Ini kisah nyata tapi kutambahin dikit ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Taurus girls, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Teta ibunya Sendi dia sudah di pindahkan ke ruang rawat, keadaannya juga sudah jauh lebih baik, detak jantungnya pun sudah mendekati normal, sudah tidak terlalu rendah lagi.
Sendi, Haya, anaknya Haya, dan suami Haya yang bernama Yayan mereka kini sudah berada di parkiran, mereka akan pulang ke rumah bersamaan.
"Dek, kamu duluan aja. Mbak nanti mau mampir ke supermaket dulu," kata Haya pada Sendi.
Sendi mengangguk dia pun menjalankan motornya keluar dari area rumah sakit.
"Haya...!"
"Haya tunggu..!"
Suara mbak Fatma dan mas Maslim yang memanggilnya membuat Haya yang sudah akan naik ke atas motor terhenti. Haya menoleh.
"Kenapa mbak, mas?"
"Kamu jangan pulang dulu. Sendi mana?" tanya mas Maslim, dia celingukan mencari keberadaan Sendi.
"Sendi sudah aku suruh pulang duluan. Kenapa mas?"
Haya malah jadi bingung tadi ketiga kakaknya meminta Sendi dan dirinya untuk pulang saja lalu mengapa sekarang mereka memintanya untuk tidak pulang dulu? Apakah ada sesuatu?
"Oh, ya sudah kalau Sendi sudah pulang duluan, yang penting kamu belum."
"Ada apa Mas?" Haya kembali bertanya karena tadi pertanyaannya belum mas Maslim jawab.
Maslim menatap istrinya dia membuang napas pelan. Menatap Haya. "Kata dokter tekanan darah ibu turun lagi, turun drastis. Jadi kamu jangan pulang dulu takutnya kamu pergi dari sini ibu ikutan pe---"
"Ayo kita ke sana." potong Haya dia menyerahkan anaknya pada suaminya, Haya tidak mau mendengar kata-kata buruk tentang ibu. Bahkan Haya berjalan lebih dulu dengan langkah tergesa.
Haya tiba di depan pintu ruangan yang semua kelambunya di tutup, Haya tidak tahu itu ruangan apa. Tapi yang jelas di sini sudah ada beberapa perawat dan satu dokter yang menangani Ibu sejak masuk di rumah sakit ini.
Di belakang Haya, Mas Maslim menyentuh bahu Haya. "Ayo masuk. Kita temani ibu sama-sama,"
Haya mengangguk tapi dadanya mendadak berdebar. Langkahnya alot untuk masuk lebih dalam lagi tapi tangan ketiga kakaknya terus mendorongnya maju. Tapi dia tetap akan mendekati ibu yang sedang di kerumuni petugas medis.
"Ya Allah Ibu, kuat Bu,"
Suara mbak Fatma terdengar lirih di telinga Haya, bahkan suaranya terdengar gemetar.
Tirai-tirai hijau di tutup mengelilingi ranjang ibu. Ketika Haya mendekat bersama ketiga kakaknya dokter melarangnya mendekat.
"Tolong di sana saja kami tidak ingin di ganggu sedikit pun," kata dokter itu menutup tirai semakin rapat tanpa celah membuat Haya dan ketiga kakaknya tidak bisa melihat apa-apa.
Mereka menunggu di sana, mereka berdiri dan tidak ada yang ingin duduk sama sekali. Mereka sudah terlalu kepikiran tentang ibu bahkan bayangan buruk semakin tercetak jelas di kepala mereka.
Dalam hati, Haya selalu mengucapkan kata tidak mungkin-tidak mungkin, terus menerus. Berusaha menepis gambaran buruk itu untuk muncul.
"Ya Allah, Ha. Mbak nggak tahu, mbak nggak mau sendirian." tangis mbak Kiki terdengar, dia memeluk Haya.
Entahlah, mendengar mbak Kiki yang menangis, Haya mendadak seperti orang linglung. Dia tidak tahu harus merespon bagaimana. Sedih atau...
Ssrettt
Tirai di buka dari dalam lebar-lebar, dokter terlihat di sana menunjukan kondisi ibu yang sudah terbaring semakin lemah di atas brankarrr.
Hati Haya mencelos.
"Mbak, Mas. Ayo, kemarilah," pinta dokter itu menatap Haya dan para kakaknya.
Mereka menurut mereka mendekati brankarrr ibu.
"Maaf mbak, Mas. Ibu Teta detak jantungnya terus semakin menurun. Untuk itu saya perlu kalian semua berkumpul di sini untuk melihat secara langsung. Saya ingin kalian tahu bahwa kami Selaku tim medis sudah berusaha semampu kami, sebisa kami untuk menyelamatkan semua pasien kami. Tapi kami juga manusia biasa, kemampuan kami terbatas, kami tidak bisa bertindak di luar batas kemampuan kami. Saya harap apapun nanti akhirnya, kita serahkan kepada yang Kuasa."
Dokter itu mengambilkan buku kecil yang lagi-lagi Haya tahu apa itu isinya, dokter itu mengulurkan kepada Mbak Fatma.
"Semoga bisa membantu Mbak. Mbaknya bisa duduk di kursi itu," dokter menunjuk kursi yang ada di sudut ruangan kursi yang sepertinya memang sudah di sediakan di sana.
"Dok! Detak jantungnya semakin menurun! Ayo dok kita harus--"
"Cepat siapkan," dokter menyela kalimat perawat, dokter langsung mengambil alat kejut denyut jantung.
Suara gem.rusuk semakin riuh di ruangan ini. Entah ini hanya perasaan Haya saja atau memang semua yang di sini juga merasakannya.
Haya menyentuh kepalanya dia menatap dada ibu yang terus menerus di beri sengatan kejut detak jantung. Dada ibu terpental berulangkali membuat Haya merasa kasihan. Haya yakin Ibu pasti kesakitan saat ini.
Haya juga mendengar suara mbak Fatma yang masih melantunkan bacaan khusus untuk ibu. Semuanya terasa tercampur aduk di dalam ruangan ini.
Hingga Haya melihat dokter mengangkat tangan dokter meletakan alat medisnya dan membuka masker yang sejak tadi menutupinya. Tatap mata Haya dan dokter itu pun bertemu.
"Maaf... kami menyerah. Saya harap kalian bisa lebih ikhlas."
Haya meneguk ludah dengan alot, bersamaan dengan suara lantunan mbak Fatma yang berhenti begitu saja.
"M-maksud Dokter apa?" bukan Haya yang bertanya tapi mbak Fatma.
Dokter terlihat kembali menghela. Dokter tahu jika situasi seperti ini sangat sensitif sekali untuk yang bersangkutan.
"Maaf mbak, pasien sudah tidak tertolong."
"APA..!?" Mbak Fatma terkejut, bukan hanya dia Haya dan kakaknya yang lain pun sama, mereka juga terkejut.
Bayangan ini sudah tergambar di kepala mereka sejak tadi tapi tetap saja mendengar fakta ini secara langsung, sungguh menyayat hati. Menyakitkan.
"Tapi ibu masih bernafas, dok. Lihat itu, dadanya masih naik turun. Itu tandanya dia masih bisa di selamatkan, kan?"
Haya menunjuk kearah dada ibu yang memang terlihat masih bergerak naik turun. Para kakaknya pun juga bisa melihatnya. Bukan hanya mereka tapi dokter dan petugas medis yang lainnya pun masih bisa melihatnya dengan jelas.
"Memang benar mbak tapi itu karena beberapa alat medis yang masih terpasang di sana. Mbak bisa melihat ke mesin EKG itu."
Haya dan para kakaknya menurut, melihat ke arah mesin EKG dan ya, di sana tidak ada tanda apa-apa, rata semua garisnya, rata.
Detik itu juga suasana terasa hening hanya ada suara deru napas para medis yang tersengal demi menyelamatkan pasiennya.
"Huhuhuuu..."
Bukan, bukan Haya yang menangis tapi mas Muslim kakak laki-lakinya.
"Kalau begitu mbak mas silakan keluar dulu, biar saya dan tim saya melepas alat yang masih terpasang. Salah satu dari kalian urus segera akta kematiannya, ya."
Haya tercekat, tangannya memukul dada yang terasa sesak. Sayangnya, entah mengapa, air matanya tak jatuh, tapi tenggorokan dan dadanya terasa teramat sakit.
Haya menahan, Haya menahan tangisnya agar tidak keluar. Haya menahannya Sejak tadi.
Haya keluar dari ruangan ketika punggungnya di dorong paksa oleh mbak Fatma yang sudah menangis di sisinya. Begitu di luar ruangan, wajah Yayan terlihat.
"Kalian kenapa menangis? Ada apa?" tanya Yayan, wajahnya jelas kelihatan bingung.
"Ibu, Mas. Ibu sudah tidak ada. Ibu... meninggal,"