Cerita ini season dua dari Istri Kesayangan Bule Sultan. Bercerita tentang perseteruan antar ayah dan anak yang berlomba-lomba merebut perhatian Mommy nya.
"Hari ini Mommy akan tidak bersama ku."
"Tidak! Mommy milik adek!"
"Kalian berdua jangan bertengkar karena karena Mommy akan tidur dengan Daddy, bukan dengan kalian berdua."
"Daddy!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mawar Jk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 11
Pagi-pagi di rumah Melati sudah ramai oleh anak dan cucunya. Aidan dan Matthew sudah bermain di taman yang tak jauh dari rumah Melati.
Taman bermain yang dibuat oleh Daddy dan Grandpa nya.
“Kak Matthew, lihat! Aku bisa loncat sampai tiga batu!” seru Aidan sambil berlari kecil dan melompat dari satu batu pijakan ke batu lainnya.
Matthew, mengenakan kaos lengan pendek dan celana pendek bergaris biru-putih, tertawa sambil menyusul. “Awas jatuh, nanti Mommy marah!”
Taman itu tidak besar, tapi penuh dengan elemen yang menyenangkan. Ayunan dari tali tambang kuat, papan luncur sederhana, serta jembatan kayu kecil dan jaring tali.
Karena memang hari itu weekend, anak-anak yang lain sudah pada berdatangan di taman itu. Ada Dani, si bungsu dari tetangga sebelah yang selalu membawa bola plastik; Dinda dan Rara, si kembar yang suka membawa bekal kue dari rumahnya; serta Adi, anak laki-laki cerewet yang punya sepeda mini berwarna merah terang. Tak lupa Mia, anak pertama Melani dan Rizal.
Matthew dan Aidan dengan cepat berbaur. Bahasa tubuh anak-anak memang universal—satu senyum, satu lambaian tangan, dan tawa yang sama membuat batas menjadi kabur. Namun tetap saja, tidak semua anak punya kehangatan yang sama.
“Itu beneran rambut asli kamu?” tanya Mia mendekati Matthew, matanya tertuju pada rambut pirang keemasan milik bocah itu.
Tangannya terulur, hendak menyentuhnya.
Matthew yang terbiasa dengan pertanyaan seperti itu, segera mundur setengah langkah, menghindar halus meninggalkan tangan Mia yang hanya melayang di udara.
Wajah Mia berubah menjadi jutek, berdecak pinggang memandang Matthew. “Sombong banget kamu!” decaknya, meletakkan tangan di pinggang. “Baru juga rambut pirang begitu, udah gak mau dipegang. Aku juga bisa kok punya rambut kayak gitu! Nanti aku minta nenek buat warnain!”
Matthew hanya menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu dan kembali ke kelompok bocah laki-laki yang tengah asik main robot dan mobil-mobilan.
Mia berdiri mematung sejenak, merasa diabaikan.
“Huh! Ayo kita ke sana aja,” katanya kepada Dinda dan Rara. Mereka bertiga pindah ke pojok taman yang lebih sepi, duduk sambil memakan kue isi pisang buatan ibu mereka.
Tak lama kemudian Maizah datang menghapiri mereka. Ia membawa dua tas belanja yang berisi susu kotak, roti gandum isi keju, dan beberapa potong buah potong dalam wadah plastik. Ia sengaja membeli camilan sehat untuk anak-anak yang bermain di taman.
"Halo anak-anak," sapa Maizah pada mereka yang ada di taman. Ia dari minimart dan membeli susu untuk mereka.
"Mommy," Aidan segera menghampiri Maizah.
"Mommy dan Daddy dari beli ini untuk kalian, bagikan juga pada teman-teman ya."
"Ok, mom. Thank you,"
Maizah tersenyum lalu pergi dari sana membiarkan putranya yang membagi susu dan beberapa cemilan yang sehat untuk mereka.
“Hallo anak-anak!” sapa Maizah dengan senyum cerah.
“Mommy!” seru Aidan begitu melihat ibunya datang. Ia segera berlari dan memeluk kaki Maizah.
Maizah mengelus kepala putranya yang berkeringat. “Mommy dan Daddy beli ini buat kalian. Bagikan juga ke teman-temanmu ya.”
“Ok, Mom. Thank you!” jawab Aidan ceria. Ia mengambil satu tas dari tangan Maizah dan mulai memanggil teman-temannya.
“Ini susu buat kalian! Ada rasa stroberi, coklat, sama vanila. Siapa mau?” teriaknya.
Seketika taman kecil itu berubah jadi barisan tidak resmi. Anak-anak mengerubungi Aidan dan Matthew yang membagikan susu satu per satu. Maizah hanya berdiri di sisi taman, menyaksikan semuanya dengan senyum bangga.
Matthew menyodorkan satu kotak susu vanila ke Mia yang masih duduk bersama Rara dan Dinda. Meski sempat merasa diabaikan, Mia tetap menerima dengan wajah datar.
“Makasih,” ucapnya pelan, tapi tak menatap mata Matthew.
Setelah semua camilan terbagi, anak-anak kembali bermain. Suasana taman semakin riuh.
Saat jam menujukkan pukul 9 pagi, matahari sudah semakin naik. Tiba-tiba, terdengar suara kring kring kring khas dari kejauhan. Sebuah motor tua dengan keranjang besar penuh gantungan mainan mendekat perlahan. Di atas keranjang belakangnya bergelantungan boneka kecil, balon tiup, mobil-mobilan, pistol gelembung sabun, dan berbagai mainan warna-warni yang menggiurkan. Penjual itu mengenakan topi lebar dan jaket tipis lusuh. Ia dikenal dengan sebutan mas kokek-kokek karena suara lonceng kecil yang selalu menggantung di motornya.
"Ada mas kokek-kokek!!" teriak Mia antusias. Ia langsung menghentikan main lompat talinya dan berlari pulang ke rumah, kemungkinan besar untuk mengambil uang. Beberapa anak lain juga berhamburan ke arah rumah masing-masing, menimbulkan kepanikan kecil seperti sedang mengejar sesuatu yang amat penting.
Matthew dan Aidan hanya berdiri terpaku. Mereka saling pandang, bingung.
"Ada apa dengan mereka, Kak?" tanya Aidan, alisnya terangkat.
"Aku juga nggak tahu. Tapi kayaknya mereka excited banget."
Mereka pun perlahan mendekat ke arah jalan tempat motor itu berhenti. Tak lama, anak-anak sudah kembali, masing-masing menggenggam uang kertas atau koin di tangan. Mereka mengerubungi penjual itu dengan penuh semangat, menunjuk-nunjuk ke mainan yang tergantung.
“Kamu mau beli juga?” tanya Adi kepada Matthew dan Aidan sambil melirik ke arah Aidan yang mulai tertarik melihat pistol gelembung yang menyala saat dipencet.
“Di sini banyak mainan keren, loh. Ada yang bisa nyala, ada yang bisa nyanyi, terus ada slime juga!” lanjut Adi, seperti promotor toko mainan profesional.
Penjualnya, yang sudah terbiasa dengan berbagai anak kecil, tersenyum ramah.
“Eh, ada bule nih,” katanya melihat Matthew dan Aidan. “Mau beli apa, Nak?”
Matthew tersenyum sopan. “Kita lihat-lihat dulu, ya, Om.”
“Iya, silakan. Ini semua aman buat anak-anak, yang ini baru datang,” ujarnya sembari menunjuk ke deretan mobil-mobilan yang bisa ditarik mundur dan langsung melaju.
Namun perhatian Aidan langsung tertuju ke benda lain. Matanya berbinar melihat mainan berbentuk ayam dengan warna mencolok—kuning, dengan kaki oranye, dan mata besar yang bisa berkedip.
“Apakah itu robot?” tanyanya penuh rasa ingin tahu, seraya menunjuk ayam itu.
Penjual itu tertawa kecil. “Bukan, itu mainan ayam yang bisa bertelur. Lucu, loh! Coba Om nyalain, ya.”
Ia menekan tombol kecil di bagian perut ayam, lalu menurunkannya ke tanah. Ayam itu mulai berjalan pelan, lalu mengeluarkan suara kotek-kotek-kotek dan, dalam beberapa detik, muncullah sebuah bola kecil dari bagian belakangnya.
“Dia bertelur!” seru Aidan, matanya membesar karena takjub. “Hahaha! Lucu banget, Kak!”
Matthew tak kalah terhibur. Ia ikut jongkok melihat ‘telur’ kecil itu menggelinding di tanah. Anak-anak lain yang tadinya memilih mainan ikut melirik ke arah Aidan.
“Itu mainan lama, tapi memang nggak pernah bosenin,” ujar Adi sambil tersenyum.
“Aku mau yang itu, Mommy pasti ketawa kalau lihat ayam ini bisa bertelur,” kata Aidan sambil mengambil ayam itu dan memeluknya seolah itu boneka.
“Ambil juga ini,” kata Matthew, mengambil satu set mainan slime yang tampaknya tak kalah menarik. “Kita bisa main bareng sore nanti.”
"Apakah uang ini cukup?" Tanya Matthew seraya mengeluarkan uang merah pada mas penjual mainan itu.
"Cukup, lebih dari cukup. Semua mainan itu hanya 53 ribu rupiah." Jawab sang penjual.
"Kalau begitu aku mau yang ini juga ya kak." Kata Aidan seraya memegang mainan gembot air.
Matthew mengangguk setuju, menghitung semuanya dan menunggu kembalian uangnya. Total belanjanya 70 ribu rupiah jadi kebaliannya 30 ribu, ia bisa menghitungnya.
"Terima kasih mas," ucap Matthew dan Aidan menunduk sopan.
Teman-temannya iri melihat kedua anak itu bisa membeli mainan sebanyak itu, sedangkan mereka hanya bisa membeli satu macam, itupun yang yang harga 5 ribu sampai 10 ribu rupiah saja.
Tbc.
semangatttt