IG - elis.kurniasih.5
Keanu Putra Adhitama, seorang pembalap yang digandrungi banyak kaum hawa ternyata memiliki satu kisah asmara yang belum selesai. Ia tak mampu menghapus kenangan wanita itu, walau mencoba menerima setiap wanita yang lain datang.
Keluarga memisahkan Keanu dengan sang pujaan hati yang ternyata anak dari asisten rumah tangganya sendiri. Bukan hanya itu, ternyata sang pujaan hati pun mengalir darah seorang mafia internasional sekaligus musuh besar keluarganya.
Bagaimana kisah cita sang pembalap ini selanjutnya? Akankah ia dan sang pujaan hati akan bersatu?
Sekuel
- Aku Bukan Wanita Penggoda
- XL (Extra Love)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elis Kurniasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang batin
“Seratus satu, seratus dua, seratus tiga …”
Jihan berhitung sembari menggerakkan kaki Wiliam yang duduk di kursi roda. Ia melakukan terapi awal agar otot kaki yang kaku itu sedikit melonggar.
“Sudah, Nak. Aku lelah. Sesi terapi kita hari ini selesai.”
Jihan menggeleng. “Belum, Pak. Ini baru seratus sepuluh. Kaki Bapak masih bisa digerakkan dalam hitungan ke dua ratus.”
Jihan tetap mengayunkan kaki itu dan menggerakkannya.
“Tapi ini sudah cukup banyak. Kemarin kakiku hanya sanggup diayunkan hingga hitungan ke delapan puluh,” sambung Wiliam.
“Nah, itu artinya semakin ada perubahan Pak,” jawab JIhan tersenyum.
Percakapan itu tak lepas dari pantauan Gio. Selama satu minggu menjadi terapi sang ayah dan berada di rumah ini, ia melihat Jihan bukanlah orang yang patut dimata-matai. Gio tidak pernah melihat gerak gerik mencurigakan dari wanita asing yang membuatnya merasa tidak asing.
Gio berdiri di depan pintu sembari melihat interaksi sang ayah bersama terapis mudanya itu. Ya, Jihan memang pantas menjadi anak Wiliam dan pantas menjadi adik Gio. Walau sebenarnya hubungan itu memang benar adanya.
“Sudah, sudah. Aku lelah,” ucap Wiliam yang tak mau lagi kakinya digerakkan.
“Ayo, Pak. Sudah hitungan seratus dua puluh. Bapak pasti bisa sampai di hitungan seratus lima puluh.”
Gio melihat Jihan yang sedang menyemangati ayahnya.
Wiliam menggeleng. “Tidak, aku tidak sanggup.”
“Ayolah Papa!” Gio bersuara dan menghampiri ayahnya. “Mana optimis Papa yang Gio kenal. Papa pasti sanggup.”
“Hah, masalahnya berbeda, Gio. Ini tidak seperti mengambil wilayah dan mendapat kepuasan,” sahut Wiliam.
“Ya, setidaknya jika Papa bisa berjalan lagi, itu juga satu kepuasan kan?” tanya Gio sembari melirik kearah Jihan. “Bukan begitu?”
JIhan mengangguk takut. Aura Gio memang menakutkan. Aura mafia di wajah sang kakak itu sangat kentara. Ketika dia ada, maka suasana serasa mencekam.
“Hei, kau membuat terapisku takut,” ujar Wiliam.
“Mengapa takut? Aku hanya bertanya. Tidak menembak kan?”
“Gio,” panggil Wiliam sembari membulatkan matanya ke arah sang putra.
Gio pun tertawa. “Baiklah, Papa. Sepertinya aku mengganggu terapimu.”
“Ya, pergilah! Kau menganggu. Clara jadi terdiam kalau ada kau.”
Gio mengernyitkan dahi dan kembali menatap Jihan yang sedang menunduk, lalu pergi dari ruangan itu. Wiliam menatap kepergian putranya dan beralih pada wajah Jihan yang sedikit menciut.
“Hei, Clara. Jangan takut pada putraku! Dia tidak sejahat yang kau lihat. Sebenarnya dia anak yang baik,” ucap Wiliam. “Dia itu sepertiku. Orang-orang mengira aku adalah pria berdarah dingin. Padahal aku menyimpan sendiri kekuranganku hingga aku terkesan tidak peduli orang lain.”
Jihan menatap sang ayah. Pria tua ini sering berbicara dengan kata-kata tersirat. Lalu, Jihan berdiri karena sesi terapi selesai dan kaki Wiliam sudah tidak ingin di gerakkan.
“Minumlah dulu!” ucap Wiliam sambil mengalihkan pandangannya ke arah minuman dan makanan kecil yang maid-nya sediakan di meja untuk Jihan.
Jihan mengangguk dan mengambil gelas itu. ia meminum air di gelas itu sembari melihhat-lihat foto yang terpajang di ruang kerja. Biasanya ia akan melakukan sesi terapi di ruang terapi Wiliam, tapi hari ini Wiliam mengajak Jihan terapi di ruang kerjanya.
Jihan menatap foto Wiliam bersama seorang wanita.
“Dia istriku. Ibunya Gio,” kata Wiliam.
Jihan menoleh ke arah Wiliam dan tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Ia tahu tentang kematian ibu Gio. Kecelakaan itu yang membuat Ibu Gio meninggal dan Wiliam berada di kursi roda hingga saat ini.
Lalu, kaki Jihan kembali berjalan ke sisi lain. Ia menangkap sebuah foto yang menjadi incarannya sejak ia menginjakkan kaki di ruangan ini. Kemudian, Jihan berdiri di sebuah foto anak perempuan yang berusia dua tahu.
Jihan menoleh ke arah Wiliam seolah bertanya tentang foto lain yang keberadaan orang di dalam foto ini tak terlihat di rumah ini.
“Dia putriku,” ucap Wiliam membuat JIhan menegang.
Jihan kembali memusatkan pandangannya pada foto anak perempuan yang berusia dua tahun itu. Foto yang sama seperti yang ada di rumah kakek neneknya di kampung saat Jihan berusia dua tahun. Wajah dirinya di foto rumah sang nenek pun sama seperti wajah anak perempuan yang terpajang di dinding ini. Apa foto ini adalah foto dirinya?
“Dia adik Gio, tapi berbeda ibu. Dulu, Aku menghamili wanita Indonesia. Dia sangat cantik, cantiknya sama seperti ibuku. Mungkin karena mereka berasal dari daerah yang sama,” ucap Wiliam tersenyum.
Namun, tangan Jihan mengepal. Ia kesal karena Wiliam memuji-muji ibunya. Pria itu tidak tahu seberat apa perjuangan mereka selama ini karena ulahnya.
“Apa istri kedua Bapak tidak ada fotonya di sini? Saya penasaran,” tanya Jihan untuk mengorek informasi.
“Saya tidak menikahinya. Ada keluarga kaya dan disegani di sana yang membuat saya tidak bisa mengambil dia dan putriku,” jawab Wiliam membuat Jihan terkejut.
“Ah, aku terlalu banyak cerita padamu,” kata Wiliam lagi dengan mengakhiri percakapan itu. “Aku akan keluar dari ruangan ini. Silahkan kamu nikmati minuman dan makanan kecil itu. Tetaplah di sini hingga makan malam tiba. Aku tidak ingin mendengar penolakan lagi darimu.”
Wiliam menggerakkan kursi rodanya dan keluar dari ruangan itu. ia membiarkan Jihan berada sendiri di ruang kerja yang menyimpan segudang rahasia. Entah mengapa Wiliam sangat percaya pada dirinya, padahal Jihan baru satu minggu menjadi terapis pribadi mafia itu. Tidak mudah memasuki kediaman Wiliam, apalagi sampai di ruang kerjanya seperti ini.
Jihan kembali ke sofa dan menikmati makanan serta minuman yang tersedia. Ia sadar di dalam ruangan ini tersimpan banyak cctv. Ia tidak ingin bertindak gegabah dengan menggeledah segala isi di ruangan ini dan mencari informasi tentang kapan Gio akan mengirimkan barang-barang dagangannya itu. Ia sadar bahwa keleluasan yang diberikan Wiliam dan Gio semata-mata hanya ingin tahu seberapa bahaya dirinya.
Jihan menikmati minuman dan camilan itu dengan santai sambil mengedarkan pandangan ke pintu balkon yang terbuka.
Dor
Jihan terkejut saat dentuman senjata terdengar nyaring. Ia langsung berdiri dan berjalan menuju balkon untuk melihat apa yang terjadi di luar. Ternyata seorang pria tengah tergeletak di sana. ia melihat segerombol pria dan satu wanita yang berada di samping pria yang mengarahkan tembakan ke pria yang terjatuh itu.
“Kau harus terbiasa dengan pemandangan itu,” suara Gio mengagetkan Jihan.
Sontak Jihan menoleh ke belakang dan melihat aura menyeramkan itu. Gio berdiri tepat di samping Jihan. Keduanya memegang besi pagar balkon dan menatap ke pemandangan yang tidak boleh dilihat oleh anak dibawah umur karena mengandung kekerasan.
“Kau tahu kami?” tanya Gio sembari menata[ tajam ke arah Jihan.
Jihan mengangguk.
“Aku tidak sembarangan mengambil dokter pribadi untuk Papa. Aku dan Beatrix sudah kenal sejak sepuluh tahun lalu. Oleh karena itu aku mengambil Beatrix untuk menjadi dokter Papa. Dan karena Beatrix memintamu untuk menggantinya sementara, aku setuju karena kau rekomendasinya langsung. Walau sebenarnya aku masih belum percaya apa kau berbahaya untuk kami atau tidak.”
Jihan pun mematung. Namun, ia berusaha menenangkan diri dan berekspresi datar agar Gio tidak membaca pikiran dan mimik wajahnya.
Gio menatap sekilas wanita yang sebenarnya adalah adiknya. Lalu, ia memandang ke pemandangan itu lagi. Pemandangan Craig, kaki tangan Gio yang berhasil membidik peluru di kepala pria yang telah berkhianat itu.
“Aku akan sangat baik, jika orang itu baik. Dan aku akan sangat jahat, jika orang itu jahat,” ucap Gio lagi dan menoleh lagi ke arah Jihan. “tapi sepertinya, kau orang baik. kau mampu membuat Papaku tersenyum lagi sejak kecelakaan itu.”
Jihan menatap sang kakak. Batinnya berperang. Apakah orang yang selama ini ia kira jahat, tidaklah jahat? Entahlah.
nah ini barù novel yg ku tunggu..cewek jagoan ...wow...!!!