Selina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Selina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Selina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Selina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Ketulusan Sellina.
Mata Sellina berbinar saat mengetahui ia punya ruangan sendiri. Aroma kayu baru dan cahaya pagi yang menyusup lewat jendela membuat suasana terasa hangat. Ia menghela napas lega, menikmati kenyamanan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.
Tak ada lagi rasa canggung berbagi ruangan dengan Erza, tak ada lagi bayang-bayang fitnah atau kekhawatiran akan sikap yang melampaui batas. Kini ia tahu, Erza bukan pria yang sembarangan. Ia tahu batas, dan itu membuat Sellina merasa aman.
Saat ia tengah larut dalam euforia kecil itu, suara berat dari arah pintu membuatnya tersentak.
"Kau suka sepertinya?"
Sellina segera berbalik, sedikit membungkuk sopan. "Pagi, Pak Erza," ucapnya dengan senyum yang masih menggantung di wajah.
Namun Erza hanya membalas dengan senyum tipis, lalu melangkah masuk ke ruangannya sendiri. Tak ada sapaan hangat seperti biasanya, tak ada gurauan atau sikap usil yang sering membuat suasana kantor lebih hidup. Wajahnya murung, sorot matanya redup. Sellina menatap punggung pria itu dengan rasa khawatir yang mulai merayap.
"Dia kenapa? Gak kayak biasanya ..." gumamnya pelan, ia kembali duduk.
Duduk di balik mejanya, Sellina memperhatikan gerak-gerik Erza dari balik dinding kaca. Tirai yang terbuka membuatnya bisa melihat dengan jelas. Namun tiba-tiba, Erza berdiri dan menarik tirai hingga tertutup rapat.
"Ada apa dengannya? Apa dia punya masalah ya, kok sampe kayak gitu," gumam Sellina sambil merapikan berkas di mejanya.
Pikiran Sellina masih dipenuhi tanda tanya tentang perubahan sikap Erza pagi itu. Wajah murung, senyum yang dipaksakan, dan tirai yang ditutup rapat—semuanya terasa asing dari sosok yang biasanya ceria dan penuh kejutan.
Tiba-tiba, dari sudut matanya, ia melihat Elena berjalan tergesa-gesa melewati lorong dengan beberapa bungkusan di tangan. Langkahnya cepat, seolah membawa misi penting. Sellina segera bangkit dari kursinya dan menghampirinya.
"Elena, tunggu," panggilnya sambil menahan lengannya. "Kau tahu kenapa Pak Erza begitu? Dia kelihatan aneh hari ini."
Elena berhenti, menoleh dengan raut wajah yang tak kalah cemas. "Aku juga gak tahu pasti," jawabnya pelan. "Tapi yang jelas ini soal masalah pribadinya. Dan kalau sudah begini ... hari ini bakal jadi hari yang berat buat semua orang. Termasuk kamu."
Sellina terdiam. Belum sempat ia bertanya lebih jauh, Elena sudah melangkah masuk ke ruangan Erza. Pintu tertutup, tapi suara dari dalam tak bisa disembunyikan.
Samar-samar terdengar nada tinggi, suara barang yang digeser, dan desahan frustrasi. Sellina hanya bisa berdiri di luar, menatap pintu itu dengan rasa penasaran yang makin menyesakkan.
Beberapa menit kemudian, Elana keluar dengan wajah murung. Matanya tak menatap siapa pun, seolah ingin segera menghilang dari tempat itu.
"Kau kenapa? Kena marah, ya?" tanya Sellina lembut, mengusap pundak Elena dengan empati.
Elena menggeleng pelan. "Ya begitulah kalau suasana hatinya lagi jelek. Bahkan makanan kesukaannya aja dia tolak. Semua salah di matanya."
Sellina menatap bungkusan yang masih di tangan Elena. "Oh ... jadi itu sarapannya." Ia menarik napas, mencoba tersenyum. "Udah, gak usah dipikirin. Biar aku yang urus. Kau istirahat aja dulu."
Namun Elena menatapnya dengan tatapan kosong. "Itu gak mungkin. Kalau dia udah kayak gini ... siapa pun gak akan bisa ngatasin. Bahkan dirinya sendiri pun kayaknya gak tahu harus gimana."
Sellina berdiri terpaku di depan pintu ruangan Erza. Kata-kata Elena masih terngiang di telinganya: "Kalau lagi begini, siapa aja gak akan bisa ngatasin sikap Pak Erza." Tapi entah kenapa, justru kalimat itu yang membuatnya ingin mencoba.
Ia menatap bungkusan sarapan di tangan Elena yang kini diletakkan di meja terdekat. Makanan yang biasanya membuat Erza tersenyum kini tak mampu mengubah suasana hatinya. Sellina menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah pelan menuju pintu yang tertutup rapat.
Tangannya sempat ragu di gagang pintu. Tapi ia tahu, jika ia tak mencoba, ia akan terus dihantui rasa penasaran dan kekhawatiran. Dengan ketukan ringan, ia membuka pintu perlahan.
Ruangan itu terasa berbeda. Tirai tertutup, lampu redup, dan Erza duduk membelakangi pintu, menatap layar komputer yang bahkan tak menyala. Bahunya sedikit membungkuk, seolah menanggung beban yang tak terlihat.
"Pak Erza..." suara Sellina pelan, hampir seperti bisikan.
Erza tak menoleh. Hanya diam, seolah tak mendengar.
Sellina melangkah masuk, menaruh bungkusan sarapan di sudut meja. "Saya tahu ini bukan waktu yang tepat. Tapi ... saya cuma mau bilang, kalau Bapak butuh seseorang untuk mendengar, saya ada."
Erza akhirnya menoleh, matanya tampak lelah. Ada sesuatu di sana—bukan kemarahan, tapi luka yang dalam.
"Kadang ... ada hal yang gak bisa diselesaikan dengan kata-kata, Sellina," ucapnya pelan. "Dan saya gak yakin bisa jadi versi terbaik dari diri saya hari ini."
Sellina menatapnya, tak dengan rasa iba, tapi dengan empati yang tulus. "Mungkin Bapak gak harus jadi yang terbaik hari ini. Cukup jadi diri sendiri. Itu pun sudah cukup."
Erza menatapnya lama, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela yang tertutup tirai. Ia tak menjawab, tapi untuk pertama kalinya pagi itu, ia tidak menolak kehadiran seseorang.
Ruangan itu masih sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Sellina berdiri di sana, tak bergerak, menatap Erza yang masih memunggunginya. Ia tahu, ini bukan tentang pekerjaan. Ini tentang luka yang tak bisa dibagi, tentang beban yang terlalu berat untuk ditanggung sendiri.
"Saya gak akan tanya apa-apa," ucap Sellina pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan. "Tapi saya di sini, kalau Bapak butuh teman bicara ... atau sekadar diam bersama."
Erza menghela napas panjang. Ia menoleh perlahan, menatap wajah Sellina yang berdiri dengan tatapan tulus. Ada sesuatu dalam sorot mata perempuan itu yang membuatnya ingin percaya, walau hanya sedikit.
"Kamu terlalu baik," gumamnya. "Dan aku ... aku gak pantas dapat perhatian itu."
Sellina tersenyum tipis. "Mungkin bukan soal pantas atau enggak. Tapi kadang, orang yang paling terlihat kuat justru yang paling butuh dipahami."
Erza menatapnya dalam-dalam. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Sellina—bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai seseorang yang hadir tanpa syarat, tanpa tuntutan.
"Kau gak takut?" tanyanya tiba-tiba. "Orang-orang bisa salah paham. Aku ... aku bukan orang yang mudah didekati."
Sellina melangkah pelan, mendekat hingga hanya meja yang memisahkan mereka. "Aku gak peduli apa kata orang. Aku cuma peduli kamu baik-baik saja."
Hening kembali menyelimuti ruangan. Tapi kali ini bukan hening yang canggung, melainkan hening yang hangat.
Erza menunduk, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. "Terima kasih, Sellina. Aku gak tahu harus bilang apa ... tapi kehadiranmu barusan, itu lebih dari cukup."
Sellina tersenyum, lalu berbalik perlahan. Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi. "Kalau kamu butuh udara segar ... aku di pantry. Bawa kopimu, aku buatkan yang baru."
Erza tak menjawab, tapi senyum tipis di wajahnya sudah cukup menjadi jawaban. Mungkin, untuk pertama kalinya hari itu, hatinya mulai mencair.
Pantry kantor pagi itu sepi. Hanya suara mesin kopi yang berdengung pelan, dan aroma kopi yang mulai memenuhi ruangan. Sellina berdiri di sana, menyiapkan dua cangkir kopi. Satu dengan takaran gula yang pas, satu lagi tanpa gula—favorit Erza.
Ia tak tahu apakah Erza akan datang. Tapi ia tetap menyiapkan dua cangkir, seolah berharap keajaiban kecil terjadi.
Tak lama, langkah pelan terdengar dari lorong. Sellina menoleh, dan benar saja—Erza muncul, tangan di saku, wajahnya masih murung tapi lebih tenang dari sebelumnya.
"Kopinya masih hangat," ucap Sellina, menawarkan cangkir tanpa banyak kata.
Erza mengambilnya, duduk di kursi dekat jendela. Sellina menyusul, duduk di seberangnya. Tak ada percakapan panjang, hanya keheningan yang terasa nyaman.
"Kamu selalu tahu cara bikin suasana gak terlalu berat," kata Erza akhirnya, menatap cangkir di tangannya.
Sellina tersenyum. "Aku gak tahu caranya. Aku cuma ... berusaha ada."
Erza menatapnya, kali ini lebih lama. Ada sesuatu dalam cara Sellina bicara—tenang, tulus, dan tak menghakimi. Ia merasa aman, dan itu langka.
"Aku gak terbiasa cerita soal hidupku," gumamnya. "Tapi hari ini ... rasanya semua hal datang sekaligus. Rumah, keluarga, masa lalu ... semuanya."
Sellina tak menyela. Ia hanya menatap Erza dengan penuh perhatian, memberinya ruang.
"Aku gak akan paksa kamu cerita," ucapnya pelan. "Tapi kalau suatu hari kamu siap ... aku akan dengar semuanya."
Sellina berusaha menjadi teman curhat yang mungkin bisa meringankan bebannya. Ia yang terlahir di tengah-tengah keluarga yang hangat, tak bisa membiarkan Erza sendirian.
Erza mengangguk pelan. Senyum tipis muncul di wajahnya, lebih tulus dari sebelumnya.
"Kamu beda, Sellina. Dan aku ... aku bersyukur kamu ada di sini hari ini."
Sellina menunduk, menyembunyikan senyum yang mulai mengembang.
ditunggu kelanjutannya❤❤