NovelToon NovelToon
Untuk Aldo Dari Tania

Untuk Aldo Dari Tania

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah A

Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.

Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?

Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.

Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Panjang

Rumi sedang berdiri di depan jendela. Dia membelai halus bunga yang baru dibeli beberapa hari lalu. Dia menghela napas panjang. Perlahan dia melihat pigura foto di tangannya—foto pernikahan. Dia membelai wajah di foto itu. Terlihat sangat bahagia wajah sepasang pengantin itu. Sebulir air mata jatuh mengenai kaca bingkai foto.

"Kamu sudah tenang di sana? Aku belum," ujar Rumi.

Dia mendekap foto itu di dadanya. Merasakan kehangatan dan kenyamanan yang disalurkan. Angin semerbak menyibak rambutnya. Ingatannya tentang dua pernikahan itu melintas tanpa permisi. Dia benar-benar tidak menduga kalau hal buruk akan menimpanya.

Realitas sekarang yang dia hadapi berbanding terbalik dengan sebelumnya. Materi memang tercukupi, tetapi hati dan perasaan tidak bisa berdamai walaupun sudah bertahun-tahun.

...******...

Dion mengetuk-ngetuk jemarinya di meja bundar. Matanya yang ditutupi kacamata melirik sana sini. Seolah mencari seseorang yang ingin ditemui. Perlahan kakinya juga ikut bersenandung mengikuti irama. Segelas ice coffee terhidang di depannya. Hanya tersisa tiga perempat gelas. Padahal Dion sudah duduk di sana lebih dari satu jam.

Ponselnya berdering dan memperlihatkan nama seseorang di sana. Dion segera menggeser tombol hijau lalu menempelkan ponselnya di telinga.

"Halo! Iya, saya sudah menemukannya tapi bukan hal mudah untuk menemuinya. Pasti, setelah itu saya akan menghubungi. Secepatnya. Baik." Dion menutup sambungan lalu menghela napas kasar. Pekerjaan yang dia lakukan memang terlihat mudah. Tetapi ketika dihadapi, itu bukan hal yang mudah lagi. Dia harus pelan-pelan menemui seseorang yang diperintahkan atasannya. Walaupun sudah dekat dan sejengkal lagi menemuinya. Tetapi, benteng-bentengnya itulah yang membuat Dion kesusahan.

Kacamatanya diturunkan lalu meneguk ice coffee. Bertepatan dengan itu seorang pelayan tersenyum genit ke arahnya dan melambaikan tangan. Dion berdecih, wanita itu benar-benar berlakon genit.

Dion berpaling arah. Tak menyangka dia akan digodai oleh wanita genit itu—Tuti.

...******...

Maya mengucurkan air ke dalam gelas lalu menyuguhkannya kepada sang putra—Kevin yang sedang makan. Dia belum berganti pakaian setelah mengantar Tania pulang. Melainkan dia langsung menyantap rendang buatan Maya.

"Kamu jadi 'kan kuliah di Jerman?" tanya Maya membuka suara.

"Iya."

Maya duduk di depan Kevin. "Kamu sudah bilang sama Tania kalau kamu kuliah di Jerman?" tanya Maya.

"Belum."

Maya menghela napas. "Kalau bisa secepatnya, ya. Soalnya papa kamu sudah daftarkan kamu ke sana. Mungkin beberapa minggu ke depan atau akhir tahun ini kamu akan ke sana ngurus beberapa dokumen," ujar Maya.

"Iya."

"Jangan iya iya aja dong, Kev," ujar Maya kesal.

Kevin menatap ibunya. Wanita itu sedang berpaling arah. "Ya, terus Kevin harus bilang apa? Bilang kalau Kevin nggak mau ke Jerman?" tanya Kevin.

Maya mendengus keras. "Udahlah, lupain aja. Selesaikan makan kamu terus mandi, udah sore," ujar Maya lalu bergegas pergi keluar rumah. Paling-paling Maya akan melihat tanaman kalau suasana hatinya sedang tidak baik. Katanya sih, pembangkit semangat.

Kevin menghela napas panjang. Dia menatap punggung ibunya yang kian menjauh. "Cewek emang aneh," ujar Kevin.

...******...

Jean sedang berkutat di layar laptop. Bukan karena pekerjaan OSIS. Melainkan dia sedang video call dengan Ardi—ayahnya. Jean sangat bahagia karena setelah dua tahun silam, pria itu meneleponnya. Padahal boro-boro menelepon, menanyakan kabar pun tidak. Tetapi, entah informasi dari mana Ardi tahu semua tentang hari-hari Jean.

"Gimana sekolah kamu? Baik?" tanya Ardi.

"Baik. Papa sendiri kerjaannya gimana?"

"Sama baiknya."

"Oh iya, Papa tahu nggak sih, Aldo kepilih jadi ketua OSIS," ujar Jean dengan senyum merekah.

"Oh iya? Kamu wakilnya?"

Jean berdecak sebal. "Dia nggak bolehin aku. Katanya nggak boleh cape-cape."

"Iya, baguslah," ujar Ardi seraya membuang napas.

"Bagus apanya?" tanya Jean.

"Bagus kalau dia peduli dan sayang banget sama kamu."

Kalau Ardi sudah terkekeh geli. Maka tidak dengan Jean. Mendengar itu membuatnya sulit menarik sudut bibir. Entah mengapa perasaannya jadi campur aduk bak air laut.

Merasakan putrinya hilang senyuman, Ardi bertanya, "Kamu kenapa?"

Jean menggeleng cepat. "Enggak apa-apa."

"Awas, jangan banyak pikiran."

Bagaimana tidak banyak pikiran, akhir-akhir ini kejadian yang menimpanya yang membuatnya banyak pikiran. Berbagai macam hal menghunjam kepalanya.

Jean tersenyum tipis. Tidak! Itu adalah paksaan agar dia terlihat baik-baik saja. "Iya."

"Mama kamu mana?"

Bertepatan dengan itu Rumi membuka kamar Jean.

"Itu mama."

Ditunjuk seperti itu membuat kening Rumi mengernyit. Tetapi setelahnya dia paham maksud tunjukan Jean. Dia tersenyum manis melihat wajah sang suami ada di balik layar laptop.

"Apa kabar? Gimana Jakarta?" tanya Ardi.

"Baik, selalu baik seperti di sana," ujar Rumi.

"Sebentar lagi saya akan pulang."

"Kapan?" tanya Jean.

"Kalau tugas yang saya berikan kepada seseorang telah rampung."

...******...

Suara dentingan piring menggema di ruang makan di kediaman rumah Mila. Tania makan dengan sangat lahap hingga piringnya nyaris bersih nan kinclong. Mila menatap penuh takjub.

"Kamu berapa tahun nggak makan?" tanya Mila.

Tania berpikir. "Eumph ... mungkin satu tahun," ujar Tania tersenyum senang.

"Besok mau ikut mama enggak?"

"Ke mana?"

"Belanja buat menu baru."

"Besok aku ada rapat OSIS."

"Tapi besok tanggal merah, Tania."

"Ah, iya kah?"

Mila mendengus. "Lihat saja di kalender."

"Iya udah, ikut."

Hening sejenak. Mila memperhatikan putrinya sedang berada disuapan-suapan terakhir. Ragu-ragu dia mengatakan ini pada Tania.

"Tania," panggil Mila.

"Hm?"

Mila menggigit bibir bawahnya. "Kamu ... ngerasa nggak kalau papa bakal balik ke kita?"

Ucapan yang menohok hati Tania. Seolah dunia berhenti berotasi. Tania membeku di tempatnya. Entah perasaan seperti apa yang dia rasakan sampai-sampai sulit dideskripsikan. Tetapi yang pasti, dunia terasa berhenti.

"Ah, lupakan saja," ujar Mila berusaha mencairkan suasana. Dia berjalan menaruh piring di cucian.

Perlahan Tania berjalan mendekat dan memeluk belakang tubuh Mila. Tania tahu, ibunya sedang menitikkan air mata dan hatinya sakit.

"Tania bahkan merasakan papa lagi mikirin kita."

Dan benar ucapan Tania. Seorang lelaki dengan memakai kemeja dan jas yang disampirkan di kursi mengambil satu pigura foto yang dia simpan rapi di brankas. Dia menghela napas berat. Dari cahaya remang-remang dia melihat keluarga kecilnya. Begitu bahagia.

"Aku merindukan kalian."

...******...

Kemudian, lain halnya dengan yang Aldo rasakan. Dia merasakan sesuatu panas menjalar di tubuhnya setiap kali mengingat nama Tania. Dia sedang memikirkan kepastian yang akan dia berikan kepada dirinya sendiri. Boro-boro memberi kepastian, mendeskripsikan perasaan saja dia sudah buta. Aldo benar-benar berada di titik orang jatuh cinta tetapi tidak tahu cinta itu di mana.

Dia membuka pintu kamar. Dia kembali melihat dua temannya dan kakaknya sedang berseru riang bermain PS. Baru saja Aldo ingin ikut bergabung dan menguak pintu yang sedikit terbuka itu, tetapi sayangnya ucapan Ryan menghentikannya.

"Aldo emang gitu, buta perasaan. Dia bahkan nggak bisa bedain mana cinta, mana sayang, mana suka. Kalau ditanya dia sayang sama siapa, pasti jawabnya semuanya dia sayang. Tapi kalau ditanya siapa yang dicinta, Aldo nggak tahu tuh perasaannya berlabuh ke mana."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!