Karena pertempuran antar saudara untuk memperebutkan hak waris di perusahaan milik Ayahnya. Chairil Rafqi Alfarezel terpaksa harus menikahi anak supirnya sendiri yang telah menyelamatkan Dirinya dari maut. Namun sang supir malah tidak terselamatkan dan ia pun meninggal dunia setelah Chairil mengijab qobul putrinya.
Dan yang paling mengejutkan bagi Chairil adalah ketika ia mengetahui usia istrinya yang ternyata baru berusia 17 tahun dan masih berstatuskan siswa SMA. Sementara umur dirinya sudah hampir melewati kepala tiga. Mampukah Ia membimbing istri kecilnya itu?
Yuk ikuti ceritanya, dan jangan lupa untuk memberikan dukungannya ya. Seperti menberi bintang, Vote, Like dan komentar. Karena itu menjadi modal penyemangat bagi Author. Jadi jangan lupa ya guys....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ramanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JANJI CHAIRIL.
Andara begitu cemas melihat Chairil yang tak sadarkan diri. Dan ia langsung memerintahkan Rendi untuk membawanya ke ruang IGD. Sesampainya disana, Chairil langsung ditangani oleh para Dokter yang bertugas di sana.
Selagi menunggu Chairil sadar, Andara menyempatkan diri untuk berbicara pada Rendi. "Gimana Ren, apakah sudah ada kabar dari Danu?" Tanyanya dengan suara yang pelan.
"Sudah Om, ternyata benar dugaan kita. Sepertinya memang ada seseorang yang berniat membunuh Chairil." Balas Rendi dengan suara yang pelan juga.
"Ah, menurut dugaanmu siapa yang berniat membunuh Airil?" Tanya Andara merasa penasaran.
"Maaf Om, saya juga tidak tahu, soalnya, saya merasa Airil tidak memiliki musuh."
"Ya sudahlah, kalau begitu, kejadian ini kita rahasiakan dulu dan jangan sampai diketahui oleh siapapun. Dan kalau bisa setelah Airil sadar, Ia harus bersembunyi dulu. Sampai dia benar-benar pulih dulu, baru kita cari tahu lagi. Apakah Kamu paham Rendi?" Ujar Andara. Namun belum lagi dijawab oleh Rendi, tiba-tiba terdengar teriakkan Chairil.
"Mang Ardi!! Jangan pergi Mang!!"
Mendengar itu, Andara langsung menghampiri Chairil. "Nak, kamu sudah sadar?" Tanyanya, seraya ia memegang pipi Chairil.
"Akh... Papah?!" Sentak Chairil, saat ia membuka matanya. "Ah, Mang Ardi? Airil mau melihat Mang Ardi Pah." Katanya lagi, dan ia langsung bangkit dari tidurnya. Bahkan ia sampai melepaskan jarum infus yang masih menempel di punggung tangannya. Hal itu membuat Andara panik.
"Apa yang kamu lakukan Nak? Kamu masih lemah! Dokter menyarankan agar kamu beristirahat. Bukankah kamu tadi banyak kehilangan darahkan? Jadi Papah minta kamu...." Andara bermaksud ingin menahan anaknya. Namun tangannya langsung ditepis oleh Chairil sembari ia memotong perkataan sang ayah.
"Pah, seharusnya Airil lah yang berada di posisi Mang Ardi saat ini. Kalau Mang Ardi tidak mendorong Airil, mungkin saat ini Airil sudah mati Pah. Jadi tolong pahami perasaan Airil saat ini, Pah." Kata Chairil, sambil menatap sang ayah dengan tatapan yang terlihat begitu sedih.
Andara tidak bisa berkata apa-apa lagi, setelah mendengar perkataan putranya. Bahkan ia sempat merinding tatkala sang putra menyebut kata mati. Dan akhirnya ia pasrah saja, ketika melihat Chairil turun dari tempat tidurnya. "Ya sudah, kalau begitu ayo Papah antar kamu kesana." Katanya. Lalu ia pun memapah Chairil menuju ke ruangan tempat Ardi dirawat. Dan diikuti Rendi dari belakang.
Sesampainya disana, Andara memapah Chairil ke sebuah kursi yang berada tepat di samping tempat tidur Ardi dirawat. Lalu ia mendudukkan Chairil disana. "Apakah sudah nyaman Nak?" Tanyanya dengan lembut.
"Sudah Pah, terimakasih." Jawaban Chairil dengan tatapan mengarah ke wajah pucat Ardi yang masih tak sadarkan diri.
"Sama-sama Nak. Ya udah kalau begitu Papah tinggal sebentar ya? Papah mau telpon Mama dulu." Kata Andara dan hanya di balas dengan anggukan saja oleh Chairil. Setelah melihat anggukan putranya, Andara pun pergi meninggalkan Chairil dan Rendi yang terlihat keduanya masih menatap wajah Ardi.
"Ren, seberapa banyak orang yang mengetahui ini?" Tanya Chairil yang akhirnya buka suara. Namun tatapannya masih mengarah ke wajah Ardi.
"Tidak banyak kok Ril, hanya beberapa orang saja. Lagian yang di proyek sudah ditangani Danu. Jadi mereka pasti akan tutup mulut." Balas Rendi
Mendengar Rendi menyebut nama Danu, tatapan Chairil langsung mengarah ke Rendi. "Oh iya, apakah sudah ada kabar dari Danu? Dan gimana hasil penyelidikannya?" Tanyanya dengan wajah yang terlihat penasaran.
"Sudah Ril. Dari hasil penyelidikannya, itu bukan kecelakaan biasa kata Danu. Tapi memang ada orang yang sengaja menjatuhkan besi itu. Kayaknya memang ada yang ingin membunuh Lo Ril." Jawab Rendi sedikit berbisik, karena dari awal Chairil juga berbicara pelan. Karena ia takut akan menggangu Ardi.
"Hmm... Gitu ya? Ternyata ada yang menginginkan gua mati? Oke ... Kalau begitu kita ikuti permainannya. Jadi tugas Lo menyebarkan berita bahwa gua mengalami kecelakaan di proyek. Dan sekarang sedang koma dirumah sakit. Apa Lo paham?" Kata Chairil mengutarakan sebuah rencana pada Rendi.
"Eh... Tapi Ril, tadi bokap Lo meminta gue untuk merahasiakan masalah ini. Karena dia takut pembunuh itu akan datang lagi." Balas Rendi yang akhirnya ia memberitahu isi obrolannya dengan Andra tadi.
"Nah, itu yang gua harapkan, makanya gue meminta Lo menyebarkan berita seperti itu. Agar si pembunuh itu datang dengan sendirinya. Dan sebelum itu, Lo kabarin Danu, agar dia bersiap melanjutkan setelahnya." Jelas Chairil lagi.
"Hm, baiklah gua akan lakukan sesuai yang Lo katakan." Balas Rendi. Namun tak tak direspon lagi oleh Chairil. Karena ia sudah kembali menatap wajah Ardi dengan tatapan yang terlihat merasa bersalah.
Untuk sesaat keduanya terdiam, membuat suasana menjadi hening. Dan yang terdengar hanyalah suara mesin monitor jantung (pacemaker) dan alat bantu pernafasan yang dipakai oleh Ardi. Disaat keduanya masih terhanyut dalam pemikiran mereka masing-masing. Tiba-tiba Ardi mengeluarkan suaranya.
"Yun-da?" Katanya terdengar pelan. Melihat hal itu, Chairil langsung berdiri lalu ia juga mendekati wajahnya ke wajah Ardi.
"Mang Ardi?" Katanya nampak begitu senang. "Rendi panggilkan dokter!" Katanya lagi pada Rendi. Rendi pun langsung pergi setelah mendapatkan titah dari Bosnya.
"Syukurlah Mang, akhirnya Mamang sadar juga." Ucap Chairil setelah melihat mata Ardi yang mulai terbuka dengan perlahan. "Tunggu sebentar ya Mang Rendi lagi manggil dokter." Katanya lagi, agar Ardi tidak memejamkan matanya lagi. Dan tak berapa dokter pun datang bersama seorang perawat. Lalu Ardi kembali di periksa oleh dokter.
"Gimana keadaannya Dok?" Tanya Chairil tampak penasaran.
Dokter langsung membalasnya dengan gelengan kepalanya. "Detak jantung serta denyut nadinya semakin lemah. Sebaiknya segera hubungi keluarganya." Katanya. Lalu ia pun berlalu pergi, setelah melihat Chairil menganggukkan kepalanya.
"Ren, apakah Lo mengetahui keluarganya Mang Ardi?" Tanya Chairil terdengar lemah.
"Setau gue, Mang Ardi hanya memiliki seorang putri saja. Karena istrinya sudah lama meninggal." Balas Rendi.
"Apakah namanya Yunda?" Tanya Chairil. Karena ia tadi sempat mendengar Ardi menyebut nama itu.
"Ah, iya benar. Gue pernah dengar Mang Ardi menyebut nama itu saat telpon putrinya."
"Ya sudah kalau begitu segera hubungi dia. Oh iya, handphone Mang Ardi sama Lo kan? Jadi hubungi dia pakai itu, agar secepatnya dia datang. Bila perlu Lo jemput dia!" Ujar Chairil dengan tegas.
"Ah, baiklah!" Balas Rendi, dan ia pun langsung pergi meninggalkan Chairil. Disaat bersamaan Andara kembali masuk.
"Ada apa Nak? Papa lihat Rendi pergi tergesa-gesa. Apakah terjadi sesuatu pada Ardi?" Tanyanya seraya matanya langsung mengarah ke Ardi. "Alhamdulillah, kamu sudah sadar Ar?" Ucap setelah ia melihat Ardi kembali membuka matanya.
Mendengar perkataan sang ayah, Chairil yang sempat menjauh, waktu Ardi di priksa oleh dokter. Kini ia langsung mnghampirinya. "Mang, apakah ada yang tidak nyaman? Atau kamu membutuhkan sesuatu?" Tanyanya terlihat begitu cemas.
"Ti-dak Den. Sa-ya ha-nya ingin me-minta sesuatu sa-ma Aden." Balas Ardi terdengar terbata-bata.
"Apa itu Mang? Saya janji akan memenuhi apapun keinginan Mamang. Jadi katakanlah Mang, apa yang Mamang inginkan?" Tanya Chairil, tampak bersungguh-sungguh dengan perkataannya.
Mendengar Chairil menyebut kata janji, ada kelegaan yang terlihat di wajah Ardi. Dan sejenak ia memejamkan matanya, membuat Chairil nampak tak sabar ingin segera mendengar permintaan Ardi.
"Mang? Kok tidur lagi? Bukankah Mamang ingin meminta sesuatu dari saya, katakanlah Mang?" Ujar Chairil, membuat mata Ardi kembali terbuka.
"Den, to-long nika-hin Anak Ma-mang."
thor prasaan dkit bngt dah up ny, ga terasa/Grin/
double up kk/Grin/
prsaan trsa dkit ya mmbca krya tiap bab ny/Grin/.
brhrap ada double up, triple up. pisss hny brcnda tpi smga diwujudkn/Grin/