Novel ini merupakan kelanjutan dari cerpen Gara-gara Nolongin Bos Galak versi horor komedih nggak pakai putar.
Rachel nggak akan menyangka kalau pertemuannya dengan bos garang bin gahar malam itu merupakan awal dari segala kesialan dalam hidupnya. Asisten Pribadi yang menjadi jabatan yang paling diincar dan diinginkan para ciwik-ciwik di kantor malah jatuh pada cewek cupu macam Rachel, tapi dengan syarat dia harus mengubah penampilannya. Daaaan atraksinya menyambung rambut di salon malah membuat Rachel terus-terusan di ganggu makhluk halus. Akankah Rachel bisa melepaskan diri dari jeratan teror makhluk tak kasat mata itu? we never know...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reina aka dian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stop Bicara Ngelantur
"Masa iya hape yang dikasih pak Raga nyimpen nomor bodong?" aku masih mencoba untuk menghubungi nomornya mas Liam. Tapi sia-sia, karena lagi-lagi yang ngejawab ya si mbak operator.
"Mungkin nomornya ganti," gumamku. Sedangkan hari semakin sore, pak Raga pergi dan aku disini seorang diri, bagoooeees!
Aku ambil tas, iya ngambil aja. Jaga-jaga kalau emang mendadak aku harus pergi dari sini. Lagian aneh banget pak Raga, dia ninggalin aku di apartemennya sedangkan dia sendiri malah menclok nggak tau dimana.
Aku nggak mungkin main kabur, yang pertama pak Raga pasti bakal marah besar, yang kedua aku nggak ngerti ini di daerah mana, dan yang ketiga aku masih lemes dan greges. Tiga alasan yang cukup buat aku harus tetep stay nungguin pak Raga.
Klek!
Klek!
Ada yang narik handle pintu. Dan aku ngeliat mas Liam dateng, aku seneng dong. Akhirnya orang yang aku cari nongol juga tanpa susah payah dicari.
"Mau pulang?" mas Liam nanya ke aku sambil nunjuk tas yang aku pangku.
"Iya tadinya, cuma tadi disuruh nunggu pak Raga..."
"Oh gitu..." ucap mas Liam.
"Oh ya, kok mas Liam bisa masuk?" aku kepo.
"Aku kan orang kepercayaannya pak Raga, jadi aku tau pasword untuk masuk ke unit ini. Aku cuma mau ngecek keadaan kamu udah membaik apa belum," jelas mas Liam.
Aku yang dibilang kayak gitu ada GR-GR nya gitu. Ngerasa dikhawatirin sama orang baik.
"Aku liat kamu masih pucet, mending kamu istirahat aja," ucap mas Liam.
Aku ngangguk, "Tadinya mau merem lagi, tapi tadi aku sendirian jadi agak takut gitu,"
"Ya udah lurusin aja badan kamu, di sofa. Aku tungguin..." kata mas Liam.
"Nggak usah, aku sambil duduk aja," ucapku, ya mas Liam nih ada gila-gilanya juga nih, kan kita pake rok pendek.
Akhirnya ya aku duduk, sambil nyenderin punggung. Beberapa kali aku pejetin punggung sendiri.
"Aku kaget kamu pulang dari kantor," ucap mas Liam.
"Iya, aku mendadak sakit. Mungkin karena aku pagi-pagi minum kopi, dan makannya beberapa hari ini amburadul banget..." ucapku.
"Bukan karena sesuatu yang lain?"
"Sesuatu apa?"
"Ya sesuatu apaa gitu," kata mas Liam nggak jelas banget.
"Lagi banyak pikiran juga kayaknya, makanya badanku drop," ucapku.
"Tadi aku sempet nelfon nomor Mas Liam tapi kok operatornya bilang kalau nomor yang aku tuju salah?"
"Ini nomor hapenya mas Liam kan?" aku liatin hapeku.
"Iya bener kok. Mungkin aja lagi gangguan jadi nggak terdetek gitu nomorku," ucap mas Liam senyum.
Astaga, kenapa senyumnya begitu menawan ya. Padahal kalau di bandingin sama pak Raga, ya gantengan pak Raga. Tapi mungkin tuh orang banyakan marahnya daripada senyumnya makanya, mas Liam keliatan lebih menarik dari pak bosku yang maha benar itu.
Aku gelengin kepala, kenapa aku malah terpesona sama mas Liam, sih.
"Kenapa, Rachel?" tanya mas Liam.
"Kayaknya kamu harus periksa ke dokter deh, Mas. Wajah kamu makin pucet..."
"Kamu juga pucet. Jadi sesama wajah pucet dilarang saling ngeledekin," kata mas Liam.
"Dih, apaan, sih? jokesnya bapack-bapack banget, tau nggak?"
Tapi baru aja ngekek-ngekek sama mas Liam, kepalaku tambah nyut-nyutan, "Sshh, aduuhh,"
"Kenapa?"
"Nyut-nyutan nih kepala, aku merem bentar ya Mas. Mata juga liatnya kayak orang siwer kayak gini," ucapku.
"Iya iya, merem aja..." kata mas Liam.
Aku merem, dan aku masih ngerasa mas Liam ada di deketku. Tapi kok pas merem gini, wajahnya mas Liam masih terngiang-ngiang ya. Nggak nggak, aku nggak mungkin suka sama mas Liam. Aku udah kasih benteng tinggi banget mana mungkin ada yang bisa menyelusup dan nembus ini hati. Kalau sekedar mengagumi ganteng mah beda, namanya kita cewek normal.
Tapi yang ini kok deg-degannya pake banget gitu. Terus deg-degannya baru sekarang lagi, nggak dari kemaren-kemaren.
"Ah, mungkin karena dia ramah aja. Makanya aku kebawa baper, kayak waktu dibonceng pak Raga kan aku kebayang-bayang mukanya pak Raga..." ucapku dalam hati.
Pikiran ngelantur kesana-kesini, aku pun jadi ngantuk. Dan lagi enak-enak tidur ada yang bangunin.
"Duuuh jangan ditarik rambutkuuu, pedes tau, nggak?" aku usap kepalaku.
Sreet sreet!
Ditarik lagi rambutku.
"Ya ampun, jangan dita---riiik..." ucapku seraya buka mata. Tapi nggak ada siapa-siapa.
"Terus yang narik rambutku tadi siapa?"
"Aku bilang kembaaaliiiikaaaaaan milikkuu?!!." sebuah bentakan di telinga kananku.
"Astaghfirllaaaah!" aku lompat ke arah pak Raga, saking kagetnya ada yang ngomong di telingaku.
"Astagaa, Racheeel!" pak Raga doyong ke belakang. Sedangkan aku nemplok di pak Raga kaya bayi koala.
"Ada setan, Pak!" tanganku melingkar di bahu pak Raga.
"Setan dimana setan? mana ada setan disini?" ucap pak Raga.
"Kamu turun duku, kita cari dimana setannya? jangan-jangan kamu cuma ngarang biar bisa curi-curi kesempatan, biar bisa meluk saya?" ucap pak Raga.
Aku yang menyadari posisi yang nggak seharusnya pun segera turun, "Idiih, Bapak jangan kepedean, saya cuma kaget tadi makanya saya reflek--"
"Untung saya kuat! coba kalau tidak? kita bisa jatuh bareng!" pak Raga nyerobot omonganku.
"Kalau gitu, saya pamit pulang aja, Pak..." aku celingukan nyariin mas Liam tapi nggak ada.
"Saya antar!"
"Nggak perku, Pak! ehm, maksud saya, nanti ngrepotin Bapak. Bapak kan sibuk, banyak kerjaan..."
"Minum obat dulu, baru aku antar kamu pulang! kamu belum minum obat kan?" kata pak Raga nggak mau dibantah.
Aku menggeleng.
"Pantes! jadi berhalusinasi!" ucap pak Raga yang ngasih aku air dan obat.
"Minum!" dia nyuruh.
Aku pun mengikuti perintah sang bos gendeng.
"Saya dianter mas Liam aja, Pak. Kayaknya tadi mas Liam ada disini," aku masih nego, biar nggak usah dianter pak Raga. Aku pusing kalau dia udah ngomong, nylekitnya sampe kentulang-tulang.
Pak Raga nggak ngejawab, dia cuma nempelin punggung tangannya.
"Tidak demam, tapi ngomongnya ngelantur!" ucapnya.
"Sudah, jangan banyak tawar menawar, karena saya bukan pedagang di pasar!" ucap pak Raga yang narik aku keluar.
"Ngelantur gimana, orang tadi beneran ada mas Liam. Kita malah sempet ngobrol, ck pak Raga bener-bener deh..." batinku yang ngeliat pak Raga sambil menyamai langkah lebar pak Raga.
"Kenapa? jangan bilang kamu mau digendong?" sindir pak Raga.
"Mana ada, Pak! soal insiden tadi kan saya tidak sengaja dan tidak bermaksud..."
"Sudahlah, saya tau jalan pikiranmu!" kata pak bos.
"Deuh, mas Liam kemana sih? kalau ada dia kan aku nggak usah pulang sama pak Raga..." lirihku.
"Dengar baik-baik, stop bicara ngelantur soal Liam Liam dan Liam?!" ucap pak Raga nyuruh aku masuk ke dalam mobil.