Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27 : Praktik Dungeon
Setelah kejadian di kelas dengan Noa, Ferisu menjadi lebih pendiam. Meski begitu, kebiasaannya yang suka bermalas-malasan tidak berubah. Ia tetap terlihat tidur di kelas atau menatap kosong ke luar jendela, seolah-olah tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Bulan kedua di akademi berlalu dengan cepat. Acara bulanan yang selalu menjadi ajang pembuktian antar kelas kembali dimenangkan oleh kelas 1-A. Hal itu tidak mengherankan, mengingat kekuatan Sirius yang luar biasa. Ia selalu menjadi ujung tombak kemenangan mereka, membuat kelas lain kesulitan menyaingi kelas 1-A.
Namun, di awal bulan ketiga, suasana di akademi terasa berbeda. Para siswa berkumpul di aula besar untuk mendengarkan pengumuman dari kepala akademi. Pelajaran baru akan dimulai—sebuah pelatihan di dungeon.
Kepala akademi, seorang pria tua dengan janggut panjang yang tampak bijaksana namun memiliki aura yang tegas, berdiri di podium. Suaranya menggema di seluruh aula.
“Para siswa, pelajaran kali ini akan menguji kemampuan kalian di luar kelas. Kalian akan memasuki dungeon sebagai bagian dari pelatihan praktik. Di sana, kalian akan menghadapi berbagai tantangan nyata, termasuk monster, jebakan, dan situasi berbahaya lainnya.”
Seluruh aula menjadi gaduh mendengar penjelasan itu. Sebagian siswa terlihat bersemangat, sementara yang lain tampak gugup dan tegang.
“Setiap kelas akan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Kalian harus bekerja sama untuk menyelesaikan misi yang diberikan. Ingat, ini bukan hanya tentang kekuatan, tapi juga strategi, kecerdasan, dan kerja tim.”
Ferisu yang duduk di pojok aula hanya mendengarkan dengan wajah datar. Licia dan Erica, yang duduk di dekatnya, terlihat saling berbisik, mencoba menebak apa yang akan terjadi di dungeon nanti.
Noa, di sisi lain, duduk bersama teman-temannya dari kelas 1-A. Wajahnya terlihat serius, mencerminkan antusiasme sekaligus kehati-hatian. Ia menyadari bahwa pelatihan ini adalah kesempatan untuk menguji dirinya lebih jauh, terutama setelah insiden dengan Ferisu yang masih menghantui pikirannya.
"Ferisu-sama," bisik Erica, menatapnya dengan alis terangkat. "Apa kau bahkan mendengarkan ini?"
Ferisu hanya mengangkat bahu tanpa menjawab, membuat Erica mendengus kesal.
“Ini akan menarik,” gumam Sirius dari kelas 1-A, senyum percaya diri menghiasi wajahnya.
Dungeon menanti mereka, membawa janji akan tantangan yang tak terduga—dan mungkin, perubahan besar dalam hubungan mereka semua.
...----------------...
Suasana kelas 1-D semakin riuh saat para siswa sibuk menentukan kelompok mereka untuk memasuki dungeon. Viana, yang menjadi pusat perhatian berkat kekuatannya, langsung dikerumuni oleh teman-temannya yang ingin bergabung dengannya. Namun, tanpa banyak basa-basi, Viana memutuskan untuk tetap berkelompok dengan rekan-rekannya dari pertandingan bulanan sebelumnya: Erica, Licia, Markus, dan Selena.
Namun, ada satu masalah—kelompok mereka masih kekurangan satu anggota.
Licia memandang Ferisu, yang duduk di pojok ruangan dengan tatapan kosong yang diarahkan ke luar jendela. Ia tampak benar-benar tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
"Bagaimana kalau mengajak Ferisu-sama?" usul Licia, membuat Erica langsung menambahkan, "Aku tahu dia hanya bermalas-malasan dan mungkin kurang berguna dalam kelompok."
Viana mengikuti arah pandangan mereka dan memperhatikan Ferisu sejenak. Pangeran itu memang terkenal karena reputasinya yang buruk, tetapi ada sesuatu tentangnya yang membuat Viana berpikir dua kali.
"Mungkin ini kesempatan untuk melihat kemampuan aslinya," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Akhirnya, ia mengangguk. "Baiklah, kita bisa mengajaknya."
Keputusan itu langsung memicu keberatan dari Markus dan Selena.
"Viana-sama, apa Anda serius? Dia bahkan tidak pernah menunjukkan bahwa dia peduli dengan latihan atau pelajaran apa pun!" protes Markus.
"Benar, dia hanya akan menjadi beban," tambah Selena dengan nada skeptis.
Namun, Viana dengan tenang menatap keduanya. "Memang benar dia mungkin tidak akan terlalu berguna. Tapi itu tak terlalu berpengaruh pada kita, kan? Kita berlima sudah bekerja sama dengan baik selama ini. Jika dia tidak berkontribusi, kita masih bisa mengatasi tantangan di dungeon."
Licia mengangguk setuju. "Selain itu, ini juga bisa jadi pengalaman baginya. Mungkin dia akan belajar sesuatu."
Erica hanya mengangkat bahu dengan ekspresi dingin. "Ya, kita lihat saja apa yang dia lakukan nanti."
Akhirnya, Markus dan Selena menyerah pada keputusan Viana, meskipun mereka masih terlihat tidak senang.
"Ferisu-sama, kau akan ikut kelompok kami," panggil Viana dengan nada tegas, berdiri di depan mejanya.
Ferisu akhirnya mengalihkan pandangannya dari jendela dan melihat Viana dengan tatapan datar. "Oh? Aku?"
"Ya," jawab Viana. "Kau tidak punya pilihan lain selain menerimanya."
Ferisu menghela napas panjang. "Baiklah, kalau itu membuat kalian senang."
Sikap santainya membuat beberapa orang di kelompok itu semakin jengkel, tetapi Viana tetap mempertahankan ekspresi serius. Dalam hati, ia yakin keputusan ini akan membuka sesuatu yang baru—entah itu kekuatan tersembunyi Ferisu, atau sekadar memahami siapa dia sebenarnya.
...----------------...
Semua siswa kelas 1 dari seluruh kelas berkumpul di lapangan luas yang terletak tepat di depan pintu masuk dungeon. Udara pagi yang sejuk dipenuhi dengan suara-suara diskusi, antusiasme, dan kecemasan para siswa yang akan memasuki dungeon untuk pertama kalinya.
Instruktur pengawas berdiri di tengah kerumunan, mengenakan jubah resmi akademi dengan lencana pengawas yang berkilau di bawah sinar matahari. Dengan suara tegas, ia memulai pengarahan.
"Dengar baik-baik! Meskipun dungeon ini hanya berada di peringkat E, itu tidak berarti kalian bisa lengah atau bersantai! Dungeon, bagaimanapun juga, adalah tempat yang berbahaya. Tetap waspada, jaga koordinasi dengan kelompok kalian, dan jangan bertindak ceroboh!"
Suasana langsung menjadi serius. Para siswa mulai memeriksa kembali perlengkapan mereka, memastikan senjata dan item sihir dalam kondisi baik.
Instruktur melanjutkan, "Tugas kalian adalah mengumpulkan material berupa batu sihir yang akan dijatuhkan oleh monster setelah kalian mengalahkannya. Ingat, semakin kuat monster yang kalian kalahkan, semakin berharga batu sihir yang dihasilkan. Batu-batu ini akan menentukan nilai kelompok kalian dalam praktik ini."
Setelah memberi isyarat kepada penjaga dungeon, pintu besar yang terbuat dari logam hitam berornamen rune perlahan terbuka. Udara dingin dari dalam dungeon langsung terasa, menghembuskan aroma khas batu basah dan energi sihir yang tidak stabil.
Kelompok-kelompok mulai berjalan memasuki dungeon satu per satu. Beberapa siswa tampak bersemangat, sementara yang lain terlihat tegang.
Di antara kelompok itu, kelompok Viana berjalan dengan percaya diri di depan. Erica dan Licia tampak berbincang ringan, sementara Markus dan Selena sibuk memeriksa senjata mereka. Ferisu, seperti biasanya, hanya berjalan santai di belakang dengan ekspresi datar.
"Ini akan menjadi menarik," gumam Viana sambil melirik Ferisu sekilas, mencoba menilai apakah dia akan menjadi beban atau justru menunjukkan sesuatu yang berbeda.
Saat mereka melangkah lebih jauh ke dalam dungeon, suasana mulai berubah. Cahaya alami dari luar menghilang, digantikan oleh cahaya redup yang berasal dari kristal-kristal bercahaya di dinding. Suara langkah kaki dan desiran angin menjadi satu-satunya hal yang terdengar, menciptakan atmosfer yang penuh kewaspadaan.
"Jangan lengah," perintah Viana sambil menggenggam pedang sihirnya erat. "Kita mungkin menghadapi monster kapan saja."
Mereka bersiap menghadapi apa pun yang akan muncul di kedalaman dungeon.
raja sihir gitu lho 🤩