Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadapi Semua
Langit mendung menggantung di atas Jakarta, tetapi matahari masih menerobos celah awan dengan panas yang menusuk. Jalanan padat, deretan kendaraan berdesakan, klakson bersahutan tanda tak sabar, dan suara deru mesin bercampur dengan keramaian kehidupan kota yang tak pernah diam.
Lania duduk di belakang pengemudi, tubuhnya tampak lemah dan lelah. Tatapannya fokus ke luar jendela, pikiran masih tersangkut di percakapan terakhir dengan Sagara. Jari-jarinya menggenggam sabuk erat-erat, sedangkan deru napasnya tersengal pelan—tekanan dari segala sisi membuatnya ingin cepat sampai, cepat menyelesaikan semua ini.
Ponselnya berbunyi di dalam tas. Sebuah pesan masuk, tetapi Lania hanya melirik sekilas. Sebuah truk dari arah berlawanan melintas cepat, mengganggu pandangannya sesaat. Dia beralih menatap ke depan.
Terlambat, sopir tidak sempat mengurangi kecepatan. Sebuah motor menyelonong dari arah samping kanan, terlalu cepat, terlalu mendadak.
Seketika itu juga Lania merasakan sopir membanting setir ke kiri, refleks. Suara ban menderit keras di aspal panas. Mobilnya menghantam pembatas jalan, lalu menghantam mobil lain dari arah sebaliknya.
Dentuman keras menggema.
Kaca depan retak. Airbag meletup. Dunia bergetar dalam sepersekian detik yang terasa sangat panjang. Lania sedikit terdorong ke depan, tubuhnya terhentak, tetapi masih dipeluk erat sabuk pengaman.
Mobil terdiam di tengah jalur cepat, ringsek di bagian depan. Asap tipis mulai mengepul dari kap mesin. Suara teriakan terdengar dari luar, klakson-klakson panik saling bersahutan. Orang-orang mulai mendekat.
Di dalam mobil, Sopir terkulai di kursi pengemudi. Darah menetes dari pelipisnya, mengalir perlahan ke pipi. Matanya setengah terbuka, napasnya terengah, tapi tubuhnya tak bisa bergerak.
Gelap mulai merayap di ujung pandangannya.
Lalu segalanya pelan-pelan… hilang suara.
Seolah-olah takdir telah menentukan, Pandu sedang dalam perjalanan kembali dari pertemuan klien ketika arus lalu lintas di depan mendadak macet parah. Klakson bersahutan, pengendara saling menyela tanpa arah. Dia melirik ke samping dan melihat kerumunan orang di seberang jalan, mendekati sebuah mobil yang tampak ringsek parah di bagian depan.
Naluri jurnalis lamanya membuatnya menghentikan mobil di tepi jalan dan turun. Dia berjalan cepat melewati trotoar, menyibak kerumunan sambil berkata, “Maaf, permisi…”
Begitu matanya melihat ke arah mobil, langkahnya langsung terhenti.
Lania.
Tubuh itu… rambut itu… wajah yang setengah tertutup rambut dan darah—terkulai di kursi belakang, tak sadarkan diri.
“Lania!” Pandu memekik, melesat maju tanpa ragu.
Beberapa orang mencoba menahan, tapi dia mengangkat tangannya, “Saya kenal perempuan ini!”
Tangannya gemetar saat membuka pintu mobil yang penyok. Bau logam panas dan asap dari mesin masih menyengat. Dia cepat-cepat memeriksa denyut nadi di leher Lania. Masih ada. Lemah, tapi ada.
"Lania, dengerin aku. Ini Pandu. Aku di sini."
Dia menepuk pipi Lania perlahan, mencoba membangunkannya. Tak ada respons. Pandu menoleh ke arah kerumunan. “Tolong panggil ambulans! Cepat!”
Pandu melihat iba ke bangku kemudi, meski terdapat airbag, kondisi sopir tampak terluka parah.
Seseorang berteriak, “Sudah! Dalam perjalanan!”
Pandu kembali menatap Lania. Darah di pelipisnya sudah mengering sebagian, matanya setengah tertutup, dan napasnya berat. Dia melepas jasnya, melipatnya dan menyelipkan di belakang kepala Lania untuk menopang. Tangannya tak berhenti memegang lengan Lania—seolah dengan menyentuhnya, dia dapat mentransfer kekuatan.
“Aku di sini, Lan,” bisiknya lirih, meski ia tahu mungkin Lania tidak bisa mendengarnya.
Suara sirene mulai terdengar di kejauhan.
Pandu menunduk lebih dekat. “Bertahan, ya. Jangan tinggalin aku kayak gini.”
Dari balik kepanikan yang merayap di hatinya, satu hal kini jelas—dia peduli. Lebih dari sekadar teman lama. Dan melihat Lania seperti ini… menyadarkannya, betapa banyak yang masih belum dia ungkapkan.
Lorong rumah sakit itu dingin dan sunyi, dipenuhi bau antiseptik yang menyengat. Pandu mondar-mandir di depan ruang UGD, tangan berulang kali menyentuh tengkuknya yang basah oleh keringat, meski suhu AC begitu dingin. Waktu seakan berjalan lambat, setiap detik menggantung antara harapan dan kekhawatiran.
Dia masih mengenakan kemeja dengan noda darah Lania di lengan. Bekas luka kecil di jarinya akibat membuka pintu mobil belum sempat ia perhatikan. Fokusnya hanya satu: Lania.
Seorang perawat keluar dari ruang UGD.
“Mas,” Pandu langsung menyambutnya, “gimana keadaannya?”
Perawat itu tampak terbiasa menghadapi kecemasan, nada suaranya tetap terdengar lembut, “Kondisinya stabil, tetapi kami masih observasi karena sempat kehilangan kesadaran cukup lama. Untungnya, tidak ada pendarahan dalam. Luka di kepala cukup dalam tapi tidak membahayakan nyawa.”
Pandu menarik napas lega, hampir terjatuh ke kursi terdekat. Tangannya menutup wajahnya sejenak.
“Terima kasih, Mbak… gimana dengan sopirnya? Apa kondisinya baik?”
“Sudah melawati masa kritis, kondisinya baik-baik saja.”
“Terima kasih,” ucap Pandu sekali lagi.
Perawat itu mengangguk dan kembali masuk.
Pandu baru saja hendak berdiri ketika suara sepatu berderap cepat datang dari arah lorong.
Sagara.
Wajahnya pucat, matanya liar mencari. Begitu melihat Pandu, langkahnya melambat, lalu berhenti di depan pria yang sudah lebih dulu di sana.
“Apa yang terjadi?” tanya Sagara, suaranya berat.
Pandu berdiri pelan. “Kecelakaan. Aku lewat pas macet, lihat mobilnya. Dia pingsan di dalam.”
“Sekarang?” Sagara langsung melirik ke pintu UGD.
“Masih ditangani. Tapi stabil,” jawab Pandu cepat.
Hening beberapa detik. Ketegangan mengental di udara.
Sagara melirik lengan baju Pandu yang masih berlumuran darah. “Kamu ikut campur lagi dalam hidup dia, ya?”
Pandu menatapnya tajam. “Kalau aku tidak lewat tadi, mungkin sekarang kamu bukan cuma dengar kabar kecelakaan, tapi kematian.”
Sagara diam, wajahnya mengeras. Namun, ada sesuatu di balik matanya—sesuatu yang goyah. Entah rasa bersalah, atau rasa takut yang terlambat datang.
“Dia kecelakaan dalam perjalanan dari kantor. Setelah ketemu aku,” ucap Sagara pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Dia datang ke kantor untuk cari kebenaran, bukan cari masalah,” Pandu menimpali, nada suaranya dingin. “Dan sekarang lihat apa yang dia dapat.”
Sagara menghela napas dalam, menunduk. Untuk pertama kalinya, tidak ada pembelaan.
Pandu memandang ke arah pintu UGD. “Kalau kamu benar-benar peduli sama dia… jangan cuma berdiri di sini, Sag. Lihat ke dalam. Hadapi semuanya.”
Dan untuk pertama kalinya juga—Sagara tidak menjawab. Dia hanya berdiri diam, seakan seluruh fondasi yang dia pegang mulai retak.
Baru tadi Sagara berpikir buruk tentang Lania, istrinya—bagaimana dengan kondisinya sekarang.
“Anakku," gumam Sagara, lantas mendorong pintu hingga terbuka. “Suster gimana kondisi istri saya, bayi—apakah anak kami baik-baik saja?”
“Pasien sedang mengandung?” Suster tampak panik dan segera melakukan tindakan, dan memerintahkan suster lain untuk membawa alat USG. “Semoga tidak terjadi sesuatu terhadap janinnya.”
Sagara seperti kehilangan tulang, jatuh bersandar pada tembok berkeramik yang dingin.
“Kalau sampai terjadi sesuatu pada bayi itu, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri,” monolognya.
jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
kamu dapat inspirasi dari mana jal
hai sayang. aku datang karena penasaran