NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Tidak terasa alam mimpi itu membawakan Gita hingga menembus waktu sore, dan sekarang terangnya suasana kamar telah dipandang cerah menyilaukan. 

Kicauan burung selalu berisik di sekitar rumah lama ini. Selalu bertengger tanpa kenal tempat. Dingin tidak ada, berganti panas terasa. Membara huru-hara. Keringat, dan baju basah di punggungnya mengharuskan untuk bangkit dari tidur panjang.

"Jam berapa ini?!"

Gita meraba benda yang paling pertama dibutuhkan. Ponsel. Alat teknologi mutakhir yang dimiliki orang-orang zaman sekarang. Mengetuk layar menggunakan kuku tajam. Memunculkan angka-angka penanda waktu yang diarahkan pagi ini.

Pukul enam lebih lima belas menit adalah penglihatan pertama. 

"ASTAGA! Kenapa Kakak tidak membangunkan ku?!" Alis menukik tajam keduanya, bibir melengkung kebawah ditunjukkan Gita, setelah selesai menatap jam ponselnya. 

Dia harus bergegas bangun, berlari sebelum jam tujuh datang. Waktu musim liburan dua hari telah berakhir tetapi rasa liburan panjang ini selalu terkenang. Tidak bisa hilang dalam ingatan Gita.

Mandi cepat-cepat, mencari sepasang seragam yang terlipat seluruhnya, memasukkan buku-buku keperluan sekolah sesuai jadwal pelajaran yang ditentukan, segera menuruni tangga dengan rambut tergerai basah. Belum diikat lagi. 

Kelaparan adalah tugas pertama. Mencari makan demi mengisi perut kosong. Rasanya ingin melahap dua porsi nasi goreng dalam satu hari, dan minum segelas es teh dengan es paling banyak dibandingkan air teh.

Gita berusaha semangat dengan tubuhnya yang lemas

Anak tangga kembali dipakai oleh perempuan berpakaian baju sekolah. Tidak ingin mengerti keadaan Kakaknya yang menghilang pada lantai satu, Gita alihkan mencari isi pendingin makanan. Kebanyakan telah kosong pada rak-rak yang berbaris, kecuali susu kemasan berdiri sendiri. Sarapan tercepat dimiliki sekarang. 

Setengah menit habis diteguk. Telah kosong susu itu, dan sekarang sudah dibuang.

Tidak ingin berlama diam sendiri, Gita berlari memakai keperluan lain. Sepasang sepatu menjadi barang terakhir yang dipakai. Membuka pintu, menutup. Mengunci rapat. Sentuhan terakhir yaitu mengecek apa saja sebagai acuan memastikan supaya nanti tidak ada rasa khawatir selama belajar nantinya.

"Oke, tidak ada yang aneh. Saatnya pergi." Gita menepuk kedua tangan, bergesekan.

Dia selesai pada hari pertama setelah liburan. Gita menyusul menaiki angkot setelah menunggu lama.

...***...

Gerbang besar sedikit lagi hampir menutup setelah kedatangan angkot bergerak laju menuju tempat itu.

"Mas! Mas! Berhenti, Mas!" Gita panik karena anak-anak sekolah berseragam berlari ketika satpam itu menunggu, menggeser pelan.

Karena rasa panik inilah, Gita terdorong bersama lainnya. Mundur, dan diam. Dorongan inilah memunculkan sedikit dari penumpang di dalam menjadi kesal.

Larian cepat yang dibawa Gita akhirnya dilepaskan setelah selesai membayar kepada Mas-Mas muda bertopi.

"Hitungan ketiga! Ayo cepat masuk sebelum Bapak tutup!" Pak satpam menggelegar menyeru peringatan dengan gerakan gerbang menggeser pelan-pelan.

Anak-anak berlari masuk, berdesakan. Ada pula yang berhenti untuk mengikat sepatu.

Larian Gita tetaplah cepat. Dia berhasil masuk, dan sedetik setelah masuk, gerbang berbunyi menutup.

"Akhirnya...berhasil," ucapnya tersengal-sengal. Membungkuk seraya beristirahat sejenak.

Wajah Gita menjadi berkeringat hebat. Padahal baru di pagi hari, dan hanya meminum susu dingin yang ditemuinya, ternyata cukup berenergi untuk berlari.

Giliran berada menghadap lorong panjang, telah diketahui juga bahwa sekarang berada di dalam atmosfer sekolah, dan pengumuman-pengumuman yang dibawa guru-guru itu terdengar sangat jelas.

"Hei, hari ini adalah upacara!" Gita mengangkat kepala. Sadar bahwa bukan lagi hari liburan. Hari senin. Hari dimana seluruh murid sekolahan melaksakan upacara.

Karena semua orang mengenakan topi biru, rasa cemas menghantui. Khawatir, takut berdiri di tengah kerumunan orang, dia mulai mencari-cari dimana barang itu.

Manusia-manusia di dekat Gita berjalan cepat, hanya perempuan ini diam menyibukkan diri. Berdiri di tempat.

"TOPIKU KETINGGALAN DI RUMAH! Bagaimana ini?!" Gita berseru panik.

Panik berkecamuk sebelum menapaki kaki di dalam lorong. Pupus sudah harapan bahwa dia akan diam menikmati upacara di belakang dengan Salma. Berbicara bisik-bisik berdua sambil mengawasi orang-orang yang berdiri mematuhi upacara.

"Gita!" Seruan memanggil perempuan yang menggunakan tas miring.

Gita menoleh dari tempatnya, seseorang memanggil dengan namanya membuat penasaran.

"Bian? Kau telat juga ternyata, huh?" Gita memergoki anak laki-laki tinggi yang berjalan mendekati.

Sekarang Gita tidak lagi sendiri.

"Kamu juga telat, Git. Tapi kenapa kamu disini sendiri? Pagi-pagi sudah sibuk saja."

"Hei, apa kau punya topi lagi?" desak Gita mencoba bertanya.

"Aku tebak kamu pasti lupa bawa."

"Iya," ucap Gita bersuara datar. Gita menjawab dengan keadaan yang sebenar-sebenarnya. "Kau punya topi lagi? Kalau ada, pinjam sebentar saja."

"Aku akan mengeceknya. Sebentar." Bian menghentikan obrolan ini. Mengobrak-abrik isi tas, ternyata hanya menunjukkan satu topi. "Maaf, Git. Hanya ada satu saja."

"Bagaimana ini? Tidak mau maju sendiri disana. Malu."

Bian mengelus dagu. Tidak menjawab pertanyaan temannya. Bian sibuk berpikir, bertarung dengan isi kepalanya.

"Dua temanmu pasti punya. Dimana Azka dan Kael?"

"Mereka telat seperti kita. Entahlah ada di luar gerbang atau di dalam kelas. Tapi tadi dia sudah memberitahu akan datang ke tempat ini."

Gita mengangguk. Sepertinya Gita akan sangat berharap dengan anggota geng Bian.

Dibereskan kekacauan tadi, Gita rapikan baju, tas. Mengusap keringat sampai berada di telapak tangan, melihat manusia yang berlari menuju tengah lapangan.

"Itu anaknya." Bian menunjuk, paham wajah temannya.

Gita pun turut melihat wajah siapa yang akan bersama kami berdua.

Azka. Seragam lengkap, berdasi, bertopi. Sepatu hitam mengkilap bak pegawai kantor yang selalu menjaga penampilan sebelum bekerja.

"Wah, wah, wah, rapi juga temanmu itu."

Azka memandang atas siapa yang melihat penampilannya. Sadar bukan Bian yang membuka mulut, dan ternyata perempuan di samping temannya, Azka memandang aneh.

"Pinjam topi milikmu, Az. Anak ini butuh topi. Kalau tidak, dia akan semakin cerewet." Bian menyenggol badan Azka, berbisik sembari tertawa pelan.

"Hei, itu tidak benar," pinta Gita memangkas ucapan tidak benar laki-laki tinggi. "Kembali ke topik awal. Kau pasti punya dua, kan?"

"Ada. Ada dalam tas. Butuh berapa? Satu? Dua?"

"Kau mau jualan topi atau bagaimana? Dan topi siapa kau ambil? Banyak pula yang kau bawa itu."

"Benar, kan kataku. Anak ini memang cerewet." Sekali lagi Bian membisikkan kepada kuping temannya.

Berlama-lama diam menatap datar tingkah mereka, semakin menggelegar toa pengumuman para guru yang mengatur barisan sejak tadi.

"Hei, sudah selesai belum bicaranya?" Gita menunggu, memegang pinggang.

Bian, dan Azka berhenti berbisik karena menyadari bahwa mereka telah melupakan perempuan satu-satunya yang berdiri menemani.

"Simpan bicaranya. Langsung ke kelas saja. Lihat, mereka sudah berbaris. Kalian tidak ingin melewatkan acara sakral pagi ini, kan?"

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!