"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
...****************...
Hari-hari berlalu, dan aku masih belum mengambil keputusan. Tapi entah kenapa, aku mulai terbiasa dengan kehadiran Arsen—dengan caranya menjaga jarak, tapi tetap ada di sisiku.
Aku masih berlatih setiap hari, mencoba fokus untuk kompetisi mendatang. Tapi, bayangan tentang pernikahan itu terus menghantuiku.
Sore ini, setelah latihan, aku kembali ke kamar hotel. Nathan sudah tertidur di boksnya, sementara Arsen duduk di sofa, membaca sesuatu di ponselnya.
"Kau pulang lebih cepat?" tanyaku sambil melepas jaket.
Dia menoleh sekilas. "Aku ingin memastikan kau makan tepat waktu."
Aku mendecak, tapi diam-diam merasa sedikit tersentuh. Aku duduk di ranjang, menghela napas panjang.
"Aku masih belum yakin, Arsen," gumamku, mengutarakan kegelisahan yang terus mengganggu pikiranku.
Dia menutup ponselnya dan beralih menatapku. "Tentang pernikahan?"
Aku mengangguk pelan. "Aku takut karierku hancur kalau menikah denganmu."
Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang, berhadapan denganku. "Kau pikir aku akan menghancurkan kariermu?" tanyanya lembut.
"Bukan begitu," balasku cepat. "Tapi… aku tahu bagaimana media bekerja. Jika aku menikah denganmu, semua orang hanya akan melihat aku sebagai istri Arsen Ludwig, bukan Sienna Rosella, atlet figure skating."
Arsen menatapku dalam, lalu tersenyum kecil. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Aku mengernyit. "Maksudmu?"
Dia mencondongkan tubuh sedikit ke arahku. "Aku akan membuat dunia melihatmu sebagai atlet hebat, bukan hanya sebagai istriku."
Aku menatapnya penuh ragu. "Dan bagaimana caramu melakukannya?"
Dia tersenyum penuh percaya diri. "Kau akan lihat nanti."
Aku menghela napas, menatap pria di depanku dengan perasaan yang bercampur aduk. Entah kenapa, aku merasa... sedikit lebih percaya.
...****************...
Brakk!
Tubuhku menghantam es dengan keras. Rasanya seperti ada listrik yang menjalar dari lututku ke seluruh tubuh. Napasku tercekat, pandanganku sedikit kabur. Sekelilingku terasa berputar. Aku mencoba bangun, tapi ada sesuatu yang salah—rasa sakit yang tajam menyambar dari lututku.
Aku menggigit bibir, menahan teriakan. Pelatih dan beberapa staf langsung berlari ke arahku.
"Sienna!" suara Coach terdengar panik.
Aku menarik napas dalam, mencoba berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar. Lututku terasa panas dan berdenyut.
"Jangan bergerak dulu," salah satu staf medis menahanku.
Mataku mulai memanas, bukan hanya karena sakit, tapi juga karena rasa takut yang tiba-tiba menyerangku. Ini bukan cedera biasa. Aku tahu itu.
Dua orang staf membantuku duduk perlahan. Aku melihat lututku—ada sedikit bengkak, dan rasanya benar-benar tidak stabil. Aku mencoba menekuknya sedikit, tapi langsung menjerit tertahan.
Coach menatapku dengan ekspresi serius. "Kita harus ke rumah sakit sekarang juga."
Aku menelan ludah, lalu mengangguk lemah.
...****************...
Di rumah sakit, aku hanya bisa duduk di tempat tidur dengan lutut yang sudah diperban. Dokter sudah menjelaskan hasil pemeriksaan.
ACL-ku robek. Tempurung lututku mengalami retak kecil. Aku harus operasi.
Rasanya seperti ada batu besar yang menghantam dadaku. Tanganku gemetar saat mendengar kata "operasi."
"Berapa lama pemulihannya?" suaraku nyaris berbisik.
"Tergantung kondisi tubuhmu, tapi biasanya butuh sekitar enam bulan sampai satu tahun untuk kembali ke kondisi terbaik," ujar dokter, menghela napas pelan.
"Setahun?" ulangku dengan suara bergetar, terkesiap mendengar perkiraannya.
"Dan itu pun belum tentu kau bisa kembali ke performa seperti sebelumnya," lanjutnya, mengangguk dengan ekspresi serius.
Aku membeku. Dunia seolah runtuh di sekelilingku. Selama ini, aku hanya fokus untuk terus naik ke level yang lebih tinggi. Aku tidak pernah berpikir tentang… berhenti.
Pensiun.
Kemungkinan itu nyata sekarang.
Coach yang ada di sampingku menepuk bahuku. "Jangan menyerah dulu, Sienna. Kita lihat nanti setelah operasinya."
Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. Tapi akhirnya, aku menyerah. Setetes air mata jatuh ke pipiku, lalu semakin deras.
Aku menangis dalam diam, menunduk, menatap tanganku yang mengepal di atas pangkuan.
...****************...
...Seminggu kemudian setelah operasi....
Malam itu, aku hanya berdiam diri di kamar hotel. Nathan tertidur di boksnya, sementara Arsen duduk di sofa, memperhatikanku.
Aku tahu dia ingin bicara, tapi aku tidak bisa. Aku tidak ingin bicara.
Akhirnya, dia yang lebih dulu bersuara.
"Kalau kau mau marah, menangis, atau apa pun, lakukan saja."
Aku tetap diam, menatap kosong ke lantai.
Arsen bangkit dari sofa dan duduk di tepi ranjang, menatapku lekat. "Sienna," panggilnya, menghela napas pelan.
"Aku cuma… capek," gumamku, menggeleng pelan tanpa menatapnya.
Dia terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata pelan, "Aku tahu ini berat buatmu."
"Kau gak tahu apa-apa," balasku miris, tersenyum tanpa benar-benar merasa begitu.
Arsen tak menjawab. Tatapannya tetap tertuju padaku, dan entah kenapa, ada kehangatan di sana yang membuat dadaku semakin sesak.
Aku menarik napas panjang, menatap lututku yang terbungkus perban. "Ini bisa jadi akhir karierku, Arsen," bisikku nyaris tanpa suara.
Dia masih diam, lalu tiba-tiba menggenggam tanganku. "Kalau pun ini akhirnya, aku yakin kau bisa menemukan jalan lain," ucapnya, suaranya penuh keyakinan.
Aku menoleh, menatapnya dengan mata yang masih basah. "Aku gak mau jalan lain," lirihku, jari-jariku mencengkeram selimut.
Arsen mengeratkan genggamannya. "Maka jangan menyerah," katanya mantap, menatapku seolah aku adalah sesuatu yang berharga.
Aku menutup mata, mencoba menenangkan hatiku yang terasa begitu berat.
...****************...
Dua hari kemudian, Coach dan Maya datang ke Milan. Begitu aku melihat mereka, aku langsung terisak dan memeluk Maya erat.
"Aku takut, Maya," bisikku dengan suara bergetar.
"Aku tahu, aku tahu… Tapi kau akan baik-baik saja, Sienna." Maya mengusap punggungku dengan lembut.
"Apa yang harus aku lakukan, Coach?" Aku melepaskan pelukan dan menatap Coach dengan mata sembab.
"Kita akan berjuang. Lalu lihat bagaimana kondisimu nanti." Coach menatapku lekat-lekat, suaranya tegas. "Jangan pikirkan pensiun dulu."
Aku mengangguk, meski hatiku masih berat.
Sementara itu, Arsen berdiri di dekat pintu, memperhatikan kami. Aku tahu dia tidak akan ikut campur dalam urusan ini. Tapi, aku juga tahu… dia akan tetap ada di sana.
.
.
.
Next 👉🏻
Maaf rada telat up, kurang sehat badan. 🙏🏻