di dunia zentaria, ada sebuah kekaisaran yang berdiri megah di benua Laurentia, kekaisaran terbesar memimpin penuh Banua tersebut.
tapi hingga pada akhirnya takdir pun merubah segalanya, pada saat malam hari menjelang fajar kekaisaran tersebut runtuh dan hanya menyisakan puing-puing bangunan.
Kenzie Laurent dan adiknya Reinzie Laurent terpaksa harus berpisah demi keamanan mereka untuk menghindar dari kejaran dari seorang penghianat bernama Zarco.
hingga pada akhirnya takdir pun merubah segalanya, kedua pangeran itu memiliki jalan mereka masing-masing.
> dunia tidak kehilangan harapan dan cahaya, melainkan kegelapan itu sendiri lah kekurangan terangnya <
> "Di dunia yang hanya menghormati kekuatan, kasih sayang bisa menjadi kutukan, dan takdir… bisa jadi pedang yang menebas keluarga sendiri <.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ibar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENDORONG BATU RAKSASA
Malam itu sunyi — hanya suara serangga yang bersahut-sahutan di balik pepohonan.
Bulan menggantung setengah di langit, memantulkan cahaya lembut yang jatuh tepat di halaman kecil di depan gubuk reyot itu.
Aku berdiri sendirian.
Memandangi langit malam.
~Angin dingin melewati kulit, membuat rambut peraknya bergerak pelan~
Aku menarik napas panjang, menahan segala rasa sakit yang masih tersisa di dadaku.
Kemudian dengan suara pelan namun penuh tekad
Aku berkata pada dirinku sendiri.
“Mulai besok adalah awal untuk menjadi jauh lebih kuat…”
Mataku mengarah keatas menatap bintang mengharap restu dari langit yang disaksikan oleh ayahanda, ibunda, dan ibunda arcelia.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak tragedi sebelumnya, membuat diriku merasa lebih siap menerima nasib.
~Setelah itu Ia masuk kedalam gubuk~
Di dalam Arvendel sudah tidur, namun api unggun kecil masih menyala.
Aku duduk sejenak.
"Akan seperti apa ya latihanku besok?.."
"Sepertinya aku tak sabar untuk melakukan latihan besok pagi!.."
Kemudian aku berbaring, merapatkan selimut, dan menutup mata sambil berjanji pada diriku.
"Aku tidak akan bersembunyi lagi.... Aku akan menghadapinya meski harus merasakan rasa sakit yang sangat perih".
Keesokan Harinya — latihan yang berat di mulai
Pagi datang dengan cepat.
Tuan arvendel sudah menunggu di luar.
Aku keluar dari gubuk.
Di samping tuan arvendel, berdiri sebuah batu raksasa sebesar rumah kecil, permukaannya dipenuhi lumut dan retakan tua.
Aku menatap batu itu, dan kedua mataku membulat lebar.
“Tuan Arvendel… ini—”
~Arvendel menepuk batu itu~.
“Ini latihanmu sekarang"
Tuan arvendel berkata demikian
"Dorong batu ini sejauh lima kilometer.”
“Lima… ki-lo-me-ter?”
Aku terkekeh mengulang pelan perkataan itu, seolah belum percaya.
Tuan arvendel menatapku tanpa senyum.
“Ini bukan latihan fisik, Kenzie. Ini adalah latihan mental."
katanya dengan pasti:
"Batu ini tidak akan bergerak kalau hatimu belum benar.”
Aku menelan ludah.
~Arvendel melanjutkan~
“Aku dan Ayahmu dulu memulai latihan kami dengan batu yang sama."
~Katanya sambil menutup mata~
"Dan sebelum batu ini bergerak… kami hampir menyerah.”
Aku mengepalkan tangan.
Tentu saja... Aku harus melampaui batasan mereka yang dulu.
"Aku akan mencobanya."
~Arvendel mengangguk~
“Kalau begitu… mulai.”
Percobaan Pertama awalnya biasa biasa saja kini berubah menjadi keseriusan
~Kenzie berdiri di belakang batu, meletakkan kedua tangannya pada permukaan yang dingin dan kasar~.
Aku menunduk sedikit, menarik napas panjang… dan mendorong sekuat tenaga.
Ototku mulai menegang.
Wajahku memerah.
Napasku juga terengah.
Tapi batu itu hanya diam…
Tak bergeser sedikit pun.
Tuan arvendel menyilangkan tangan
Menunggu hasil.
“Dengan kekuatan saja, batu itu tidak akan bergerak.”
Aku menggeram, mencoba sekali lagi… dan sekali lagi.
Namun hasilnya tetap sama.
Tidak ada gerakan.
Tidak ada goyangan.
Hanya keheningan yang mengejek.
Aku mencoba membangkitkan amarah dan merubahnya menjadi kekuatan.
Aku memikirkan ayahanda… ibunda… Dan ibunda arcelia....
kematian mereka yang tak akan pernah ku lupakan…
Aku menggigit bibir hingga berdarah lalu mendorong sekuat tenaga.
Tapi batu itu… tetap tidak bergerak.
“KENAPA!?..”
teriak ku dengan kebingungan
napasku semakin kacau.
Tuan arvendel menjawab tanpa belas kasihan
“Karena amarahmu tidak terarah. Amarah hanya membuatmu buta… bukan kuat.”
Aku menunduk, keringat jatuh dari dagu ku.
Hingga waktu Istirahat pun tiba.
“Cukup untuk sekarang"
"Silahkan. kamu boleh istirahat makan,”
~kata Arvendel sambil memberikan kantong kulit berisi air~.
Aku duduk di bawah pohon
Memegangi dada yang naik turun sangat cepat.
Tuan arvendel duduk di sampingku sambil mengeluarkan sebungkus makanan.
“Kenapa batu itu tidak bergeser…”
Aku bertanya padanya.
Tuan arvendel menatapku.
“Kau tahu apa yang membuat batu itu tetap diam?”
~Aku menggeleng pelan~
Di penuhi dengan pertanyaan di kepala ku
Tuan arvendel melanjutkan
“Fokus. Bukan tenaga. Bukan amarah. Bukan tekad kosong.”
Ia menunjuk kearah kepala ku.
“Fokus untuk menyatukan pikiran dan tubuh."
"Batu itu tidak bergerak karena hatimu masih berkecamuk.”
Aku terdiam.
~Arvendel mengeluarkan gulungan kecil dan menggambarkan garis lurus~.
“Untuk menggerakkan batu, kau perlu menyalurkan energi batinmu."
"Tidak perlu teknik tingkat tinggi. Kau hanya perlu hati yang tenang.”
Aku menatap makanan yang diberikan Tuan arvendel.
Aku menggenggam roti ini, mengunyah perlahan, mencoba memikirkan kata-kata seorang guru.
“Baik,”
Kata ku pada akhirnya mengerti
“Aku akan mencoba melakukan yang terbaik.”
Tuan arvendel tersenyum tipis.
“Itu yang ingin kudengar.”
Untuk percobaan Ketiga Aku Mencari Fokus.
diriku berdiri lagi di belakang batu.
Aku memejamkan mata.
Suara angin aku dengarkan.
Detak jantung ku perlambat.
“Tenang… tenang…”
bisikku pada diriku sendiri.
~Arvendel memperhatikannya dari jauh~.
Aku meletakkan telapak tanganku pada batu.
Aku membayangkan batu ini sebagai bagian dari diriku yang akan ku jalani.
Beban berat yang harus aku dorong keluar dari hidupku.
Aku membayangkan dorongannya mengalir seperti aliran air
Aku mencoba menyatukan napas…
Pikiranku…
Dan kekuatanku.
Lalu aku mendorong…
Perlahan…
Hening…
Namun... Tidak ada perubahan.
Batu itu tetap diam.
Tapi kali ini, aku tidak marah.
Aku tidak frustrasi.
Bahkan tidak kehilangan fokus.
Aku hanya menarik napas panjang.
“Aku butuh waktu... Perlahan namun pasti…”
~Arvendel mengangguk, bangga karena mental Kenzie tidak pecah~.
Percobaan Keempat aku hampir Kelelahan, namun tidak menyerah.
Kini matahari sudah mulai menghilang menandakan datangnya malam.
Keringat menetes seperti air hujan dari dagu hingga membasahi tubuhku.
Tanganku memerah.
Tubuhku gemetar.
Namun aku tetap... harus mencoba.
Mendorong… menarik napas… mencoba lagi… dan lagi…
Tidak terasa waktu berlalu begitu saja.
~Arvendel akhirnya menghampirinya~
“Cukup untuk hari ini.”
Aku menatap batu itu, yang bahkan tidak bergeser satu jari pun.
Aku bukan marah…
Tapi kecewa pada diriku sendiri.
“Aku… belum menemukan fokus sepenuhnya…”
~Arvendel menepuk bahunya~.
“Dan itu wajar,” katanya lembut.
“Besok, kita lanjutkan lagi."
'Batu ini memang tidak mudah untuk bergerak."
"Bahkan aku dan ayahmu butuh waktu lebih lama untuk mendorong batu itu.”
Aku mengangkat wajahku.
“Maka… aku akan mencoba lebih keras lagi besok.”
Taun arvendel mengangguk.
“Begitulah cara mental ditempa.”
Di bawah matahari sore yang mulai turun.
Aku duduk menatap batu besar itu.
Walau tubuhku lelah dan napasku berat, Aku tidak merasa hancur seperti kemarin.
Walaupun seharian penuh aku mencoba mendorong.
Yang aku rasakan masih ada kekurangan dalam diriku.
Kemudian aku pergi ke gubuk
Setelah itu aku menyalakan api kecil di samping gubuk.
Batu itu tidak bergerak hari ini.
Tapi keinginan ku…
Perlahan bergerak Dan aku mulai mengerti...
****************
Senja mulai turun perlahan, meninggalkan warna oranye yang merayap di sela batang-batang pohon.
Latihan hari ini telah selesai, dan aku berjalan dengan langkah berat menuju gubuk reyot.
Tubuhku terasa seperti menanggung ratusan kilogram beban, tetapi tekadku masih menyala kuat.
Sesampainya di gubuk.
Aku mulai menyalakan api kecil di samping gubuk.
Kemudian aku mulai mengumpulkan beberapa bahan makanan sederhana.
Mulai dari: akar rebus, potongan daging yang tuan arvendel bawa dari perburuan dua hari lalu, dan seikat daun yang biasa kami gunakan untuk bumbu.
Untuk pertama kalinya sejak Aku tinggal di tempat ini
Aku yang mengambil inisiatif untuk memasak makan malam kami.
Tanganku bergerak lambat karena lelah, tetapi aku tetap berusaha.
Di sela-sela memasak, aku sesekali memandang kearah batu raksasa di kejauhan yang masih tidak bergerak sejak pagi tadi.