda menoleh cepat, mendapati tatapan hangat Leo yang baru saja membuka mata. Rambutnya sedikit berantakan, tapi wajahnya tetap tampan, terlalu sempurna di pagi yang tenang.
Arinda tersenyum malu. “Hari ini kita berangkat kan, Mas?” tanyanya lirih.
Leo mengangguk sambil menarik istrinya lebih dekat ke pelukannya. “Iya, baby. Tapi kenapa wajahnya murung begitu?”
Arinda menunduk. “Arinda lebih suka di sini. Di sini bebas, nggak banyak aturan kayak di rumah.”
Leo tertawa kecil, lalu mengecup kening istrinya lama. “Nanti kita pergi lagi, baby. Tapi bukan ke Swiss.”
“Terus ke mana, Mas?” tanyanya polos.
“Negara lain. Yang lebih indah. Kamu pasti suka.”
Senyum kecil merekah di wajah Arinda. Ia percaya saja, tanpa curiga apa pun. “Janji ya, Mas?”
“Janji,” jawab Leo lembut sambil mengacak rambut istrinya.
Tak lama, ketukan pelan terdengar di pintu.
“Tuan, semua berkas sudah siap. Pesawat berangkat dua jam lagi,” suara Adrian dari luar.
Leo mengangguk, meski tak terlihat oleh Adrian. “Baik, kami segera turun.”
Beberapa saat kemudian suasana mansion mulai sibuk. Sofia menata koper Arinda, memeriksa semua keperluan dari pakaian hangat hingga oleh-oleh.
“Nona, jangan lupa syalnya ya. Cuaca di luar masih dingin,” ujar Sofia sambil membungkus leher Arinda dengan syal biru muda.
“Terima kasih, Mbak Sofia,” jawab Arinda lembut. Ia menatap koper besar di sudut ruangan. “Kok banyak sekali ya, Mbak?”
Sofia tertawa kecil. “Ya jelas, nona. Ini semua hadiah dan oleh-oleh dari Tuan Leo untuk keluarga besar di Jakarta. Termasuk untuk nona juga.”
Arinda hanya bisa mengangguk polos, belum terlalu paham arti “keluarga besar” itu bagi Leo yang kehidupannya begitu luas dan rumit.
Di sisi lain, Aurelia sedang turun dari lantai dua bersama asistennya, Maya. Wajahnya segar, seolah lelah perjalanan beberapa hari lalu tak lagi tersisa. Ia melihat Arinda dari kejauhan dan tersenyum samar.
Langkah kakinya berhenti di depan Arinda, lalu ia merapikan syal di leher Arinda.
“Ayo, Arinda. Kita satu mobil, ya,” katanya lembut, nadanya terdengar ramah tapi tetap berjarak.
Arinda menatap wajah Aurelia, sedikit ragu. “Mbak Aurel… ikut satu mobil sama Arinda?”
Aurelia tertawa kecil. “Iya. Kamu tenang saja. Kalau butuh apa-apa, panggil aku. Jangan sungkan.”
Ia menepuk lembut bahu Arinda sebelum melangkah menuju mobil bersama Maya.
Arinda menatap punggung Aurelia lama, lalu memalingkan wajahnya ke arah Sofia yang berdiri di sampingnya.
“Kenapa Arinda nggak bareng Mas Leo aja, Mbak?” tanyanya polos, nada suaranya penuh keheranan. “Kenapa harus sama Mbak Aurel?”
Sofia menatap Arinda, menatap wajah muda yang belum mengerti kerasnya dunia di sekelilingnya. Ia menarik napas pelan sebelum menjawab dengan lembut, “Nona, yang publik tahu… istri Tuan Leo itu hanya Nyonya Aurel. Kalau publik tahu Tuan punya istri lain, semua akan jadi kacau.”
“Kenapa bisa kacau, Mbak?”
“Karena Tuan Leo orang besar, nona. Banyak saingan di bisnis. Banyak penyusup. Kalau sampai mereka tahu Tuan punya istri lain, mereka bisa menyerang dari situ. Hidup nona akan dalam bahaya.”
Arinda terdiam lama, menatap Sofia dengan mata beningnya. “Tapi kenapa Mbak Aurel tetap aman?”
Sofia tersenyum pahit. “Karena Nyonya Aurel punya orang tua kaya raya, punya banyak backing, nona. Tidak ada yang berani menyentuhnya.”
Arinda mengangguk pelan, seolah mencoba memahami dunia yang terlalu rumit baginya.
“Oh, jadi gitu ya…” ucapnya lirih. “Kalau gitu, Arinda harus hati-hati, ya, Mbak.”
“Betul, nona,” sahut Sofia sambil menggenggam tangan lembut nona kecilnya. “Sekarang ayo, Tuan sudah menunggu di bawah.”
Mereka melangkah perlahan ke arah mobil. Di halaman depan, mobil hitam sudah berjejer. Aurelia sudah duduk di mobil pertama bersama Maya, sedangkan Leo bersama Adrian di mobil kedua.
Arinda menatap ke arah Leo dari jauh, senyum kecil terbit di wajahnya.
Andai saja Arinda bisa duduk di sebelah Mas Leo… pasti perjalanan pulang terasa menyenangkan, pikirnya polos.
Namun Leo hanya menatapnya sebentar, mengangguk pelan, lalu masuk ke mobilnya.
Sofia menggenggam tangan Arinda erat. “Ayo, nona. Sudah waktunya.”
Dan di bawah langit Swiss yang perlahan berubah abu-abu, iring-iringan mobil itu mulai bergerak menuju bandara.
Arinda menatap keluar jendela, mengingat pemandangan gunung bersalju, pondok kayu, dan tawa kecil mereka selama seminggu.
Hatinya berbisik lirih, Arinda ingin di sini lebih lama… tapi kalau Mas Leo mau, Arinda ikut saja.
Mobil terus melaju, meninggalkan Swiss yang dingin—dan membawa pulang kisah yang hangat, meski masih diselimuti rahasia yang belum sepenuhnya terungkap.