••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27: Rumah sakit
Drtttttttt.... Drtttttttt.... Drtttttttt....
Lagi dan lagi, ponsel itu kembali berdering, memecah keheningan ruangan yang sudah sejak tadi terasa sunyi dan hanya terisi oleh suara Isak tangis nya. Raya yang sebenarnya sangat malas untuk melihat ponsel tersebut terpaksa harus melirik layar. Ia khawatir jika ada sesuatu yang penting. Mungkin sebuah panggilan darurat atau berita yang sangat mendesak.
Dengan enggan, Raya meraih benda pintar yang ia letakkan di atas meja, mata lelahnya menatap layar ponsel. Begitu banyak panggilan tak terjawab yang tersusun rapi. Ada dari Liu, Mia, dan juga Anna, kakak tingkatnya. Namun, ada satu nomor yang membuatnya berpikir keras. Sebuah nomor tidak dikenal yang menelponnya sebanyak 23 kali. Entah siapa, dan mengapa begitu banyak panggilan yang tidak dijawab.
"Siapa ini?" ujar Raya, suara hatinya penuh dengan rasa penasaran. Tanpa ragu, ia langsung menekan nomor tersebut, telpon berdering beberapa detik sebelum akhirnya terdengar suara seorang laki-laki yang tidak ia kenali.
"Akh... akhirnya Anda mengangkat telpon juga, nyonya," ujar suara laki-laki itu. Raya terdiam sejenak, kebingungan, lalu ia berusaha menenangkan diri dan menjawab dengan sopan.
"Maaf, boleh saya tahu dengan siapa saya berbicara?,"ujar Raya, terdengar jelas jika dia bingung.
"Oh... iya, perkenalkan nama saya Edi, nyonya. Saya sopir pribadi keluarga Louwis. Kita pernah bertemu saat saya mengantar Anda dan tuan pergi ke villa pribadi miliknya," jawab pria itu, memperkenalkan diri dengan jelas. Raya langsung sadar, begitu mendengar nama keluarga Louwis yang disebutkan, itu berarti dia sedang berbicara dengan sopir keluarga Arka.
"Iya, Pak Edi? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Raya, semakin bingung dengan keadaan ini.
"Nyonya, saya ingin memberitahu jika tuan muda sekarang sedang berada di rumah sakit. Sebelum dibawa ke rumah sakit, dia meminta kami untuk menghubungi Anda, namun Anda tidak kunjung mengangkat telepon dari saya," ujar Edi, suara sopir itu datar, namun ada nada khawatir yang tersembunyi di dalamnya.
"Kenapa dia bisa dibawa ke rumah sakit? Apa keluarganya sudah mengetahui tentang hal ini?" tanya Raya, padahal sebentar tadi baru saja dia berbicara dengan Arka, meskipun percakapan mereka terhenti karena Ryan yang membentaknya.
"Entah apa yang terjadi, nyonya. Tuan mengamuk hebat setelah pulang dari luar. Bahkan ada satu pelayan yang kini sedang kritis karena terluka oleh tuan Arka. Sedangkan nyonya dan tuan besar sedang tidak ada di rumah, karena sedang memiliki pekerjaan di luar negeri," jawab Edi, nadanya datar dan tenang, meski ada sedikit nada khawatir yang hampir tak terdengar.
"Rumah sakit mana? Saya akan segera kesana!" ujar Raya, suaranya terdengar sayu.
"Rumah sakit Indah ****cal, tapi nyonya, ini sudah cukup malam. Apa perlu saya menjemput Anda di kediaman Anda?" tanya sang sopir, suara pria itu terdengar penuh perhatian.
"Tidak... tunggu saja dia di sana. Saya akan datang sendiri," jawab Raya, sambil berjalan menuju kamar mandi untuk sedikit merapikan penampilannya. Bagaimanapun, penampilannya sudah seperti orang gila dengan rambut yang acak-acakan dan mata yang sedikit sembab.
"Baiklah, nyonya. Hati-hati di jalan," ujar Edi, dengan nada yang lebih lembut, seperti khawatir akan keselamatan Raya.
Raya mematikan telepon dengan tangan sedikit gemetar, Ia bersiap-siap untuk pergi, tetapi entah kenapa, ada perasaan yang aneh menguasai dirinya. Sebenarnya, ia tidak ingin terlalu peduli dengan kejadian ini. Lagipula, Arka bukanlah pria yang lemah atau cengeng. Ia bisa mengurus dirinya sendiri. Namun, entah mengapa, hatinya selalu merasa iba pada kakak tingkatnya itu, padahal sudah jelas dia tahu jika arka bukan pria yang baik.
30 menit kemudian...
.
.
Raya turun dari taksi dengan wajah cemas. Langkah kakinya terdengar terburu-buru di sepanjang trotoar rumah sakit yang basah oleh embun malam. Udara dingin menusuk kulit, tapi Raya tidak memedulikannya. Sepatunya menjejak lantai dengan cepat, suara hak sepatunya bergema di lorong pintu masuk rumah sakit. Sesekali rambut panjangnya yang sedikit berantakan tertiup angin, namun dia hanya menyibaknya dengan asal.
Begitu masuk ke dalam gedung, udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyergap tubuhnya. Aroma khas antiseptik menusuk hidungnya. Tanpa membuang waktu, Raya langsung menuju meja resepsionis yang terletak di tengah ruangan.
Seorang wanita berseragam putih berdiri di balik meja, wajahnya tampak ramah meski sedikit lelah.
"Permisi!! Saya ingin menanyakan ruangan tempat sahabat saya dirawat. Nama lengkapnya Kevin Arkana Louwis," suara Raya terdengar serak. Resepsionis itu mengetikkan sesuatu di komputernya, sesekali melirik layar monitor dengan saksama.
"Sebentar ya, Nona." Suara lembut resepsionis itu berusaha menenangkan. Raya mengangguk pelan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya bagi Raya, resepsionis itu akhirnya menatapnya kembali.
"Ruangan 305, lantai tiga. Anda bisa langsung menuju ke sana dengan lift yang ada di sebelah kiri," jelas resepsionis itu dengan senyum sopan dan ramah.
"Terima kasih," ujar Raya singkat, sebelum bergegas meninggalkan meja tersebut. Langkahnya cepat dan sedikit terburu-buru, seolah ada sesuatu yang mendorongnya untuk segera sampai. Entah kenapa, meskipun sikap Arka selalu seenaknya, hatinya tetap saja merasa cemas. Ada sisi dirinya yang lembut, yang meski berusaha diabaikan, selalu mudah tersentuh.
Setibanya di lantai tiga, Raya langsung menemukan Pak Edi yang masih duduk di kursi tunggu dengan wajah tampak lelah. Raya menghampirinya dengan raut wajah penuh rasa ingin tahu.
"Pak Edi! Bagaimana kondisi Kak Arka sekarang?" tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran.
"Tenang saja, Nyonya. Tadi dokter bilang kalau Tuan Arka baik-baik saja. Besok pagi juga sudah bisa pulang. Tidak ada luka serius, beliau hanya pingsan karena terlalu banyak minum saja," jelas Pak Edi dengan nada menenangkan.
"Syukurlah... Kalau begitu, saya akan masuk. Kalau Bapak ingin pulang, silakan saja. Biar saya yang menemani Kak Arka." lanjut Raya.
"Terima kasih, Nyonya, tapi ini sudah tugas saya," ujar Pak Edi dengan sopan.
"Tidak apa-apa, Pak. Bapak pasti lelah. Lebih baik istirahat. Besok pagi jemput saya dan Kak Arka saja. Lagi pula sekarang sudah hampir jam sebelas malam. Sebentar lagi pagi juga tiba," ujar Raya dengan senyum kecil yang menenangkan. Pak Edi tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk setuju.
"Baiklah, kalau begitu. Hati-hati ya, Nyonya," pamitnya sebelum pergi. Setelah Pak Edi berlalu, Raya membuka pintu kamar dengan perlahan. Suasana ruangan terasa tenang dengan aroma antiseptik yang khas. Lampu kamar diredam hingga hanya menyisakan cahaya lembut yang membuat suasana terasa sedikit hangat.
Raya melangkah masuk dan duduk di samping tempat tidur Arka. Tatapannya jatuh pada wajah pria yang kini tertidur lemah dengan infus terpasang di tangan kirinya. Wajah yang biasanya keras dan penuh kesombongan kini terlihat begitu damai dan tak berdaya.
Dulu, pria ini adalah sosok yang pernah menyiksa dan mengancamnya tanpa ampun. Namun kini, dia terbaring tak berdaya di sampingnya. Ada perasaan yang sulit dijelaskan mengalir di dadanya—antara luka masa lalu dan rasa iba yang muncul tanpa diminta. Dia menghela napas panjang, lalu meraih selimut yang sedikit tersingkap dan dengan hati-hati menutupkan nya ke tubuh Arka.
" Kak... apa yang kamu lakukan, hah? Kenapa kamu sangat marah saat aku tidak memakai cincin pertunangan palsu ini?" Ucap Raya sambil menggenggam tangan Arka, mengusap-usap jari manisnya yang masih mengenakan cincin pertunangan mereka.
"Kenapa, hemmm? Kenapa kamu sampai mabuk dan melukai dirimu sendiri? Kamu mencintaiku, hah? ... Hahahaha... apa yang aku katakan ini tidak mungkin, kan? Mana mungkin kamu mencintaiku? Aku hanya wanita miskin yang tidak jelas asal-usulnya, dan kamu tahu kak, bukan hanya menjadi tunangan palsu mu, kini aku juga akan segera menjadi istri palsu bagi seseorang. Coba lihat, bukan matamu, lihatlah ini!" ujar Raya sambil menunjukkan jari manisnya yang terpasang sebuah cincin yang dipasangkan oleh Ryan tadi siang.
"Hidupku diatur oleh orang-orang kaya seperti kalian, kak, dan sialnya, aku tidak pernah bisa melawan kalian. Bukankah ini tidak adil bagiku, kak? Orang-orang kaya seperti kalian memperlakukanku seperti sebuah barang yang bisa dibeli begitu saja. Tanpa kalian sadari, aku juga punya hati. Aku sakit, kak... aku sakit diperlakukan seperti ini..." Raya mulai terisak, air matanya mulai membasahi pipinya.
Hiks... hiks...
"Tak ada yang sayang padaku di dunia ini. Tuhan tidak pernah berpihak padaku, kak..." Raya menarik napas berat, mencoba menenangkan diri yang kian tak terkendali.
"Aku ingin bahagia, walaupun hanya sekali, kak. Bisakah aku mencapai keinginan itu? Aku lelah diperbudak oleh orang-orang kaya seperti kalian ini. Aku lelah harus terus dipaksa untuk memahami kondisi orang lain seperti kalian, sementara aku sendiri terpuruk. Aku dipaksa hidup tanpa hati dan perasaan. Aku selalu dituntut untuk mengabaikan rasa sakit ku agar bisa membuat kalian bahagia. Aku lelah, kak!" lanjut Raya dengan suara yang terdengar penuh keputusasaan.
Setelah puas mengungkapkan segala keluh kesahnya pada Arka yang masih terbaring lemah, tertidur akibat pengaruh obat tidur yang diberikan oleh dokter, Raya akhirnya ikut tertidur juga. Posisi duduk di kursi membuatnya tidak nyaman, tetapi tangan Arka yang masih digenggamnya memberikan sedikit ketenangan. Dalam keheningan malam, hanya desah napas mereka yang terdengar, seolah dunia di sekitar mereka menghilang begitu saja.