NovelToon NovelToon
Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Slice of Life
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Kara_Sorin

Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9_Perasaan yang Menggelitik

Pagi itu, matahari Jakarta bersinar terlalu terik untuk pagi yang baru dimulai. Namun, di dalam apartemen mewah lantai dua puluh itu, seorang wanita muda membungkuk di depan wastafel, mencoba menahan rasa mual yang memuncak sejak subuh tadi.

Namira menatap wajahnya di cermin. Pucat. Lingkaran gelap di bawah matanya tak bisa ditutupi bahkan oleh concealer mahal sekalipun. Perutnya melilit, sensasi panas menjalar dari ulu hati hingga dada. Sejak semalam ia hanya minum kopi dan bekerja hingga lewat tengah malam. Makan? Entah terakhir kapan.

Langkahnya gontai menuju sofa. Ponselnya bergetar beberapa kali, tapi ia abaikan. Tumpukan dokumen proyek merger dengan investor asing menunggu, tetapi tubuhnya menolak bekerja sama.

Sean, yang baru saja pulang dari shift siangnya, mendapati pemandangan itu di ruang tengah. Namira tertidur dalam posisi setengah duduk, napasnya pendek dan kulitnya tampak lebih pucat dari biasanya.

Ia menghampiri tanpa suara. “Bu Namira?” panggilnya perlahan.

Namira membuka mata, berusaha duduk lebih tegak namun terlihat kesulitan.

“Saya… saya baik-baik saja,” gumamnya, meski suaranya lemah.

Sean berjongkok di depannya.

“Ibu terlihat sangat pucat. Apakah perut Ibu terasa sakit?”

Namira menelan ludah dengan susah payah.

“Maag saya kambuh. Hanya minum kopi tadi pagi.”

Sean berdiri tanpa berkata apa-apa dan melangkah ke dapur. Ia mencari air hangat dan mengambil kotak obat yang beberapa minggu lalu sempat ia beli saat menemani Namira belanja bulanan meski saat itu hanya sebagai ‘pengiring diam’. Ia ingat ia sendiri yang menaruh kotak P3K itu di atas kulkas.

Beberapa menit kemudian, Sean kembali dengan segelas air hangat dan obat maag.

“Tolong diminum dulu, Bu.”

Namira sempat menolak secara refleks.

“Tidak perlu, saya bisa—”

“dengan hormat,” potong Sean lembut namun tegas.

“Izinkan saya membantu. Saat ini bukan waktunya bersikeras mandiri.”

Namira terdiam. Tidak biasa ada orang lain yang menegurnya seperti itu tanpa nada menggurui, tapi cukup kuat untuk membuatnya menunduk. Ia akhirnya menerima gelas itu dan meneguk perlahan. Sean lalu mengambil selimut dari kamarnya dan menyelimuti tubuh Namira.

Malam turun perlahan. Hujan deras membasahi kota. Di dalam apartemen, suhu udara turun drastis, namun kehangatan terasa justru karena satu hal: perhatian yang tak diminta.

Sean duduk di kursi makan, sesekali melirik ke arah ruang tengah tempat Namira berbaring. Ia telah memasak bubur ayam sederhana dan menaruh semangkuk di meja, tak jauh dari tempat Namira beristirahat. Ia tidak tidur. Sepanjang malam ia berjaga. Sekitar pukul dua dini hari, Namira terbangun dan melihatnya duduk di sana, diam, tenang, seperti penjaga malam yang tak kenal lelah.

“Sean…” suaranya pelan, nyaris sumbang.

“Kenapa masih di situ?”

Sean berdiri pelan.

“Saya berjaga, kalau Ibu butuh sesuatu.”

Namira mengangkat alis.

“Sejak kapan kamu… tahu caranya merawat orang sakit?”

Sean mengangguk ringan.

“Sejak ibu saya jatuh sakit lima tahun lalu. Beliau menderita komplikasi akibat terlalu banyak pikiran. Saya merawatnya hampir setiap hari, sebelum dan sesudah bekerja.”

Namira menatapnya, samar.

“Kamu tidak pernah bilang.”

Sean tersenyum tipis.

“Tidak semua hal perlu dikatakan, Bu. Beberapa cukup dibuktikan.”

Ada jeda.

“Terima kasih,” kata Namira akhirnya.

“Saya tidak terbiasa diurus.”

“Saya mengerti,” jawab Sean pelan.

“Tapi sesekali, izinkan diri Ibu untuk tidak kuat. Itu bukan kelemahan. Itu kemanusiaan.”

***

Keesokan paginya, hujan sudah reda. Aroma bubur hangat memenuhi ruang dapur. Namira duduk pelan di meja makan, mengenakan hoodie dan celana panjang, masih terlihat lemah namun jauh lebih segar.

Sean menuangkan air putih ke dalam gelas.

“Ini baru matang. Tidak terlalu asin. Saya tambahkan sedikit jahe supaya perut Ibu lebih nyaman.”

Namira menatap mangkuk itu, lalu Sean.

“Kamu seperti... tahu apa yang saya butuhkan, bahkan sebelum saya minta.”

Sean tersenyum.

“Saya hanya mencoba memahami ritme Ibu. Tidak lebih.”

Namira menyuap bubur perlahan.

“Saya jadi merasa bersalah.”

“Kenapa begitu?”

“Karena saya sering menilaimu dari apa yang saya lihat di permukaan. Tanpa pernah mencoba benar-benar mengenal siapa kamu.”

Sean duduk, tidak langsung menjawab.

Lalu ia berkata, “Saya tidak menginginkan pengakuan. Tapi saya menghargai kejujuran.”

Namira mengangguk.

“Saya terbiasa hidup dalam dunia yang penuh topeng. Orang datang mendekat karena sesuatu yang bisa mereka ambil. Tapi kamu... tidak meminta apa-apa.”

Sean menatapnya tenang.

“Karena saya tahu, yang dipaksakan tidak akan langgeng dan saya tidak ingin jadi bagian dari sesuatu yang rapuh hanya karena niatnya salah.”

Suasana hening sejenak. Angin pagi masuk dari balkon yang sedikit terbuka. Di luar, kota kembali bergerak. Di dalam, dua orang asing mulai menemukan irama.

Siang harinya, Namira beristirahat di kamar. Sean membereskan dapur, lalu mengantar beberapa pesanannya ke kantor pusat. Ia kembali sore hari dan mendapati secarik kertas di meja makan.

Terima kasih sudah merawat saya. Buburnya enak. Kamu bisa jadi chef kalau lelah jadi kurir.

Sean tersenyum tipis.

Tidak ada tanda tangan. Hanya secarik kertas. Tapi cukup untuk menunjukkan bahwa jarak di antara mereka mulai memendek.

***

Malam itu, saat Sean hendak masuk ke kamar, Namira memanggil dari arah dapur.

“Sean.”

“Iya, Bu?”

“Duduklah sebentar.”

Sean ragu, tapi lalu mengangguk. Ia duduk di seberang meja makan.

Namira memainkan ujung cangkirnya.

“Apa kamu tidak pernah merasa... marah? Diperlakukan tidak adil?”

Sean berpikir sejenak.

“Pernah. Tapi saya belajar bahwa kemarahan tidak selalu membawa solusi. Kadang ia hanya membakar tenagamu dan meninggalkan abu.”

“Kamu bicara seperti orang yang sudah hidup seratus tahun.”

Sean tertawa kecil.

“Saya hanya belajar dari hal-hal yang gagal dari kehilangan.”

Namira memandangnya. Mata Sean tidak pernah menyiratkan kepalsuan. Tidak juga manipulasi. Hanya ketenangan yang lahir dari luka yang berhasil dijinakkan.

“Kalau bukan karena situasi ini,” kata Namira pelan.

“Kita tidak akan pernah bertemu, ya?”

“Mungkin begitu,” jawab Sean.

“Atau mungkin semesta memang punya caranya sendiri mempertemukan dua orang yang sedang belajar menjadi manusia.”

Namira tersenyum. Ringan. Jauh dari citra dingin dan kaku yang biasa ia tunjukkan. Malam itu, tidak ada janji. Tidak ada pelukan. Tidak ada adegan dramatis. Hanya dua orang yang duduk di bawah cahaya lampu gantung, diam-diam membuka celah kecil di dinding hati mereka dan di antara sendok bubur yang habis dan secarik catatan tangan, tumbuh sesuatu yang baru: rasa nyaman.

1
NurAzizah504
jgn takut melawan kebenaran /Good/
NurAzizah504
/Determined//Determined//Determined/
NurAzizah504
semoga kalian baik2 saja
Kara: aamiin 🤲🤣
total 1 replies
NurAzizah504
keliatan bgt sean benar2 yakin kali ini
Kara: harus yakin 😁
total 1 replies
NurAzizah504
eh eh eh
NurAzizah504
akhirnya /Sob/
NurAzizah504
bakalan menggemparkan bgt ini
NurAzizah504
mantap. kalo disebar, pasti bakalan cepat viral
Kara: memanfaatkan opini publik 😂 sebagai senjata
total 1 replies
NurAzizah504
awas kalo ninggalin nam nam lagi
NurAzizah504
syukurlah sean udh sadar /Sob/
NurAzizah504
meleleh aku, makkk
NurAzizah504
sen-sen mu itu lohhh
Author Sylvia
yang sabar ya sean, Namira itu banyak banget yang harus dipikirin.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.
Author Sylvia
capek banget jadi Namira, keluarganya nggak ada yang peduli sama beban yang ada di pundaknya.
Riddle Girl
ceritanya keren, dari pembawaan, dan alur, bikin pembaca ikut merasakan suasana dalam cerita.
Kara: waah terimakasih sudah mampir dan mendukung ☺
total 1 replies
Riddle Girl
aku kasih bintang 5 ya, Thor. semangat nulisnya/Smile//Heart/
Kara: siap 👌
total 1 replies
Riddle Girl
mawar mendarat, Thor. ceritanya bagus/Smile/
Kara: terimakasih sekali dukungannya❤
total 1 replies
Riddle Girl
waahhh Namira yang biasanya tidak peduli kok bisa penasaran?/Grin//Chuckle/
Riddle Girl
mulut Namira sarkas juga yaa/Sob//Facepalm/
Riddle Girl
bener banget, mah ini. sampai ada kata "Lo cantik, Lo aman.", waduhh kasian orang-orang burik macam saya/Facepalm/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!