Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.
Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.
Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.
Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.
Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?
Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.
Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Happy Ending?
Langit kota tampak dari balik dinding kaca. Interior minimalis bernuansa hitam-putih mengesankan wibawa dan ketegasan. Kenzie melangkah masuk, didampingi oleh Virgo yang membuka pintu dan menunduk singkat sebelum pergi.
Kenzie menyapu ruangan dengan pandangan. “Saya selalu penasaran... seperti apa rasanya berdiri di penthouse gedung paling berpengaruh di Asia. Sekarang saya tahu.”
Alaric tanpa berdiri, duduk di belakang meja besar, membalik satu halaman kontrak. “Bagus kalau Anda suka. Tapi saya tidak undang Anda ke sini untuk jadi turis, Kenzie."
Kenzie duduk, menyilangkan kaki. Wajahnya ramah, tapi ada sorot tajam dalam matanya.
“Tentu tidak. Kita bicara bisnis. Saya tertarik menanam modal di unit agensi Alverio, AV Talent House. Fokusnya... artis—terutama manajemen film dan acara.”
“Bagian yang mengurus Aluna?”
Kenzie tersenyum tipis, menyandarkan punggung. “Bisa dibilang begitu. Sejak bergabung dengan perusahaan Alverio, Aluna... hanya main di film atau drama plus-plus. Cukup... menarik. Bukannya Anda cemburu, Alaric?"
Alaric mengangkat alis, lalu menutup kontrak. “Cemburu pada produk sendiri? Tidak. Saya hanya memastikan investasi balik modal, syukur kalau dua kali lipat.”
Kenzie tersenyum, sinis tapi halus. “Kalau begitu, izinkan saya jadi manajer ROI untuk 'produk' Anda itu. Mungkin saya bisa menaikkan nilai jualnya, tanpa harus buka terlalu banyak baju.”
Alaric berdiri perlahan, tangan menyelip di saku. “Tentu. Asal Anda ingat, semua yang Anda sentuh di bawah agensi saya, tetap atas izin saya. Termasuk Aluna."
Kenzie menatap tajam. Alaric membalas tanpa gentar. Suasana menegang. Lalu Alaric kembali duduk, mencoret sedikit di dokumen perjanjian.
“Kontrak Anda sudah saya percepat jalurnya. Tapi Anda harus tunduk pada sistem kami. Termasuk pembatasan jenis proyek untuk Aluna.”
“Khawatir, akhirnya?”
Alaric tersenyum miring. “Saya realistis. Perempuan itu sudah cukup jadi alat. Sekarang, saatnya dijaga, sebelum akhirnya pecah.”
Keheningan sebentar. Kenzie akhirnya tertawa pelan, lalu bangkit berdiri. “Baiklah, CEO Muda. Anda tajam juga. Saya suka main dengan orang yang paham permainan.”
“Dan saya suka investor yang tahu batas.”
Kenzie menjabat tangan Alaric. Tegas. Dingin. Tapi ada ketegangan tersembunyi. Pertemuan bisnis atau medan psikologis?
Lampu gantung di atas mereka menyala lembut, sementara kondisi luar memperlihatkan langit yang mulai mendung.
“Selamat Anda sudah jadi bagian dari keluarga Alverio, Om,” ucap Alaric, menampilkan smirknya.
Kenzie tertawa ringan. Selisih umur sepuluh tahun. Ia terima dipanggil Om oleh suami anak didiknya itu.
Kenzie sudah melangkah ke arah pintu, tapi berhenti. Suasana sedikit hening sebelum ia bicara pelan, namun serius. “Satu hal lagi, Alaric.”
Alaric menoleh sedikit, masih duduk, angkat alis malas. “Hm?”
Kenzie menatap Alaric dengan tatapan penuh maksud. “Jangan bilang Aluna, saya yang menanam modal. Atau saya yang mengatur proyek dan drama barunya.”
Alaric tertawa sinis, berdiri pelan dan bersandar di mejanya. “Pahlawan diam-diam? Bukankah biasanya Anda suka masuk headline?”
Kenzie geleng kepala, nada lirih tapi jelas. “Aluna terlalu lelah untuk menanggung kenyataan kalau bukan suaminya yang memperjuangkan kariernya. Biarkan dia percaya… semua ini karena kamu, Nak.”
Alaric diam, menatap pria di depannya dengan campuran heran dan cibir.
Kenzie menambahkan, pelan dan tulus, “sejak dia remaja, saya selalu ada. Tapi sekarang bukan tempat saya. Saya hanya ingin artis kecil saya bahagia. Walau palsu. Walau bukan saya.”
Alaric menarik sudut bibir. “Cinta lama yang terlalu sabar ya, Om?”
Kenzie tersenyum tipis. “Bukan cinta. Hanya... kasih sayang yang tak perlu dibalas.”
Alaric hanya menatap, dalam diam. Entah menghakimi, entah kagum.
Kenzie melangkah keluar. Pintu ditutup Virgo dari luar.
Alaric berdiri sejenak, menatap tablet di mejanya. Lalu mengangkat smartphone.
Jari-jarinya sempat ragu. Ia hanya membuka foto Aluna yang sedang tertawa saat menggendong bayinya.
Alaric dalam hati, lirih, “satu-satunya orang yang ingin kamu bahagia... bukan aku."
...***...
Pintu terbuka. Alaric baru saja pulang kerja, masih memakai jas setengah terbuka, dasi melonggar. Rambutnya sedikit berantakan, pertanda hari yang panjang. Begitu masuk, aroma masakan ringan menyambutnya—tapi bukan itu yang menarik perhatian.
Langkah cepat Aluna menghampiri. Di tangannya sebuah tablet, layar mengarah pada sang suami.
“Lihat nih. Dua drama baru. Satu action, satu komedi. Bukan yang ‘itu-itu’ lagi.”
Alaric menatap layar sambil menggantung jas di gantungan terdekat, lalu duduk di sofa. Ia mengangkat tablet, membaca cepat judul-judulnya. Bibirnya langsung menyeringai.
“Action sama komedi?” Alaric memijit pelipis. “Ya Tuhan… kenapa bukan horor sekalian? Biar bisa matiin TV-nya.”
Aluna melipat tangan di dada, menaikkan satu alis. “Biasanya kamu paling semangat kalau ada adegan buka baju. Bahkan kamu yang milih naskahnya, Tuan CEO.”
Alaric menurunkan tablet, menatap Aluna dengan santai tapi tajam. Ia teringat dengan jelas ucapan Kenzie: “Jangan bilang saya yang atur semua…”
“Sekarang kamu ibu dari anakku.” Suaranya datar, tapi mengandung makna. “Masa anak kita harus nonton ibunya buka baju di TV?”
Aluna tertegun sejenak, tak menyangka Alaric menjawab seperti itu. Tapi ia tahu, kalimat barusan bukan lelucon biasa. Ada kepedulian yang disembunyikan dengan dingin.
“Kamu mulai terdengar kayak suami beneran.” Aluna menatapnya tajam tapi tersenyum geli. “Padahal biasanya kamu nggak peduli aku mau tampil telanjang atau main drama jadi simpanan siapa.”
Alaric berdiri dari sofa, meraih gelas di meja. Menuang air putih dengan santai. “Aku selalu peduli. Cuma… kadang aku tunjukkan dengan cara yang menyebalkan.”
Mereka saling diam sejenak. Hening. Tapi penuh arti. Aluna menatap punggung Alaric yang membelakangi, sedang meneguk air.
“Terima kasih. Walau aku tahu kamu bukan satu-satunya yang bantu urus proyek ini…”
Alaric menoleh. Mata mereka bertemu. Tapi tidak ada yang berkata apa-apa.
...***...
Cahaya matahari menerobos dari celah tirai, menciptakan siluet hangat di dalam ruangan.
Di atas tempat tidur, Aluna duduk bersandar dengan bantal di belakang punggungnya. Tangannya menggenggam tubuh mungil sang bayi yang tengah menyusu dengan tenang. Wajah Aluna lelah namun penuh cinta.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Alaric masuk sambil membawa tablet dan mengenakan kemeja linen yang belum dikancing rapi sepenuhnya.
Aluna tersentak, buru-buru menarik selimut ke atas dadanya. “Ya ampun! Masuk kok nggak ketuk dulu?”
Alaric menatap sebentar lalu kembali berjalan. “Kasihan, mukanya ketutupan. Bayi itu butuh udara, bukan diajak sembunyi-sembunyi.”
“Alaric! Keluar sana, ini bukan pemandangan buat kamu!”
Alaric berjalan tanpa terburu-buru ke sofa dekat balkon. Duduk dengan tenang, menyalakan tabletnya. Ia mulai membuka dokumen pekerjaan.
“Aku nggak akan lihat. Fokus kerjaku ke laporan, bukan ke bagian tubuh istri sendiri.” Nada suaranya ringan, sarkastik khas Alaric. “Lagipula, aku, ‘kan, sudah pernah lihat semuanya.”
Aluna mendengus kesal, tapi pipinya merah. Ia menunduk, melirik bayinya yang masih tenang menyusu.
“Tetap aja… nggak biasa. Sekarang aku Mama, bukan sekadar istrimu.”
Alaric masih menatap tablet. “Dan Mama dari anakku. Jadi, menyusui bukan sesuatu yang harus kamu tutup-tutupi di rumah sendiri.”
Hening sejenak. Angin semilir dari balkon mengayun tirai pelan. Bayi di gendongan Aluna tampak kenyang dan mulai terlelap.
Aluna dengan suara lirih berkata, “dia mulai tidur.”
Alaric menutup tabletnya perlahan. Ia berdiri, berjalan mendekat. Tapi tidak terlalu dekat. Ia menatap sang bayi, lalu menatap Aluna.
“Kamu hebat.” Alaric menatap Aluna lurus, jujur. “Luar biasa.”
Aluna tersenyum kecil, menunduk. Ia tahu pujian itu, dari mulut Alaric, adalah sesuatu yang jarang muncul.
“Terima kasih. Kamu juga… bisa jadi Papa yang baik.”
Alaric duduk di pinggir ranjang, tak menyentuh. Hanya menatap. Bersama mereka, dalam keheningan manis yang tak butuh banyak kata.
...***...
Cahaya temaram dari lampu meja tidur menyinari sebagian ruangan. Di atas ranjang utama, Aluna tertidur dengan tubuh agak miring menghadap ke tengah kasur. Bayi mungil mereka juga terlelap di sampingnya, di atas perlak empuk yang dilapisi kain lembut.
Alaric keluar dari kamar mandi. Rambutnya sedikit basah, mengenakan kaos tipis dan celana tidur. Ia menghela napas, lalu memandangi ranjang mereka.
Matanya langsung menangkap sosok kecil di samping Aluna yang sudah lelap.
Alaric bergumam lirih. “Astaga… bisa ketindih ini.”
Dengan langkah pelan, Alaric mendekat ke sisi ranjang. Ia berjongkok, lalu dengan lembut menyelipkan kedua lengannya ke bawah tubuh mungil sang bayi. Ia berhati-hati, memastikan tidak membangunkan sang buah hati.
Perlahan, ia mengangkat bayi itu ke pelukannya. Bayi hanya menggeliat sedikit, lalu kembali tenang.
Alaric melangkah ke sisi lain ruangan, ke ranjang khusus bayi yang bersekat pagar empuk. Ia membaringkan bayinya di sana, membetulkan posisi selimut kecil.
Aluna membuka mata, wajahnya panik. Matanya menyapu sisi ranjang, kosong. Ia langsung bangun setengah tubuh, mencari.
“Alaric? Bayi kita—”
Alaric sudah duduk di tepi ranjang. Ia menarik selimut ke tubuh Aluna.
“Tidur aja.”
Aluna masih kebingungan. “Tadi… dia di sini. Kenapa—”
Alaric tenang, sedikit sinis tapi lembut. “Karena aku takut aku balik badan dan nindih anak kita. Nanti kamu nangis lagi kalau dia masuk rumah sakit karena kebodohan orangtuanya.”
Aluna terdiam. Ia menoleh ke ranjang bayi. Bayi mereka sudah tidur pulas, tangannya mengepal kecil di dekat pipi.
Aluna setengah malu, setengah tersentuh. “Kamu… mikirin itu juga, ya?”
Alaric merebahkan diri di ranjang, memunggungi Aluna. “Aku bukan orang bodoh, Aluna.”
Aluna tersenyum kecil dalam gelap. Ia kembali merebahkan diri, menatap punggung suaminya.
Aluna berbisik, “tapi kamu juga bukan orang hangat.”
Alaric masih memunggungi. “Dan kamu suka itu.”
Aluna terkekeh pelan, lalu memejamkan mata. “Boleh aku peluk kamu malam ini?”
Alaric menoleh. Wajahnya tak segarang biasa. Ia mengangguk. Tanpa banyak gerakan, Aluna memiringkan tubuh, menyusup ke dalam pelukannya. Kepalanya bersandar di dada Alaric.
Alaric membelai rambut Aluna pelan. Suara jantungnya tenang, hangat.
“Kamu tahu? Ini pertama kalinya aku merasa… gak takut.”
“Takut apa?”
Alaric menatap langit-langit sejenak, lalu memejamkan mata. “Takut kehilangan seseorang yang mungkin… bisa jadi rumah buatku.”
Aluna diam. Ia menggenggam ujung kaos Alaric, menariknya erat. “Kalau kamu mau… aku bisa jadi rumah itu. Meski aku pun retak di banyak sisi.”
Alaric mencium ubun-ubunnya. “Yang aku butuhkan cuma satu, kamu nggak ninggalin aku. Itu cukup.”
Aluna menatap Alaric dari bawah, mendongak. Dengan perlahan, ia mencium bibir suaminya. Lembut. Bukan karena nafsu. Tapi karena rindu yang selama ini dipendam meski tidur dalam ranjang yang sama.
Alaric membalas, menahan tengkuk Aluna. Ciuman mereka dalam. Lama. Tenang. Ada luka. Ada ketakutan. Tapi juga keinginan untuk saling tetap.
Lalu Alaric memeluk Aluna lebih erat. Keduanya kembali berbaring, saling mendekap.
Alaric berkata pelan, setengah berbisik, “malam ini, jangan pergi dulu. Tinggal di sini. Di pelukanku. Meski aku belum tahu bisa mencintai kamu dengan benar... tapi aku gak akan kemana-mana.”
Aluna tersenyum kecil, menyeka air matanya diam-diam. “Itu sudah cukup.”
Lampu kamar sepenuhnya padam. Hening. Hanya suara napas dua manusia yang mulai saling membuka hati.