Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Bu Anisa Pingsan
"Seperti apa bentukannya?" tanya Nek Raisyah.
"Cantik dan anggun Nek, rambutnya panjang sepanggul, lurus," jawab Viko.
Nek Raisyah terdiam, lalu dia berdiri. "Tunggu sebentar," ucapnya, lalu melangkah pergi ke kamar, meninggalkan mereka berlima di sofa.
Nek Raisyah kembali keluar kamar sambil membawa album foto. "Coba lihat di album ini, apakah wajahnya ada di sini?" Nek Raisyah meletakkan album itu diatas mejanya.
Viko mengambil album itu, Saddam mendekat, bahkan Agung dan Diro juga penasaran. Viko membuka perlahan lembaran demi lembaran album itu. Melihat beberapa wajah asing, bahkan wajah Nek Raisyah dengan putri pertamanya juga.
"Ini Nek!" tunjuk Viko. Nek Raisyah memakai kacamatanya.
"Dia? Anggita?" gumam Nenek pelan, Namun mereka semua mendengar nama itu dengan jelas.
"Siapa dia Nek?" tanya Saddam.
"Hm, dia salah satu korban kecelakaan maut bersama anak bungsu dan cucu pertama saya," jawab Nenek.
Usai menjawab, Nek Raisyah tampak melamun sejenak. "Kuburan gadis ini di kuburan masal. Keluarga dia, semuanya sudah pindah, terakhir nenek dengar, adiknya jatuh sakit, kabarnya sakit parah, makanya berobat keluar daerah, hingga sekarang mereka belum kembali sudah bertahun-tahun," timpal Nenek tiba-tiba.
"Semua keluarganya Nek?" Viko bertanya.
"Iya, dia tak banyak keluarga. Nenek Anggita anak tunggal dulunya, punya dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Laki-laki meninggal sakit, batuk berdarah, kabarnya kena racun gaib, sementara anak perempuannya juga punya dua orang anak, satu Anggita ini dan satu lagi anak laki-laki yang sakit itu. Lebih besar dari kalian sedikit mungkin umurnya. Waktu mereka pindah, anak laki-laki itu masih kecil, masih sekolah SD."
"Oh." Mereka semua mengangguk mendengar cerita Nek Raisyah.
"Apakah selama ini, ada yang pernah melihat penampakan dia juga Nek, seperti kami? Apa ini bahaya?" Viko bertanya dengan suara sedikit pelan, matanya mencuri-curi lihat ke arah luar.
"Nenek tidak mendengar, tapi Irul dan Istrinya pernah melihat katanya. Kalau dibilang bahaya, ini memang tidak baik, bahkan jika kalian kembali ke kota pun sudah tidak bisa."
"Tidak bisa? Kenapa Nek?" Saddam penasaran.
"Karena kalian melihat sosok itu, jika melihatnya kalian tidak akan bisa kembali. Jika pun kalian ke kota, kalian akan tersesat di jalan. Tapi tenang, jangan cemas, Nenek akan membantu dan bertanya pada Thalik." Nenek melihat wajah mereka satu persatu yang tampak mulai tegang.
Usai bercerita panjang lebar bersama Nek Raisyah, mereka pun tidur, Saddam tidur berempat dengan teman-temannya, sementara Bu Anisa tidur dengan Nek Raisyah.
Tengah malam, semua orang sudah tertidur, namun Bu Anisa tak bisa tertidur nyenyak, kakinya serasa ada yang menyentuh. Dia ketakutan, memejamkan mata kuat sambil membaca doa dan ayat kursi.
"Anisa....."
"Anisa ...." Terdengar panggilan pelan.
Bu Anisa memegang tubuh Nenek, takut. "Nek." Bu Anisa memanggil pelan Nek Raisyah yang tidur di sampingnya.
Klang! Sesuatu terjatuh di kamar Nenek. Entah apa! Bu Anisa sangat ketakutan. "Nek!" jeritnya ketakutan setelah melihat sekelebat bayangan mendekati dirinya, entah sosok apa!
Nek Raisyah terlonjak kaget, matanya terbuka. Menatap Bu Anisa yang sudah menempelkan wajahnya ketakutan ke tubuh Nenek.
"Tenanglah Nak, ada apa? Kamu bermimpi buruk? Atau ada yang mengganggumu?" Nek Raisyah perlahan duduk, mengusap wajahnya, mengambil tongkat yang terletak disamping ranjang di dekat kepalanya.
"Nek, tadi aku mendengar suara memanggil-manggil namaku, lalu tiba-tiba sosok bayangan yang tak bisa kulihat jelas mendekat, lalu hilang. Aku takut sekali Nek!" Wajah Bu Anisa yang putih itu kini tampak pucat ketakutan.
"Bayangan seperti apa?"
"Aku tak tahu Nek, seperti bayangan hitam," jawab Bu Anisa.
Nek Raisyah bangkit dari tempat tidur, Bu Anisa juga mengikuti langkah sang Nenek, bahkan memegang ujung baju Nek Raisyah.
Tuk! Tuk! Nek Raisyah memukul tongkatnya dilantai beberapa kali.
"Jangan mengganggu tamu-tamuku, mereka tidak bersalah!" Nenek entah bicara pada siapa. Membuat Bu Anisa semakin takut.
Plak! Terdengar jendela terkeplak kuat dengan tiba-tiba. Terbuka dengan sendiri, lebar.
Meow! Rina dan Roni berdiri di depan jendela itu dengan bulu-bulu berdiri, seperti menantang pertarungan.
"Meow! Meow!" Suara sepasang kucing itu semakin kuat.
Nenek berjalan mendekat memukulkan tongkatnya di sela teralis jendela dan kembali menutup jendela.
Blam! Suara keras kembali terdengar, kini pintu kamar nomor tiga terbuka
"Aaaaa!" Bu Anisa memekik keras sampai pingsan. Suara pekikan itu membuat ke-empat muridnya terbangun dan berhamburan keluar kamar.