Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 27 RETA DAN DION BERTEMU DENGAN VONI DAN VALERI
RETA DAN DION BERTEMU DENGAN VONI DAN VALERI
Dion dan Reta pun pergi dari rumah Reta, meninggalkan Mama Reta yang masih terduduk syok di lantai. Reta kelihatannya sedikit terkejut dengan tindakan Dion yang begitu berani dan blak-blakan.
Namun, Reta juga sedikit lega karena Dion segera mengajaknya pergi dari tempat itu, menjauh dari suasana tegang dan menyakitkan.
Dion mengemudi dengan sangat pelan, membelah jalanan sore yang tidak terlalu ramai. Sesekali dia menatap wajah Reta yang sedari tadi diam seribu bahasa, merenung dalam pikirannya. Dion merasa bersalah atas tindakannya yang impulsif tadi, khawatir Reta tidak menyukainya.
“Sayang, aku minta maaf, ya,” ujar Dion lembut, suaranya penuh penyesalan.
“Tidak masalah kok, Ion, justru aku mau bilang terima kasih,” ujar Reta tersenyum tulus, tatapan matanya meyakinkan Dion bahwa ia baik-baik saja.
“Kamu tidak marah sama tindakan aku tadi?” tanya Dion heran, sedikit tidak percaya dengan respons Reta.
Namun, Reta malah menggeleng-gelengkan kepalanya, menandakan bahwa dia baik-baik saja, tidak ada kemarahan sedikit pun.
“Aku hanya sedikit kaget, tapi aku justru lega karena menghadapi hal ini bersama kamu,” ujar Reta tersenyum, genggaman tangannya menguat, seolah ingin mengatakan bahwa keberadaan Dion adalah dukungan terbesar baginya.
Dion sekilas melihat wajah Reta yang tersenyum lega dan langsung kembali menatap jalanan di depannya. Dion menggenggam sebelah tangan Reta dengan erat, merasakan kehangatan dari sentuhan itu.
Reta rasanya sangat nyaman dengan hal itu, tanpa ingin melepas genggamannya, seolah ingin waktu berhenti saat itu juga.
Tanpa mereka sadari, di bangku belakang, pengasuh Reta tersenyum geli melihat keromantisan kedua muda-mudi itu. Hatinya ikut menghangat menyaksikan interaksi tulus antara Reta dan Dion.
“Ada apa ini? Apakah jantungku lagi tidak baik-baik saja? Apakah Dion benar-benar menganggapku pacarnya? Tidak-tidak, Reta, dia hanya kasihan, jangan berharap lebih,” ujar Reta, menyangkal perasaannya dalam hati.
Sebuah perang batin berkecamuk di benaknya.
“Namun, bagaimana respons Voni, ya? Kira-kira bagaimana tanggapannya tentangku? Apakah aku harus bertemu dengan Voni sebelum aku pergi?” tanya Reta dalam dirinya, memikirkan masa depan dan hubungannya dengan orang-orang terdekat Dion.
Setelah berpikir keras, Reta pun memutuskan untuk bertemu dengan Voni dan harus menjelaskan semuanya. Dia tidak mau ada kesalahpahaman antara dirinya, Dion, dan Voni. Bagaimanapun juga, Reta merasa Dion harus bersama Voni.
Voni bukan pengganti Reta, melainkan Retalah yang meminjam milik Voni, pikir Reta dengan perasaan campur aduk. Ia tahu tempatnya dan tidak ingin menjadi penghalang kebahagiaan Voni.
“Dion, kalau aku minta sesuatu ke kamu, kamu bakalan turuti tidak, ya?” tanya Reta dengan wajah memelas, mencoba mengutarakan keinginannya.
Dion yang sedang fokus menyetir hanya menganggukkan kepalanya, memberi isyarat setuju tanpa banyak bicara.
“Aku boleh ke rumah kamu tidak? Tapi kamu ajak Voni ke rumah,” ujar Reta memohon, suaranya sedikit berharap.
Tepat saat posisi mereka berada di lampu merah, Dion mengarahkan pandangannya ke arah Reta. Matanya menatap Reta dalam, mencoba membaca maksud di balik permintaan itu.
“Boleh kalau kamu mau,” ujar Dion, mengelus kepala Reta dengan lembut.
Lagi-lagi pengasuh itu tersenyum, menatap keromantisan mereka berdua dari bangku belakang. Momen-momen seperti ini jarang ia saksikan.
“Terima kasih, ya,” ujar Reta tersenyum lebar, wajahnya tampak sangat senang.
Mobil itu pun melaju lagi setelah lampu merah berganti menjadi hijau. Setelah beberapa lama mengemudi, akhirnya mereka sampai di rumah Dion. Rumah yang terlihat hangat dan nyaman itu kini berada di hadapan Reta.
Jantung Reta rasanya berdegup kencang. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi, bagaimana tatapan Voni dan Valeri melihat Reta yang lemah dan sakit. Reta menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Dion mengangkat Reta untuk duduk di kursi roda, lalu segera menelepon Voni agar datang ke rumahnya. Reta pun diajak masuk bersama pengasuhnya ke rumah milik Dion.
Saat itu, di rumah Dion hanya ada ibunya di dapur dan Valeri yang berada di kamarnya. Saat Valeri mendengar suara kakaknya, dia langsung keluar dari kamarnya, penasaran siapa yang datang.
Valeri agak terkejut melihat kakaknya membawa seorang perempuan ke rumahnya. Valeri mendekati perempuan berambut botak itu yang bernama Reta.
Melihat keadaan Reta yang tampak lemah, Valeri sedikit kasihan, namun di dalam hatinya juga banyak pertanyaan yang berkecamuk.
“Haiii, pasti kamu Valeri,” ujar Reta membuka pembicaraan dengan ramah, sebuah senyum merekah di bibirnya.
“Apakah dia pacar Kak Dion? Dia lagi sakit kanker kah? Kenapa dia datang ke rumah?” batin Valeri bingung, mencoba menganalisis situasi.
“Hai,” sapa Valeri seadanya, masih sedikit canggung dan ingin tahu.
“Kenalkan, aku Reta,” ujar Reta, mengulurkan tangannya untuk berjabatan.
“Aku Valeri, adiknya Kak Dion,” ujar Valeri menjabat tangan gadis di hadapannya, tatapan matanya masih penuh pertanyaan.
“Hei, aku tadi sudah menelepon Voni untuk datang ke sini, sebentar lagi dia datang,” ujar Dion, ikut bergabung ke arah Valeri dan Reta, seolah menjelaskan situasi.
“Oh, oke,” ujar Reta lembut. Reta tahu tentang Valeri karena Dion pernah cerita banyak hal tentang adiknya itu kepada Reta.
“Kakak pacar Kak Dion, ya?” tanya Valeri langsung pada intinya, tidak suka berbasa-basi.
“Iya, cuma terpaksa doang kok,” ujar Reta tersenyum, mencoba bercanda.
“Maksudnya?” tanya Valeri bingung, tidak mengerti maksud ucapan Reta.
“Apa sih, sayang, aku tidak terpaksa,” ujar Dion menyela Reta yang ingin berbicara lebih lanjut, seolah mengoreksi perkataan Reta.
Reta akhirnya memilih diam sambil tersenyum, membiarkan Dion yang menjelaskan jika memang itu yang diinginkannya.
“Sayang, kamu boleh belikan aku sesuatu tidak?” tanya Reta memohon, matanya berbinar penuh harap.
“Mau beli apa, sayang?” tanya Dion, penasaran.
“Aku mau beli sepatu yang ini di mal. Kan kalian mau mengobrol, kamu belikan ini saja dulu,” ujar Reta memberi permintaannya, sebuah senyum licik tersembunyi di balik wajah memelasnya.
“Aku sendiri? Kamu tidak apa-apa di sini tanpa aku?” tanya Dion memastikan, khawatir meninggalkan Reta.
“Iya, tidak apa-apa. Ajak sekalian pengasuh aku, tolong belikan dia makanan yang dia mau juga, ya,” ujar Reta, meyakinkan Dion.
Dion segera mengikuti ucapan gadis itu, tidak bisa menolak permintaan Reta. Mereka pun pergi, meninggalkan Reta bersama Valeri. Sebenarnya Reta sengaja melakukan ini, agar dia bisa berbicara lebih leluasa dengan Voni dan Valeri, tanpa kehadiran Dion.
Setelah Dion dan pengasuhnya pergi, Reta pun mengajak Valeri mengobrol. Valeri menarik kursi roda Reta mendekat ke sofa agar mereka lebih nyaman mengobrol, menciptakan suasana yang lebih akrab.
“Apa kesan pertamamu melihat aku? Jujur saja,” ucap Reta kepada Valeri, ingin tahu opini jujur dari adik Dion.
“Kasihan, maaf kalau boleh tahu Kakak sakit kanker otak, ya?” tanya Valeri langsung pada intinya, tanpa ragu. Ya, Valeri orangnya sangat jujur tanpa memikirkan perasaan orang lain terlalu dalam.
“Iya, aku sakit kanker otak stadium akhir. Waktu aku tidak lama lagi,” ujar Reta jujur, suaranya tenang meskipun menyampaikan fakta yang menyakitkan. Ia sengaja mengungkapkan kebenaran itu.
Reta juga saat di mobil sengaja membuka rambut palsunya agar dia benar-benar bisa meyakinkan Voni nantinya, menunjukkan keadaannya yang sesungguhnya.
Voni pun sampai di rumah Dion beberapa saat kemudian. Dia kaget melihat keadaan Reta yang duduk di kursi roda dan berambut botak. Voni juga sempat mendengar ucapan Valeri sebelumnya tentang penyakit Reta.
“Reta, kamu tidak bercanda, kan?” ujar Voni, tiba-tiba ikut bergabung dalam percakapan, matanya penuh kekhawatiran.
“Hai, Voni, sini gabung,” ujar Reta sangat ramah, mengundang Voni untuk mendekat.
“Iya, aku tidak bohong, dan aku ke sini itu karena kamu,” ujar Reta menyambung ucapannya, tatapannya beralih ke Voni.
“Karena aku?” tanya Voni bingung, tidak mengerti maksud perkataan Reta.
“Hemm, aku mau minta maaf karena aku sudah mencuri waktu Dion dari kamu,” ujar Reta menjelaskan, merasa bersalah.
“Astaga Reta, aku sama Dion itu hanya sahabatan,” ujar Voni menyangkal dengan cepat, sedikit terkejut dengan asumsi Reta.
“Hmmm, jadi Kakak Voni tidak mau jadi kakak ipar Leri? Padahal Leri garis keras Kak Voni dan Kak Dion, nih,” ujar Valeri jelas tanpa memikirkan perasaan Reta, menunjukkan dukungannya pada hubungan Voni dan Dion.
“Nah, aku juga,” ujar Reta mendukung, membuat Voni semakin bingung.
“Maksudnya Kakak sama Kak Dion itu tidak pacaran? Kalau beneran pacaran kenapa Kakak dukung Kak Voni sama Kak Dion?” tanya Valeri bingung, tidak memahami logika Reta.
“Ya, seperti kesan pertamamu tadi, Dion cuma kasihan ke aku. Awalnya dia jutek bahkan jadi guru privatku saja dia menolak banget,” ujar Reta menjelaskan, mengungkap awal hubungannya dengan Dion.
“Ha? Maksudnya?” tanya Voni dan Valeri bersamaan, terkejut mendengar fakta itu.
Reta tertawa melihat reaksi kedua orang itu. Mereka sangat kompak dan akrab. Memang mereka sudah cocok menjadi adik dan kakak ipar. Bagaimana mungkin Reta menghancurkan hal ini?
“Kalian itu memang kompak banget, ya,” ujar Reta tertawa, hatinya menghangat melihat keakraban mereka.
Voni dan Valeri tersenyum geli melihat ulah mereka yang tanpa disengaja menunjukkan kekompakan.
“Jadi, aku memang sudah suka banget sama Dion. Aku berusaha mengejar dia, cuma dia selalu menolak aku, bahkan jutek banget. Dia itu peduli hanya sama Voni,” ujar Valeri jujur, mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepada Reta.
“Memang Abangku selalu memprioritaskan Kak Voni, makanya aku kaget dia pacaran sama orang lain. Namun, bagaimana bisa dekat?” ujar Valeri heran, masih penasaran.
“Nah, setelah itu, Dion pernah lagi jalan sore, dan posisinya aku ada masalah sama Mamaku, dan aku diusir. Dia lihat aku dan mengikuti aku, hingga akhirnya kami main di apartemenku,” Reta melanjutkan ceritanya.
“Main? Tidak macam-macam kan, Kak?” potong Valeri yang dari tadi sangat sewot, ingin memastikan tidak ada hal buruk yang terjadi.
“Tidak, kami cuma mengobrol di roof top. Setelah itu dia cerita, aku juga cerita masalahku, hingga pada akhirnya dia setuju menjadi sebagai kakak mentor,” Reta menjelaskan detailnya.
“Kalau pacarannya? Kan sekarang pacaran bukan kakak mentor,” lagi-lagi Valeri bertanya, ingin tahu lebih banyak.
“Nah, setelah itu kan pembagian rapor, aku tidak datang. Dia mencariku ke apartemenku, di situ posisiku sudah semakin memburuk dan aku juga lagi tidak pakai rambut palsuku, hingga akhirnya dia tahu penyakitku dan dia melihat daftar keinginan (wish list)ku,” Reta mengungkapkan inti ceritanya.
“Berarti daftar keinginan Kakak salah satunya Kak Dion?” ujar Valeri lagi-lagi bertanya, menajamkan pertanyaan.
“Lebih tepatnya gereja bareng sama pacar, dan posisinya aku belum punya pacar, sampai akhirnya dia menawarkan diri,” ujar Reta jujur, mengungkap bagaimana Dion akhirnya menjadi pacarnya.
Voni baru menyadari semuanya masuk akal, potongan-potongan teka-teki itu kini tersusun rapi di benaknya.
“Pantesan kemarin aku ditinggal gereja, jadi aku gereja sama Tante, dan dia mencarimu pas selesai bagi rapor,” ujar Voni mulai memahami, mengaitkan kejadian-kejadian itu.
“Iya, Von, makanya aku mau minta maaf banget, dan aku rasa ini tidak adil,” ujar Reta jujur, merasa bersalah telah mengganggu hubungan antara Dion dan Voni.
“Santai saja, Re, kalau memang jodoh bakalan disatukan sama Tuhan kok,” ujar Voni sok bijak, mencoba menenangkan Reta.
“Tumben banget Kak Voni bisa bijak dan bahkan bisa menyimak,” ujar Valeri tertawa meledek, melihat perubahan sikap Voni.
Reta merasa senang bertemu mereka. Ternyata tidak seburuk itu bertemu mereka. Mereka jauh lebih baik dari yang Reta bayangkan.
“Aku nitip Dion, ya, Von, kalau suatu saat aku benar-benar menutup mata,” ujar Reta sedih, sebuah permintaan yang membuat suasana kembali sendu.
“Re, kamu jangan bicara begitu, kamu sembuh kok, aku yakin Dion memang tulus ke kamu,” ujar Voni, mengelus Reta, memberikan dukungan moral.
“Jujur, ya, Kak Re, awalnya aku kesal sama Kakak, tapi setelah melihat Kakak, aku merasa bersalah. Ternyata Kakak tidak sejahat yang aku pikirkan,” ujar Valeri jujur, mengungkapkan perasaannya yang tulus.
“Kalian mau temanan sama aku tidak?” ujar Reta memelas, berharap dapat menjalin persahabatan yang tulus.
“Kalau kamu tidak keberatan, ya, aku jelas mau,” ujar Voni memeluk Reta erat, menunjukkan penerimaannya.
“Aku juga mau,” ujar Valeri ikut-ikutan memeluk kedua orang itu, bergabung dalam pelukan hangat persahabatan.
Mereka bertiga pun berpelukan erat. Mereka bertiga merasa haru satu sama lain, menyadari bahwa takdir telah mempertemukan mereka dalam ikatan yang tidak terduga. Sehabis itu, mereka pun lebih akrab mengobrol tentang Dion, saling berbagi cerita dan tawa.
#SMA
#Romance
#Sahabat
JANGAN LUPA LIKE AND KOMEN!!