NovelToon NovelToon
Pernikahan Balas Dendam

Pernikahan Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:248
Nilai: 5
Nama Author: arinnjay

Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1: Kepergian Yang Menghancurkan

Arumi Pratama adalah putri tunggal dari pasangan Dian Pratama dan Sofia Sari. Keluarga mereka bisa dibilang sempurna—hangat, penuh tawa, dan selalu menghabiskan waktu bersama. Ayahnya, seorang pengusaha sukses di bidang properti, dikenal tegas namun sangat penyayang. Sementara ibunya, wanita lembut yang penuh kasih, selalu tahu bagaimana membuat rumah mereka terasa hidup.

Ulang tahun Arumi yang ke-19 dirayakan di Bali, tempat yang dipilih ayahnya karena tahu betapa Arumi menyukai pantai dan sunset. Mereka menginap di villa pinggir pantai di Seminyak. Tawa, foto-foto lucu, dan momen penuh cinta mewarnai hari-hari mereka di sana.

Namun, tak ada yang menyangka bahwa liburan bahagia itu akan menjadi kenangan terakhir bersama.

Dalam perjalanan pulang menuju bandara, truk besar dengan rem blong kehilangan kendali dan menghantam mobil mereka dari arah berlawanan. Kecelakaan itu begitu cepat dan brutal. Suara tabrakan, kaca pecah, dan teriakan menjadi momen terakhir yang Arumi ingat sebelum semuanya menjadi gelap.

 

Ketika Arumi sadar, dia sudah berada di rumah sakit. Kepalanya berdenyut, lengannya dibalut perban, dan lututnya nyeri saat digerakkan. Ia masih setengah sadar ketika suster memanggil namanya dengan lembut.

“Arumi... kamu sudah sadar, ya?”

Matanya mencari-cari. “Mama... Papa… mereka di mana?”

Suster hanya diam. Wajahnya menunduk, tak sanggup menjawab.

Beberapa saat kemudian, seorang dokter masuk bersama sahabat Arumi, Angel. Mata Angel sembab, wajahnya penuh kesedihan.

“Arumi…” ucap Angel pelan, mendekat dan menggenggam tangan sahabatnya itu.

Dokter menatap Arumi dengan serius. “Kami mohon maaf, Arumi... kedua orang tuamu tidak berhasil diselamatkan. Mereka meninggal di tempat.”

Dunia Arumi seakan berhenti. Suara dokter bergema di kepalanya. Nafasnya memburu. “Tidak... Tidak mungkin...”

Tangisnya pecah. Hatinya seperti dirobek. Orang yang paling ia cintai—orang yang menjadi pusat hidupnya—telah tiada.

 

Pemakaman berlangsung dua hari kemudian di kediaman keluarga Pratama. Para kerabat, teman bisnis ayahnya, tetangga, dan teman-teman Arumi datang memberikan dukungan. Tapi di tengah semua itu, Arumi seperti berjalan di dalam kabut. Ia diam, matanya kosong. Dunia yang hangat dan bahagia kini terasa dingin dan sunyi.

Setelah semua orang pulang, Arumi tetap di sana, duduk bersimpuh di depan makam orang tuanya. Hujan gerimis mulai turun, mengguyur pelan tanah merah yang masih basah.

“Rumi, ayo kita pulang. Sudah mau hujan,” suara Angel terdengar khawatir.

“Kamu duluan aja Angel… aku masih mau di sini. Mau nemenin ayah sama mama,” isak Arumi.

Angel menarik nafas, berusaha tetap tenang. “Rumi... kalau kamu terus begini, mama dan ayah nggak akan tenang. Kamu harus ikhlas.”

Arumi menggeleng. “Aku cuma punya mereka, sekarang aku sendiri…”

Angel terduduk di sampingnya, memeluk Arumi dengan erat. “Kamu nggak sendiri. Ada aku, Rumi. Kamu anggap aku apa?”

“Maafkan aku Angel… aku belum bisa terima semua ini…”

Angel mengusap punggung sahabatnya. Air matanya ikut menetes. “Aku ngerti, Rumi. Tapi kamu harus kuat. Demi mereka…”

 

Beberapa bulan kemudian…

Hidup Arumi perlahan berjalan kembali. Rumah besar itu kini hanya berisi dirinya dan Mbok Susi—asisten rumah tangga yang sudah seperti keluarga sendiri. Suasana rumah memang sepi, tapi Arumi mulai terbiasa. Ia belajar ikhlas, walau sesekali kenangan itu masih menghantui.

Pagi itu, sinar matahari menyusup masuk lewat jendela kamarnya. Alarm ponselnya berbunyi, tapi Arumi hanya meringkuk di balik selimut.

“Hoamm… sudah jam berapa ini?” gumamnya sambil menguap.

Saat matanya melihat jam di meja, ia terlonjak. “Ya ampun! Udah jam 06:55?!”

Dengan panik, Arumi berlari ke kamar mandi, mencuci muka, menyikat gigi, dan bersiap secepat kilat. Ia mengenakan seragam universitasnya, memulas wajah dengan makeup tipis, dan mengoleskan lip serum favoritnya.

Turun ke ruang tamu, Mbok Susi menyambutnya.

“Non, sarapan dulu!” teriak Mbok Susi dari dapur.

“Nanti aja Mbok! Aku beli di kantin kampus,” jawab Arumi sambil tergesa.

Ia masuk ke dalam mobil, di mana Mang Wawan, sopir keluarganya, sudah menunggu.

“Mang, bisa agak cepat nggak? Saya udah telat banget!”

“Siap, Non,” jawab Mang Wawan dengan sigap.

 

Sesampainya di kampus, Arumi segera masuk ke kelas. Untung dosennya belum datang. Ia duduk di sebelah Angel sambil mengelap keringat dari pelipisnya.

“Tumben lama, Rumi. Biasanya kamu paling awal,” ucap Angel sambil menyeruput kopi.

“Aku kesiangan, Gel. Tadi malam nonton drakor kesayangan,” jawab Arumi sambil nyengir.

“Hadeh, kebiasaan banget. Udah mau wisuda masih aja begadang!”

Tak lama, dosen masuk dan mengumumkan bahwa hari itu adalah hari terakhir kuliah sebelum acara wisuda. Ruangan menjadi riuh. Ada yang sedih karena harus berpisah, ada yang senang karena akhirnya lulus juga.

“Gue jadi mellow dengernya,” kata Angel sambil menatap ke luar jendela.

“Gue juga… cepet banget ya waktu berlalu,” balas Arumi pelan.

 

Sore harinya, Arumi dan Angel pergi ke butik langganan untuk memilih kebaya yang akan mereka kenakan saat wisuda. Mereka juga mampir ke toko makeup untuk membeli beberapa perlengkapan tambahan.

Setelah puas berbelanja, langit mulai gelap.

“Udah hampir magrib, yuk pulang,” ucap Angel sambil mengecek jam di ponselnya.

“Yuk,” balas Arumi.

 

Sesampainya di rumah…

“Assalamualaikum, Mbok. Arumi pulang,” serunya.

“Waalaikumsalam, Non. Tumben magrib baru pulangnya?”

“Oh, tadi habis beli kebaya sama makeup buat wisuda, Mbok.”

“Oh yaudah atuh. Mbok udah masak. Kalau lapar, langsung aja turun ya, Non.”

“Iya, Mbok. Makasih ya,” ucap Arumi sambil tersenyum.

 

Di kamarnya, Arumi menatap kebaya yang tergantung rapi. Warna merah maroon, dengan bordiran emas yang elegan. Ia menyentuhnya perlahan, lalu duduk di depan cermin. Pikirannya kembali ke masa lalu—ke saat ayah dan ibunya masih ada. Betapa mereka pasti akan bangga melihat Arumi lulus kuliah.

Air matanya mengalir pelan. Tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan rasa syukur. Ia tahu, meski kedua orang tuanya sudah tiada, mereka akan selalu ada di hatinya.

Dan ia akan terus melangkah, demi mereka.

Oke Arin, ceritamu udah manis banget—emosional, penuh nuansa kehilangan dan kekuatan. Aku bakal lanjutin bagian ini biar tembus 2.000 kata tanpa merusak tone-nya. Aku tambahin adegan-adegan yang memperdalam karakter Arumi, khususnya soal perjuangannya bangkit dan sedikit bayangan awal konflik ke depan supaya nyambung ke kisah Damian nanti.

Malam itu, setelah makan malam bersama Mbok Susi, Arumi duduk di balkon kamarnya sambil memandangi langit. Langit malam Bali masih sama seperti saat terakhir ia rayakan ulang tahun bersama orang tuanya—penuh bintang, hangat, tapi kini terasa hampa.

Di tangan kirinya ada buku harian kecil bersampul kulit cokelat. Itu adalah hadiah ulang tahun terakhir dari almarhum ayahnya.

> "Untuk Arumi, yang selalu berani bermimpi. Tulislah semuanya di sini. Bahkan luka, karena nanti kau akan melihat betapa kuatnya kamu setelah semuanya."

Dengan tangan bergetar, Arumi membuka lembar pertama. Lalu ia mulai menulis:

“Hari ini, aku hampir lulus. Mama, Papa... kalau kalian masih di sini, pasti kalian udah siapin pesta kecil buat aku, ya? Aku kangen. Tapi aku janji, aku akan terus maju. Aku nggak akan nyerah.”

Air matanya menetes di halaman itu, membentuk noda kecil.

Tapi saat hendak menutup bukunya, notifikasi di ponselnya berbunyi. Sebuah email dari universitas masuk:

“Selamat! Anda terpilih sebagai salah satu mahasiswa terbaik dalam kelulusan tahun ini. Kami mengundang Anda untuk menyampaikan pidato mewakili lulusan.”

Arumi terdiam. Ia baca ulang kalimat itu. Tangannya gemetar. Rasanya seperti mimpi.

"Ya Tuhan... aku terpilih?" bisiknya, masih tak percaya.

Ia langsung mengirim pesan ke Angel.

Arumi: GEL! GILA! Aku disuruh pidato pas wisuda!!! 😭😭😭

Angel: YAAMPUN SERIUSSS?! GILAAA! LO PAKE NANGIS GA?!

Arumi: NANGIS BANGET NIH. Gue pengen banget mereka ada... 😢

Angel langsung menelpon, dan mereka berbicara cukup lama. Saat itu, tawa dan tangis bercampur di antara dua sahabat yang tumbuh bersama dari SMA, melewati duka, dan sekarang berdiri di gerbang masa depan.

---

Hari demi hari berlalu, dan persiapan wisuda berjalan lancar. Arumi menulis pidatonya dengan hati-hati, memilih kata-kata yang mewakili semangat, perjuangan, dan kehilangan. Ia bahkan datang ke kampus lebih awal untuk berlatih di podium kosong.

Saat hari wisuda tiba, suasana kampus begitu meriah. Mahasiswa dan orang tua berdatangan dengan wajah penuh kebanggaan. Arumi mengenakan kebaya maroon-nya yang dipadukan dengan kain songket. Rambutnya disanggul rapi, dan makeup-nya sederhana tapi menonjolkan kecantikannya yang alami.

Angel menatapnya dengan kagum.

“Lo kayak bidadari, Rum. Kalo cowok-cowok di sini nggak langsung melamar, gue curiga mata mereka rusak.”

Arumi terkekeh pelan. “Ah lo lebay.”

Tapi di balik senyum itu, ada sejumput rasa sedih. Semua orang datang dengan orang tua. Sementara kursi kosong di samping Arumi tetap kosong.

Namun, saat ia melangkah ke podium, ia menarik napas dalam-dalam dan menguatkan diri. Lampu sorot menyala, ratusan pasang mata menatap ke arahnya.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…”

Suara Arumi tenang tapi menggetarkan. Ia bercerita tentang perjuangan, tentang kehilangan, tentang bagaimana hidup kadang menjatuhkan kita sejatuh-jatuhnya—namun juga memberi kesempatan untuk bangkit dan menjadi lebih kuat.

“Ayah dan ibu saya sudah tidak ada. Tapi nilai-nilai mereka hidup dalam diri saya. Dan saya tahu… mereka bangga di atas sana.”

Tepuk tangan bergemuruh. Banyak yang meneteskan air mata. Bahkan beberapa dosen terlihat mengusap wajah dengan tisu.

Hari itu menjadi titik balik bagi Arumi.

---

Setelah wisuda, Arumi mulai menjalani magang di perusahaan media digital ternama. Ia ditempatkan di divisi konten kreatif karena passion-nya di bidang penulisan dan produksi konten.

Kinerjanya menonjol. Ia dikenal disiplin, cepat belajar, dan punya intuisi kuat dalam menyampaikan cerita. Dalam waktu singkat, ia mulai dipercaya memimpin proyek kecil.

Namun, di balik semangatnya, Arumi masih sering dihantui rasa sepi. Ia sering menatap meja makan kosong saat sarapan. Atau bangun dari mimpi tentang liburan keluarga yang tak akan pernah terjadi lagi.

Suatu malam, sepulang dari kantor, ia membuka lemari dan menemukan sebuah kotak kecil berisi foto-foto keluarganya.

Foto itu memperlihatkan senyum ayahnya, pelukan hangat ibunya, dan dirinya yang tertawa lepas.

Ia memeluk foto itu, lalu berbisik, “Aku akan terus hidup. Aku akan terus menulis cerita. Dan suatu saat, aku akan membuat kalian bangga, bukan cuma di langit... tapi juga di bumi.”

---

Tapi nasib punya rencana lain.

Sebuah proyek video dokumenter membawa Arumi ke sebuah rumah sakit tempat ia akan mengambil footage tentang pelayanan pasien.

Dan di sanalah, takdir mempertemukannya dengan Rose Dirgantara.

Sosok yang begitu manis, lembut, dan menyenangkan. Mereka tak sengaja duduk di ruang tunggu bersama dan mengobrol. Pertemuan singkat itu berlanjut jadi pertemanan cepat.

Rose mengundang Arumi untuk minum kopi bareng, mengenalkannya pada banyak hal, dan bahkan mengatakan ingin mengajak Arumi kerja sama dalam proyek sosial.

Tapi takdir tak sempat memberi mereka waktu.

Dan beberapa hari kemudian, Arumi menjadi saksi kematian Rose, dalam kondisi yang membuatnya dituduh sebagai pembunuh.

---

Kini, Arumi tak hanya kehilangan keluarga. Ia kehilangan satu-satunya teman baru yang bisa mengobati luka lama.

Dan lebih tragisnya lagi… ia harus menikah dengan pria yang yakin bahwa ia pembunuh Rose.

Damian Dirgantara.

Pria penuh luka dan dendam.

---

Arumi tidak tahu seperti apa hari esok. Tapi satu hal yang ia tahu—hidupnya tidak lagi miliknya. Tapi mungkin… di balik semua ini, Tuhan sedang menyiapkan jalan untuknya. Jalan yang pahit, penuh ujian, tapi mungkin juga... menuju cinta yang tidak pernah ia duga.

1
Araceli Rodriguez
Ngangenin deh ceritanya.
Cell
Gak kepikiran sama sekali kalau cerita ini bakal sekeren ini!
filzah
Karakter-karakternya sangat hidup, aku merasa seperti melihat mereka secara langsung.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!