NovelToon NovelToon
Dua Bilah Yang Tak Menyatu

Dua Bilah Yang Tak Menyatu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Perperangan
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Mr_Dream111

Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.

Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.

Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.

Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?

Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bukan kebebasan yang kuberikan

Gerimis mulai mengguyur ketika kereta kuda yang kutumpangi tiba di tengah kota Turga lagi. Saat menuruni kereta kuda, mataku langsung terbelalak menyaksikan apa yang terjadi. Gadis kubebaskan tadi sekarang ada di depanku dan sedang di rudapaksa oleh para tentara Varaya.

Keinginan untuk meraih kebebasan yang telah mulai terpatri dalam benakku kini memudar dan menghilang. Apakah memang harus demikian adanya, bahwa untuk memperoleh kebebasan, kita harus melewati jalan yang penuh dengan peperangan dan selubung balas dendam? Pertanyaan ini mengusik batin, memaksa kita merenungkan nilai yang sesungguhnya dari kebebasan.

Gadis yang tengah dipegangi oleh beberapa orang itu melirik ke arahku dari kejauhan dengan pandangan yang dipenuhi kekecewaan dan kebencian. Aku menyadari bahwa dalam lubuk hatinya, dia mungkin sedang mengutukku, berpikir bahwa aku telah mempermainkannya. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan sekarang hanyalah menutup mata dan menundukkan kepala. Hatiku bagai diiris kepedihan saat mendengar desah dan rintihan dari gadis yang baru saja merasakan secercah harapan untuk meraih kebebasan, namun kini semuanya hilang begitu saja. Harapan itu ditelan oleh kegelapan karena kebodohanku.

Mayor Vouc tiba-tiba muncul di sampingku dengan membawa sebotol wine. " Kudengar budak yang kubelikan untukmu melarikan diri dan ditangkap oleh petugas patroli yang sedang mengejar buronan di hutan. "

Aku terpaku dalam keheningan, dihantui oleh rasa yang campur aduk dan bergemuruh dalam dada. Seandainya aku lebih saba ketika membantunya melarikan diri, dan seandainya aku membantunya keluar dari hutan, mungkin akan berbeda tidak seperti yang terjadi sekarang. Rasanya seperti dihantui oleh penyesalan yang tak terucapkan.

" Aku akan meminta budak baru kalau kau mau Finny. " Ujar Mayor Vouc lagi.

" Tidak... tidak perlu. " Balasku.

Sekarang sudah mustahil aku menolongnya. Yang kubisa saat ini hanya berdiri sambil menyaksikan penderitaan yang sedang dia rasakan sekarang. Tetapi aku pastikan siapa saja yang berani meyentuh dia akan kubalaskan. Kutarik lagi tekadku untuk tidak membunuh. Sekarang aku sadar bahwa takdirku memanglah harus mengotori tangan ini dengan darah.

Mataku menatap tajam dan menandai mereka yang sudah berani meruda paksa gadis yang susah payah kucoba selamatkan. Darahku mendidih dan sekujur badanku panas tapi untuk sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa. Harus sabar dan menahan sampai waktu yang tepat.

Cukup lama aku menyaksikan kekejian itu sampai Mayor Vouc mengajakku ke bar. Dia tau suasana hatiku sedang buruk karena kejadian ini. Perwira kepala botak itu menyewa bar khusus untukku dan dirinya bersama 5 budak yang baru ia beli.

Diiringi lantunan piano membuat suasana menjadi sedikit lebih nyaman. Tapi tetap saja aku masih kepikiran dengan gadis itu.

Apa yang akan terjadi pada dia sekarang?

Apakah dia masih hidup atau sudah mati?

Aku berencana mencarinya lagi setelah selesai menemani mayor Vouc. Aku juga sudah merencanakan balas dendam untuk orang-orang itu.

" Dari tadi wajahmu tegang apa kau kesal gara-gara budakmu direbut mereka? " Mayor Vouc ini sepertinya tau isi pikiranku.

Aku jawab dengan mengangguk dan diam. Tanpa basa-basi dia langsung keluar dan menyuruh ajudannya mencari ketiga orang itu. Sikap si kepala plontos itu membuatku sedikit takjub. Sepenting itukah Finny baginya sampai dia berani turun tangan sendiri dengan masalah yang mungkin bagi orang-orang Varaya adalah masalah sepele. Beberapa menit kemudian benar saja ada 3 orang yang dibawa ajudan Mayor Vouc.

" Mereka bertiga hanya prajurit biasa. Lakukan apapun sesukamu pada mereka, asal jangan membunuh. " Tandas Mayor Vouc.

Mendapat izin semacam itu semakin membuat otakku liar. Aku benar-benar sudah merencanakan hukuman seperti apa yang pantas bagi mereka bertiga.

Sebelum memulainya, aku meminta mereka bertiga menunjukkan dimana lokasi gadis itu sekarang. Mereka langsung mengantarkanku ke hutan di luar kota Turga.

Gadis yang telanjang dengan badan penuh luka lebam dan sayatan terikat di pohon pinus. Alat vitalnya berdarah dan hancur. Aku pun tak sanggup melihat kondisinya. Segera aku melepaskan tali yang mengikat tangannya, kemudian menyelimuti tubuh lemasnya dengan seragamku. Setelah itu aku memukul satu persatu orang yang sudah memperkosa.

Aku berteriak, memaki, menendang, memukul sekujur badan mereka. Kupukul dan terus kupukul sampai wajah-wajah mereka tak berbentuk di depan gadis itu dan Mayor Vouc beserta ajudannya. Tidak peduli seperti apa jeritan dan raungan mereka memohon ampun, aku terus tidak akan berhenti.

Walau sudah kupukul berkali-kali hatiku justru semakin hampa tapi darahku masih mendidih. Aku merasa perlakuan ini kurang. Tanpa sadar, aku menarik pistol dari sarung dan mengokangnya. Aku sudah siap untuk mengakhiri hidup mereka bertiga tapi pistolku langsung ditahan oleh Mayor Vouc.

" Sudah cukup! Tidak biasanya kau setempramental ini Finny? " Mayor Vouc menatap tajam padaku dan kubalas juga dengan tatapan sama. " Varaya butuh banyak prajurit untuk memulai kampanye ke timur. Tiga prajurit ini berharga. Sebagai hukumannya biar aku kirim mereka ke garis depan. "

" Terserah apa maumu. " Balasku sambil menyarungkan pistolku lagi ke pinggang.

" Sifatmu hari ini berbeda sekali tidak seperti yang kukenal. Tapi yasudahlah mungkin kau sedang setres karena misi mu sebelumnya. Ayo kita pulang. "

" Pulanglah dulu Mayor. "

" Baiklah. Setelah urus budak itu, segeralah kembali. Kasihan istrimu pasti sudah menunggu. " Mayor Vouc menolong 3 orang itu lalu membawa mereka pergi. " Oh ya, aku akan mengunjungimu lagi setelah kembali dari front timur. "

Aku diam dan membungkuk sebagai ucapan terimakasih. Hari ini kacau sekali semua gara-gara kesalahanku sendiri. Seharusnya aku tidak masuk ke gedung perdagangan manusia itu dan tetap diluar saja.

Dengan nafas pelan-pelan, kuayunkan langkahku mendekati gadis itu. Tubuhnya tergolek lemah, darah mengalir deras dari luka-luka yang menganga. Rumah sakit? Mustahil kujangkau sekarang dan mana mungkin para medis mau mengobati seornag budak. Satu-satunya harapan adalah membawanya pulang, merawatnya sendiri meski aku tahu, bahkan itu pun mungkin sudah terlambat.

" Maaf…, " bisikku serak, suaraku hancur di tengah kesunyian malam. " Andai saja saat itu aku tetap bersamamu, mungkin… mungkin ini tak akan terjadi. "

Butiran air mata panas mengalir tanpa kusadari saat melihat kedua matanya tertutup, napasnya tersengal-sengal, seperti nyawa yang menggantung di ujung benang.

" Te-terima kasih, Tuan…, " ujarnya, suaranya lirih bagai desahan angin malam. " Ketika mereka menangkapku, aku sempat mengira Tuan mengkhianatiku. Tapi melihat Tuan menghajar mereka, aku yakin… Tuan tulus. " Ia tersedu, dan setiap kata yang keluar dari bibirnya yang pucat terasa seperti pisau yang mengoyak-ngoyak jantungku.

" Hanya saja… Dewa tak berpihak padaku. "

" Aku akan membawamu pulang, " kataku, berusaha menanamkan harapan—baik untuknya maupun untuk diriku sendiri. " Aku akan merawatmu. Kali ini aku tak akan meninggalkanmu sendirian. "

Tapi ia menggeleng pelan. Senyum tipis menguar di wajahnya yang penuh luka, sementara air mata mengalir membasahi pipinya yang kotor. " Jangan pertaruhkan nyawa Tuan hanya untuk seorang budak seperti aku. Ini sudah takdirku… mungkin karma bagi bangsa Areiden. "

Tiba-tiba, tangannya yang penuh luka bergerak lemah, jarinya yang gemetar menunjuk ke arah pistol di pinggangku. " Tapi… jangan tinggalkan aku seperti ini… "

" Hey, a-apa maksudmu? " Tanyaku, suaraku bergetar. Aku tahu apa yang ia inginkan, tapi hatiku menolak.

" Tolong… bebaskan aku dengan damai, Tuan… "

Jantungku berhenti berdetak sejenak. Aku tahu kondisinya. Aku tahu bahwa mungkin inilah akhir yang paling manusiawi. Tapi naluriku terus berteriak: Selamatkan dia!

Matanya yang berkaca-kaca menatapku penuh harap, lalu kembali menatap pistol di tanganku. Dadaku sesak. Pikiranku melayang teringat pada Kapten Alvar—pria yang nyawanya kurenggut dengan dengan cara begini. Dan sekarang seorang gadis suci yang dinodai, terluka, meminta kebebasan dariku dengan cara yang sama.

Tapi kebebasan yang ia minta, bukanlah kebebasan yang kuinginkan.

Haruskah aku melakukannya lagi?

Tanganku gemetar tak terkendali saat kuangkat pistol itu. Air mata mengaburkan pandanganku saat kuusahkan jari-jariku untuk mengokang. Jangankan membidik, mengarahkan laras ini saja terasa seperti mengangkat gunung.

Aku terjatuh di hadapannya, lututku mencium tanah, tubuhku lunglai tak berdaya. Isak tangis pecah tanpa kendali.

" Kalau Tuan tak sanggup, biarkan aku melakukannya sendiri, " bisiknya lembut.

Dan sebelum kusadari—Pistol itu sudah ada di genggamannya.

" Tidak! Jangan—! "

...Dor!...

Suara itu menggema, memecah kesunyian. Peluru melesat, menembus pelipisnya yang pucat. Cahaya di matanya perlahan memudar, digantikan oleh genangan air mata terakhir yang mengalir pelan.

Aku membungkuk, tubuhku menggigil, tangisku membahana dalam keputusasaan. " Maafkan aku… " rintihku di hadapan jasad yang kini telah pergi.

Mengapa selalu seperti ini? Mengapa setiap kali aku mencoba menolong, yang kuberikan justru kematian?

Maafkan aku…

Andai aku lebih tenang, andai aku tak gegabah, mungkin ia masih bisa bernapas, masih bisa merasakan kebebasan. Tapi kini segalanya sudah terlambat.

Kubiarkan air mataku mengering sendiri, sementara makin pekat malam menyelimuti hutan ini. Rembulan bersembunyi di balik rimbun dedaunan, meninggalkan kegelapan yang pekat. Aku ingin menguburkannya, tapi badanku lemas, tanganku masih gemetar. Tanpa alat, tanpa tenaga, yang bisa kulakukan hanyalah membaringkannya di bawah pohon tua itu.

Dan dengan langkah berat kuberpaling, meninggalkannya sendirian dalam sunyi yang abadi.

***

Suara gadis itu masih bergema di telingaku—desahannya yang parau, rintihannya yang menyayat, hingga tatapan terakhirnya yang penuh kepasrahan. Wajahnya, meski telah kusemayamkan di bawah rimbun pepohonan, tetap menghantui setiap helaan nafasku. Kukepalkan tangan, berusaha menahan getir yang menggerogoti dada.

" Bertahanlah, " bisikku pada diri sendiri. " Setidaknya sampai kau tiba di rumah. "

Namun, tragedi yang baru saja kualami seperti membuka luka lama. Suara-suara itu kembali mendengus di belakang kepala—jeritan, rintihan, teriakan orang-orang yang pernah kurenggut nyawanya. Di dalam kereta kuda yang sepi, bayangan mereka muncul, mengintai dari sudut-sudut gelap. Seakan-akan mereka menuntut balas, menertawakan kelemahanku.

Kenapa sekarang? Hatiku berontak. Di saat aku sedang berduka, mengapa kalian memilih untuk kembali?

Syukurlah, aku berhasil bertahan hingga rumah terlihat. Namun, Flerina belum pulang. Hanya kegelapan menyambutku seperti selubung yang menyesakkan saat aku memasuki rumah.

Kepalaku berdenyut-denyut. Bayangan gadis itu masih jelas terpampang di pelupuk mata—senyum terakhirnya, air matanya, darah yang mengalir pelahan dari pelipisnya. Dadaku sesak, nafasku tersengal-sengal bagai dikejar hantu yang tak kasat mata.

Tanpa tenaga lagi, kuterjunkan tubuh ke atas ranjang. Dingin. Sangat dingin. Keringat mengucur deras, membasahi bajuku yang masih kusut. Pandanganku mulai kabur, dunia berputar, dan sebelum kusadari—

Gelap...

^^^To be continue^^^

1
Milacutee
🥰🥰🥰🥰🥰🥰
IM_mam
/Good//Good//Good//Good//Good//Good//Good/
Xiao yu an
Suka bgt ceritanya
Lia ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Akhrnya kjawab sebab ptsd si mc
Mikoooo dayooooo
Ratunya munafik bgt😡
Ubi
Smnagat min
Nara
Lgsg update dong😁😁😁 lnjut trs thor
Lia ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Semangat updatenya
Lia ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Alat komunikasinya tu kyk gmn? tlg kasih aku pnjelasan thor
Lia ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Aduhhhh stres emg Varaya
Mikoooo dayooooo
Dtnggu lnjutanya
Mikoooo dayooooo
Aku jd mmbayangkan adeganya🤢
pangestu mahendra
Awalnya narasinya agak kaku tapi makin kesini authornya memperbaiki penulisan. Ceritanya lumayan bagus sih terutama waktu udh chapter 20
Caramel to
update plissss
Nertha|
Gassss terus thor klo bsa updatenya 3 chapter langsung gtu
Nertha|
Heroine baru/Drool//Drool//Drool//Drool//Drool//Drool/
Nertha|
agak konyol ni ngekudeta tpi mental pasukanya lembek wkwkwk
Layciptuzzzz_^^
semangat
Wu Xin
Semangat buat update ceritanya thor
Wu Xin
Bruhhhh/Sob/ Setres bgt ni orang2 varaya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!