Sinopsis
Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.
Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.
Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.
Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.
Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.
Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. pikiran mulai melayang
Deru nafas saling bertaut, seiring dengan detak jantung yang tak beraturan. Tetes demi tetes keringat menjadi saksi, disaat rasa mengalahkan logika yang tak lagi mampu berpikir dengan benar.
Mahesa menjatuhkan tubuhnya, berguling ke samping Nara, wajahnya memerah sebab pelepasan yang belum lama mereka lakukan.
Bak tersadar akan waktu, Mahesa mendongak pandangannya tertuju ke arah jam di dinding yang terpasang.
Nara melingkarkan tangannya kearah perut Mahesa, membatalkan gerakan Mahesa yang akan beranjak dari sana, “jangan kemana-mana, aku pengen disini dulu sama kamu. Setelah istri mu datang, kesempatan ini tak akan terulang.” Rayu Nara menarik simpati Mahesa.
Dan betul saja, seperti menemukan jawaban dari pertanyaan yang rumit. Usaha Nara sepertinya berhasil, Mahesa kembali menjatuhkan tubuhnya di samping Nara.
Hembusan nafas panjang terdengar dari hidungnya, mungkin dalam pikirannya harus memilih, salah satu diantara hal penting yang ia kerjakan.
Senyum Nara mengembang, “Sering-sering kerumah nanti ya Sa, kan aku dah nggak bisa kesini lagi kalo ada Gea.” Pintanya pelan.
Mahesa memandang wajah yang selalu ia impikan sejak lama, ‘rupanya rasa yang jauh semakin mendekat, aku pastikan dalam hati mu hanya ada aku Anara.’ batinnya tersenyum bangga.
“Capek banget Sa, mau istirahat sebentar ya.” Nara berusaha menunjukkan wajah yang sendu, menggambarkan rasa lelah dan memejamkan matanya pelan.
Mahesa mengusap pelan rambut Nara yang tertunduk di depan dadanya. Lama Nara berpura-pura, usapan dari tangan Mahesa melemah, dengkuran halus mulai terdengar. Nara membuka matanya sedikit, melihat apakah Mahesa benar-benar sudah terlelap.
Degup jantungnya mengencang lagi, seperti maling yang akan mulai melancarkan aksinya.
Dengan sangat hati-hati, Nara memindah tangan yang menimpa tubuhnya, geraknya pelan turun dari ranjang dan membawa pakaiannya ke arah kamar mandi.
Tanpa kata lagi Nara keluar, mengangkat kaki agar tak menimbulkan suara yang mengusik tidur Mahesa.
Pandangannya langsung tertuju pada pintu yang berposisi di sebelah kamar Mahesa, rapat dan semoga tak terkunci, rapal Nara dalam hati.
Begitu memegang gagang kunci, bibirnya ia katupkan rapat, matanya memejam, jantungnya kini berdisko ria ramai sekali.
Gerakannya begitu lembut dan pelan, bahkan pintu yang biasa berdecit kini tak menimbulkan suara.
Nara langsung menuju ke arah meja kerja milik Mahesa, posisinya masih sama. Hanya, berkas yang terbungkus map merah tadi bukan nama perusahaan yang sama dimana tempat Rama bekerja.
“Loh kok…” ucapnya mulai bingung.
“Perasaan tadi nama PTnya bukan ini deh, kok sekarang berubah ya? Apa tadi aku salah lihat ataupun salah baca?” Tanyanya keheranan sendiri, sambil membolak balik isi di dalamnya.
Nara masih mencoba mencari di tempat yang lain, mungkin saja Mahesa sudah memindahnya. Tetapi, lama sudah tubuhnya kesana kemari, membuka laci satu ke lainnya hasilnya nihil, map merah pagi tadi memang bukan perusahaan yang Nara baca, “Kayaknya aku yang salah lihat.”
Nara mendengus pasrah, “capek-capek usaha, nyatanya aku yang salah.” Nara kembali membereskan semua dalam keadaan semula, agar bangun nanti Mahesa tak curiga jika dirinya sudah melanggar perintahnya masuk ke ruangan ini lagi.
Hatinya masih bimbang, antara benar dan salah. Namun apa yang menjadi rasa penasarannya, sudah ia lihat.
Begitu langkah Nara sudah keluar dari pintu depan rumah itu, Mahesa menongolkan kepala dari pintu kamarnya.
Ekspresinya susah di tebak, tapi seringai kecil tipis sekali timbul di bibirnya.
‘Nara… Nara…’
*
*
*
Langit meredup, sinar kekuningan kini perlahan memudar, terganti dengan cahaya jingga yang ke unguan.
Malam akan datang, menemani rasa yang mulai melayang terbang mencari apa yang sebenarnya ada dalam hati.
Di depan jendela kamar Nara merenung, dengan apa yang sulit ia cerna, “Mas Rama, kamu yang aku anggap tempat berteduh, ternyata kamu juga yang menarik ku ke bawah derasnya hujan. Apakah adanya aku hanya formalitas saja di hidup mu.” Pandangannya kosong, air mata yang tak lagi mudah untuk tumpah, tapi perihnya sungguh terasa.
Apa yang ada dalam otaknya kini sungguh tak beraturan, kenapa hubungannya dengan suaminya, apa hubungan dirinya yang terlalu jauh bersama mantan kekasihnya. Semua mencari jalan keluar, namun tak mudah di tebak, seperti dirinya terperangkap di dalam rumah kaca.
Rentetan pesan yang terkirim dari nomor milik Rama sudah terbaca, namun belum ada satupun balasan dari Nara.
Tangannya tetap menggenggam ponsel yang lama deringnya tak terdengar, hanya sesekali bunyi pesan masuk, itupun bukan lagi tentang isi kehidupan rumah tangga mereka. Tetapi, pesan singkat, bernada dingin dan hanya alasan semata agar tetap tenang.
Janji yang dulu terucap, sekarang hanya terdengar seperti dongeng pengantar tidur, cukup menenangkan namun tak benar adanya.
Mas Rama : Nara bagaimana kabar disana?
Mas Rama : Aku begitu sibuk mengatur jalannya proyek, setiap hari turun lapangan dan malamnya mengatur lagi untuk proyek yang akan datang.
Mas Rama : Sepertinya ini akan semakin lama.
Begitu isi pesan yang terus Nara ulang-ulang bacanya.
Hatinya masih bimbang, dulu Rama tak secuek akhir-akhir ini, tak sebegitu dingin isi pesan yang ia kirim, bahkan masih terdengar dering telepon yang biasa ia lakukan. Tapi kini sejak kejadian itu, pesan singkat yang selalu Nara terima. Perubahannya terlalu cepat.
Antara hati ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, namun benar kata Mahesa, dirinya harus mencari bukti sebelum bereaksi. Tapi sejauh ini, Mahesa belum juga membawa kabar apapun, hanya kata penenang untuknya ingin membantu mencari apa yang sebenarnya terjadi.
Rasa rindu yang semakin hari, semakin menyempit untuk suaminya. Namun ada tanda tanya yang ingin cepat Nara selesaikan. Ada rasa nyaman dan hangat saat Mahesa meluluhkan hatinya, namun seperti ada tempat kosong yang di dalamnya hampa.
*
*
*
Namun jauh di tempat lain, ada hati yang marah, ada jiwa yang ingin memberontak.
Semua yang terjadi, tak mampu ia utarakan. Kata tolong sulit sekali ia dapatkan. Diam agar bom waktu tak menghancurkan dunianya sendiri.
Otaknya masih terus berputar, berpikir bagaimana cara ia menyikapinya.
Di tangannya tergenggam foto yang menguatkan jiwanya, senyumnya sejuk dan bahagianya benar sempurna. Namun di dalam berat pikirnya, seolah tertindih dengan apa yang tak seharusnya ia biarkan lebih lama.
“Nara.. Aiden..” Tangisnya tertahan, sorot pandangannya penuh dengan penyesalan.
~