NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:359
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cahaya di Antara Dua Dunia

Sudah seminggu sejak hujan pertama itu turun, tapi dunia belum sepenuhnya tenang.

Langit memang kembali biru, laut berkilau lembut seperti kaca, tapi ada sesuatu yang berbeda.

Burung-burung terbang terlalu tinggi, awan bergerak terlalu lambat, dan malam sering datang sebelum senja sempat pamit.

Ren menyebutnya “denyut ganda”.

Katanya, dunia seperti punya dua detak — satu dari waktu Mika, satu lagi dari waktu yang baru lahir.

Dan kalau dua detak itu tidak seirama, dunia bisa pecah lagi.

Aku menatap langit pagi yang berwarna keperakan.

“Sensei dulu bilang,” kataku pelan, “setiap dunia yang punya dua sumber waktu, akan melahirkan cahaya antara.”

Ren memandangku. “Cahaya antara?”

“Ya. Semacam jembatan, penghubung antara dunia lama dan dunia baru.”

Aku menatapnya, tersenyum samar. “Dan kurasa, kita berdua… adalah jembatan itu.”

Ren terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Berarti kita semacam… makhluk transisi, ya?”

Aku ikut tertawa. “Kedengarannya keren, tapi ya, bisa dibilang begitu.”

Hari itu kami berjalan ke utara, menuju dataran tinggi tempat langit dan laut terlihat bersentuhan.

Sensei pernah bilang, kalau dunia mulai berdenyut ganda, tanda pertamanya akan muncul di sana — tempat di mana udara terasa berat dan cahaya bergerak terlambat.

Ren berjalan di depanku, membawa tongkat kayu yang ia temukan di pantai.

Setiap kali dia melangkah, pasir di bawah kakinya meninggalkan jejak bercahaya biru.

Aku memperhatikannya dalam diam; sejak kejadian hujan itu, tubuh Ren seolah menyatu dengan energi waktu.

Kadang matanya berkilau samar saat bicara, kadang napasnya meninggalkan jejak cahaya seperti uap dingin.

“Ren,” panggilku, “kau merasa beda nggak?”

Dia menoleh. “Beda gimana?”

“Kayak… sebagian dari dirimu bukan kamu.”

Dia diam lama sebelum menjawab. “Iya. Kadang waktu tidur, aku mimpi jadi orang lain. Kadang aku dengar suara Sensei. Tapi anehnya, aku nggak takut. Aku merasa… dia cuma numpang.”

Aku menatapnya lembut. “Sensei nggak akan ambil alih kamu. Dia cuma menjaga.”

Ren tersenyum. “Aku tahu. Karena setiap kali aku lihatmu, suara itu diam.”

Aku menunduk, menahan senyum malu. “Dia pasti menghormati privasimu.”

Ren terkekeh. “Atau mungkin dia tahu aku bakal ngomong sesuatu yang bikin kamu salah tingkah.”

Aku melirik tajam. “Berani-beraninya kau bercanda soal waktu.”

Dia mengangkat bahu. “Hei, waktu pun butuh humor, kan?”

Kami tertawa bersama, dan untuk sesaat, dunia terasa normal lagi.

Ketika kami sampai di dataran tinggi, udara berubah.

Angin tidak bertiup, tapi suara seperti dengungan halus terdengar dari segala arah.

Udara bergetar lembut, dan di depan kami, garis tipis cahaya melintang di udara — seperti retakan halus di langit.

Aku menatapnya kagum. “Gerbang Cahaya…”

Ren melangkah pelan mendekat. “Ini penghubungnya, ya?”

Aku mengangguk. “Kalau dua waktu mulai menyatu, Gerbang Cahaya muncul untuk menyeimbangkan arus. Tapi kalau tak dijaga, dia bisa berubah jadi celah.”

Ren mengulurkan tangannya, mendekati cahaya itu.

Begitu jarinya menyentuhnya, udara di sekitarnya bergetar kuat.

Seketika, dunia seolah berhenti.

Angin membeku, suara lenyap, bahkan laut di kejauhan berhenti bergelombang.

“Ren!” aku berteriak, berlari ke arahnya.

Dia menoleh, tapi matanya sekarang bersinar emas terang.

Suara yang keluar bukan miliknya.

“Dua dunia tidak boleh bersentuhan terlalu lama.”

“Jika jembatan rusak, waktu akan pecah kembali.”

Aku tahu itu suara Sensei.

“Sensei! Ini Aki! Apa maksudmu?”

“Gerbang Cahaya muncul karena hatimu dan hatinya belum seirama. Dunia baru menunggu keseimbangan yang belum tercipta.”

Aku menatap Ren. “Seirama? Bagaimana caranya?”

“Waktu hanya bisa menyatu kalau dua jiwa memilih arah yang sama.”

Lalu cahaya itu semakin terang, menyilaukan mata.

Ren berteriak, tubuhnya terlempar ke belakang, dan aku ikut terseret arus cahaya.

Ketika aku membuka mata, kami tidak lagi di dataran tinggi.

Kami berada di sebuah tempat asing — langitnya berwarna putih lembut, tanahnya seperti kaca cair, dan udara berisi serpihan cahaya yang bergerak pelan.

Rasanya seperti berjalan di dalam cermin yang memantulkan segala hal, tapi tanpa bayangan.

Ren berjongkok, menyentuh permukaan di bawahnya. “Ini… di mana?”

Aku menatap sekeliling. “Antara.”

“Antara?”

“Ya. Ini ruang di antara dua dunia. Tempat di mana waktu mencari keseimbangan.”

Kami berjalan pelan.

Setiap langkah kami meninggalkan jejak warna yang berbeda — langkahku meninggalkan warna perak, langkah Ren warna biru.

Ketika dua warna itu bersentuhan, muncul bunga-bunga kecil dari cahaya, tumbuh lalu menghilang.

Ren menatapnya kagum. “Mungkin ini artinya dunia senang kita di sini.”

Aku tersenyum. “Atau mungkin ini cara waktu bilang, ‘ayo, cepat seirama’.”

Dia tertawa kecil. “Kalau begitu, kau harus kasih tahu aku dulu ritmenya.”

Aku berhenti berjalan, menatapnya.

“Mungkin bukan tentang ritme,” kataku pelan. “Mungkin tentang percaya.”

Dia menatapku heran. “Percaya?”

Aku menatap tanganku yang bergetar samar oleh energi di udara. “Sensei dulu bilang, waktu nggak bisa disatukan dengan logika. Hanya dengan rasa percaya. Karena waktu itu… hidup.”

Ren terdiam, lalu menatap mataku dalam.

“Kalau begitu, percayalah padaku sekarang.”

Aku mendongak, kaget. “Apa maksudmu?”

Dia mengulurkan tangannya. “Pegang tanganku. Biarkan aku menyamakan detakku denganmu.”

Aku ragu sesaat, tapi akhirnya menggenggam tangannya.

Begitu kulit kami bersentuhan, dunia di sekitar kami langsung berubah warna.

Cahaya putih menjadi emas lembut, dan udara mulai berdetak.

Aku bisa mendengar dua denyut jantung — milikku dan miliknya — bergabung perlahan.

Ren menutup mata. “Dengar itu, Aki. Dunia ikut bernafas.”

Aku memejamkan mata juga, dan untuk pertama kalinya aku benar-benar merasakan sesuatu aneh tapi indah:

waktu yang dulu terasa asing, kini hangat.

Seolah Sensei ada di antara kami, tersenyum.

Lalu suara lembut terdengar, jauh tapi jelas:

“Kalian seirama.”

“Gerbang Cahaya akan tetap terbuka, tapi dunia tak akan pecah.”

Kami membuka mata.

Langit putih di atas kami berubah menjadi biru muda, dan permukaan kaca cair di bawah kaki kami perlahan berubah menjadi laut yang familiar.

Dalam sekejap, kami kembali ke dataran tinggi.

Cahaya retakan tadi sudah hilang, digantikan awan yang bergerak normal lagi.

Ren menatap tangannya. “Kita berhasil?”

Aku mengangguk, masih terengah. “Kurasa iya. Dunia kembali normal… untuk sekarang.”

Malamnya, kami kembali ke pantai.

Angin berhembus pelan, membawa aroma garam dan sisa hujan.

Ren menatap laut lama, lalu bertanya pelan, “Aki, kalau nanti dunia ini mulai berdenyut ganda lagi, apa yang akan kau lakukan?”

Aku tersenyum, menatap langit. “Aku nggak tahu. Tapi mungkin kali ini aku nggak akan sendirian.”

Dia tersenyum kecil. “Kau tahu? Kadang aku pikir aku ini cuma pengganti Sensei.”

Aku menatapnya cepat. “Jangan bilang begitu.”

Dia mengangkat bahu. “Aku cuma merasa… setiap kali aku berbuat benar, itu karena dia. Setiap kali aku bicara, kadang suaranya muncul di kepalaku.”

Aku mendekat, menepuk pundaknya. “Ren, dia tidak menggantikanmu. Dia memilihmu.”

Ren menatapku. “Untuk apa?”

Aku tersenyum lembut. “Untuk jadi bagian dari waktu yang benar-benar hidup.”

Kami terdiam lama, membiarkan ombak berbicara untuk kami.

Lalu tiba-tiba, di tengah malam yang tenang, kilatan cahaya muncul di cakrawala — bukan petir, bukan bintang jatuh, tapi semacam sinar yang memanjang dari laut menuju langit, membentuk garis lurus sempurna.

Ren menatapnya. “Itu apa lagi?”

Aku menelan ludah. “Kalau Gerbang Cahaya muncul di antara dua dunia… mungkin yang itu adalah pintu ke dunia ketiga.”

Ren memandangku lama, matanya berkilau.

“Dunia ketiga?”

Aku mengangguk perlahan. “Ya. Dunia yang bahkan waktu belum tahu namanya.”

Kami berdiri diam, menatap cahaya yang perlahan naik ke langit,

dan di antara suara ombak, aku mendengar bisikan halus,

suara Sensei, lembut tapi berat:

“Kalian sudah menyatukan waktu. Sekarang bersiaplah… untuk melahirkan dunia berikutnya.”

Aku menatap Ren, dan dia menatap balik.

Tidak ada yang bicara lagi malam itu.

Kami hanya tahu satu hal — dunia baru sedang memanggil kami,

dan kali ini, kami akan melangkah bersama.

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!