Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 27 — Jejak yang Terhapus
Pukul sembilan malam.
Lantai 23 Vibe Media sudah sepi. Lampu sebagian ruangan dimatikan, hanya tersisa cahaya biru dari layar komputer dan dengung mesin pendingin yang stabil.
Di sudut ruangan, Ryan duduk di depan monitor, mengetik cepat sambil sesekali menatap ke arah pintu.
“Gila,” gumamnya pelan, “aku baru sadar, jadi hacker itu ternyata lebih menegangkan daripada ngakuin perasaan.”
Dari sisi lain layar, muncul pesan di chat internal:
> Zane: Lu yakin mau akses log kantor jam segini?
Ryan: Demi gadis paling keras kepala di lantai ini, iya.
Zane: LOL, berarti Emma lagi. Oke, gua bantu. Tapi hati-hati, bro. Dawson bisa nyium jejak digital sekecil apapun.
Ryan: Makanya kita hapus sebelum dia nyium.
Ryan tersenyum kecil, lalu menekan tombol Enter.
Data login server mulai muncul di layar — daftar waktu, alamat IP, dan aktivitas pengguna.
Tapi anehnya… log dari jam 10.24 malam dua hari lalu hilang.
Baris yang seharusnya berisi akses dari akun emma.wilson hanya menunjukkan tanda kosong.
Ryan menyipitkan mata. “Tidak mungkin. Sistem kantor nggak mungkin bolong begini.”
> Ryan: Zane, log-nya ada yang dihapus.
Zane: Serius? Cuma IT admin yang bisa hapus permanen.
Ryan: Dan siapa satu-satunya yang punya izin akses itu?
Zane: ...Liam Dawson.
Ryan menyandarkan diri ke kursinya. “Ketahuan juga, bajingan elegan itu.”
---
Keesokan paginya, Emma baru masuk ke kantor dengan kopi di tangan. Ryan langsung menghampirinya di lift, wajahnya penuh semangat seperti anak kecil yang habis menemukan harta karun.
“Pagi, partner kejahatan,” sapanya.
Emma menatap curiga. “Kau senyum kayak orang baru dapet bonus.”
“Bukan bonus, tapi bukti.”
Mereka duduk di ruang pantry, dan Ryan menunjukkan tablet-nya. “Aku udah lihat log sistem. Data login malam itu dihapus manual — dan cuma satu orang yang punya izin buat itu.”
Emma langsung paham. “Liam.”
“Bingo.”
Emma menggigit bibir bawahnya, matanya memanas. “Dia benar-benar… gak akan berhenti sampai aku jatuh.”
Ryan menatapnya serius. “Kalau gitu kita juga nggak berhenti sampai dia kelihatan kotor.”
Emma menatapnya balik. “Maksudmu?”
Ryan tersenyum miring. “Aku mau bikin backup file dari server. Kalau aku bisa tunjukin bahwa log itu dihapus lewat akun admin, kita bisa buktiin dia manipulatif. Tapi aku butuh satu hal.”
“Apaan?”
“Kau pura-pura kalah.”
Emma melotot. “Kau gila?”
“Percaya sama aku,” katanya pelan. “Kalau dia merasa menang, dia bakal lengah. Dan saat itu… kita sikat balik.”
---
Sore hari, rencana dimulai.
Emma sengaja datang ke ruang Liam dengan ekspresi lelah.
Ia mengetuk pelan, lalu berkata sopan, “Boleh bicara sebentar?”
Liam menatapnya tanpa ekspresi. “Tentu, duduklah.”
Emma duduk. “Aku mau minta maaf soal kejadian kemarin. Aku sadar, aku terlalu impulsif.”
Liam menaikkan alis. “Begitu?”
Emma mengangguk kecil, memainkan jarinya. “Aku nggak mau masalah ini makin besar. Kalau memang aku salah, aku siap menerima konsekuensinya.”
Liam menatapnya, membaca gerak tubuhnya. “Kau menyerah secepat itu?”
Emma menunduk. “Aku cuma lelah.”
Liam tersenyum tipis — puas, tapi menahan diri. “Baiklah, aku hargai kejujuranmu. Mungkin kita bisa mulai lagi… dari awal.”
“Dari awal?” tanya Emma datar.
“Sebagai profesional, tentu saja.”
Liam berdiri, mendekat, menatapnya dengan pandangan tajam tapi lembut. “Aku tidak pernah benci kau, Emma. Aku hanya ingin kau belajar… untuk tahu batas.”
Emma menatapnya lurus. “Dan kau? Sudah tahu batasmu sendiri?”
Liam tersenyum dingin. “Aku yang membuat batasnya.”
---
Beberapa meter dari ruangan itu, Ryan menunggu di dekat ruang server, mendengarkan lewat earpiece kecil.
Zane di sisi lain layar memandu dari rumah.
> Zane: Log update masuk. Akun admin baru aja buka file lama.
Ryan: Artinya Liam baru ngakses.
Zane: Ya. Dan kita punya jejaknya sekarang.
Ryan menahan napas saat bar log muncul di layar laptopnya.
> “Access timestamp: 14:37 PM. User: admin.ldawson.”
“Dapat,” bisiknya.
Tapi sebelum ia sempat menyimpan file backup, layar laptopnya tiba-tiba berkedip.
> ACCESS DENIED – SECURITY OVERRIDE ENABLED
Ryan memaki pelan. “Sial, dia tahu!”
> Zane: Cepat cabut dari sana! Firewall-nya aktif. Kau bisa ketahuan.
Ryan menutup laptopnya, memasukkannya ke tas, dan berjalan cepat. Tapi sebelum keluar dari ruang server, suara langkah sepatu kulit terdengar dari lorong.
“Ryan?”
Liam berdiri di ambang pintu, menatapnya dingin.
“Apa yang kau lakukan di ruang IT malam-malam begini?”
Ryan berusaha tersenyum. “Wi-Fi di pantry lemot. Aku cuma numpang sinyal kuat.”
Liam melangkah mendekat, matanya menyipit. “Kau pikir aku bodoh?”
Ryan menelan ludah. “Aku nggak pikir kau bodoh, Pak. Tapi aku pikir kau paranoid.”
Liam berhenti hanya satu langkah darinya. “Kau bermain api, anak muda. Dan kalau kau terbakar, jangan salahkan aku.”
Ryan membalas tatapannya, tidak mundur. “Kalau aku terbakar, setidaknya aku tahu siapa yang nyalain koreknya.”
Mereka saling menatap tajam selama beberapa detik.
Suasana tegang, hanya terdengar dengung pendingin ruangan.
Liam akhirnya tersenyum tipis. “Kau lucu.”
Ryan membalas dengan nada ringan. “Dan Anda licik. Kita imbang.”
Liam berjalan keluar tanpa menoleh. “Permainan selesai, Ryan.”
Ryan memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas. “Belum. Justru baru dimulai.”
---
Malam itu, Emma menerima pesan dari Ryan:
> RYAN: Kita hampir ketahuan, tapi aku punya potongan log yang cukup buat bukti.
RYAN: Cuma satu masalah… firewall kantor sekarang aktif penuh. Aku nggak bisa akses sistem lagi dari dalam.
RYAN: Jadi kita harus cari cara lewat luar.
Emma menatap layar ponselnya, jantungnya berdebar.
> EMMA: Kamu mau bilang… hack server perusahaan dari luar?
RYAN: Tepatnya… malam minggu ini. Di apartemenku.
RYAN: Dan tolong bawa kopi. Ini bakal panjang.
Emma tersenyum kecil di antara rasa tegang dan geli.
Ia mengetik balasan pelan:
> EMMA: Baiklah, hacker ganteng. Tapi kalau ketahuan, aku pura-pura gak kenal kamu.
> RYAN: Deal. Tapi kalau berhasil, aku minta hadiah satu hal.
EMMA: Apa?
RYAN: Kamu gak boleh pura-pura gak suka aku lagi.
Emma berhenti mengetik.
Matanya menatap layar lama, sebelum akhirnya tersenyum samar.
> EMMA: Lihat nanti, ya.
Layar ponselnya padam.
Dan dari balik jendela apartemennya, lampu kota berkelip — seperti menyimpan rahasia yang baru saja dimulai.
--