Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Takdir Kecil Ketiga
Cahaya matahari Surabaya menembus tirai tipis di kamar apartemen Bulan, membentuk garis lembut di sprei putih yang masih kusut. Aroma roti panggang dan kopi hangat memenuhi udara. Di meja makan kecil, Lintang sudah duduk sambil membaca sesuatu di ponselnya, rambutnya masih acak-acakan dan jaket kampus tergantung di kursi.
“Pagi, Kak Bul-Bul,” sapa Lintang, suaranya serak tapi ceria.
“Pagi, calon insinyur paling berisik di kosmos,” jawab Bulan sambil tersenyum. Ia keluar dari kamar dengan rambut yang dikuncir rendah, masih mengenakan piyama satin berwarna abu muda.
“Kamu entar langsung pulang ke kos atau langsung ngampus, Lin?” tanya Bulan kepada adiknya
sambil memakan roti panggangnya, Lintang hanya mengangguk lalu menjawab “ke kosan dulu ,Kak, baru ngampus”
Sinar matahari jatuh di wajahnya, membuat kulitnya tampak hangat dan lembut. Ia mengambil cangkir kopi dari dapur, lalu duduk di seberang adiknya.“Tidur nyenyak semalam?”
Lintang mengangguk. “Nyenyak banget, soalnya AC-nya gak seberisik di kosanku. Kakak sendiri tidur jam berapa?”
Bulan mengangkat alis. “Jam dua,”
Lintang langsung menatap tajam. “Kak Bul! Baru pindah aja udah lembur?”
Bulan terkekeh pelan. “Gak lembur, cuma nyusun jadwal rapat buat seminggu ke depan. Biar tim gak bingung.”
Liora yang muncul dari kamar sebelah sambil merapikan rambut, ikut menyahut, “Dia tuh, Lin, bukan manusia. CPU-nya gak bisa mati.”
Tawa kecil mengisi ruangan. Suasana pagi itu terasa ringan, seperti mereka sudah mulai menyesuaikan diri dengan ritme kota yang baru. Di luar jendela besar, langit Surabaya cerah—biru muda dengan awan tipis yang bergerak malas. Jalanan di bawah mulai ramai, tapi dari ketinggian apartemen, semuanya tampak damai.
Bulan menatap ke luar sambil memeluk cangkirnya. “Entah kenapa, aku ngerasa Surabaya lebih... hidup,” katanya pelan.
Liora menatapnya dari balik meja dapur. “Atau mungkin lo yang mulai hidup lagi.”
Kalimat itu membuat Bulan diam beberapa detik. Ia tidak membantah, hanya tersenyum kecil—senyum yang mengandung sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
**
Beberapa jam kemudian, gedung baru PT Global Teknologi Cabang Surabaya mulai hidup dengan ritmenya sendiri. Lantai empat belas — tempat divisi utama dan ruang rapat eksekutif berada — dipenuhi suara tawa, langkah kaki, dan derit troli pengangkut kardus.
Kardus-kardus besar bertuliskan server, dokumen HR, dan IT department masih menumpuk di sudut ruangan. Kabel panjang menjuntai dari langit-langit belum tersambung sempurna, sebagian masih melingkar di lantai. Beberapa staf muda terlihat sibuk menata meja kerja baru, sementara aroma kayu dan cat dinding baru masih samar-samar menguar di udara.
Cahaya matahari menembus kaca besar di dinding timur, memantulkan bayangan lembut ke lantai vinyl abu-abu muda. Dari jendela, pemandangan kota Surabaya tampak jelas — gedung-gedung tinggi, langit biru, dan atap-atap rumah yang menghampar sejauh mata memandang.
Suasana itu memberi sensasi hangat: antara baru, sibuk, tapi penuh harapan.
Bulan berjalan perlahan di antara meja-meja yang belum tertata sempurna, mengenakan blouse putih polos yang diselipkan rapi ke celana panjang hitam, sepasang sepatu kitten heels mengikuti langkah mantapnya. Di tangannya ada clipboard berisi catatan revisi layout kantor — catatan yang penuh coretan rapi dan sticky note warna-warni.
“Meja bagian IT tolong agak digeser sedikit ke kiri, biar kabelnya nggak ketarik sama jalur printer,” ujarnya dengan nada tenang tapi tegas. Suaranya tidak tinggi, tapi cukup untuk membuat staf yang lain menoleh dan mengangguk cepat.
Seorang karyawan pria muda lewat sambil tertawa kecil. “Bu Bulan ini detail banget ya, sampai posisi stop kontak juga diatur.”
Bulan hanya tersenyum tipis. “Kalau sistem gak rapi dari awal, nanti kerjaannya gak akan efisien.” Nada suaranya ringan, tapi matanya penuh fokus — tatapan seorang pemimpin yang tahu apa yang ia lakukan.
Di pojok ruangan, Liora sedang mengobrol dengan tim marketing, tangannya yang gesit menunjuk ke arah dinding yang baru dipasang branding board bertuliskan:
PT Global Teknologi – Surabaya Branch.
Innovation with Heart.
“Hurufnya jangan terlalu kecil,” kata Liora sambil mengerutkan dahi. “Kita bukan startup yang sembunyi, tapi bukan juga perusahaan yang teriak kayak billboard.”
Bulan mendengarnya dan tersenyum kecil. “Aku gak nyangka kamu bahkan punya opini tentang ukuran huruf, Li.”
Liora menoleh dan menjawab santai, “CEO, bukan cuma tanda tangan, Bul. Kadang aku juga butuh eksis.”
Beberapa staf tertawa pelan, suasana kantor terasa cair, penuh energi muda yang segar.
Bulan menatap sekeliling ruangan. Ada rasa puas di dadanya melihat semua mulai terbentuk — bukan hanya kantor baru, tapi babak baru dari hidup yang mereka bangun bersama dari nol.
Dulu hanya mimpi dua mahasiswa yang kelelahan di kafe kampus, sekarang berdiri nyata di kota baru, di lantai tinggi dengan logo perusahaan sendiri.
Ia menghela napas pelan, lalu mencatat sesuatu di clipboard.
“Masih banyak yang harus dibenahi,” batinnya, “tapi ini sudah lebih dari cukup untuk hari pertama.”
Ia berhenti di depan meja resepsionis baru, membantu staf muda yang tampak kebingungan.
“Enggak perlu panik, pelan aja. Kita masih punya waktu dua hari buat grand opening,” katanya lembut, nada suaranya membuat semua orang merasa tenang.
Liora lewat di belakangnya sambil menepuk bahu. “Gue kasih nilai sembilan koma lima dari sepuluh buat aura bos kamu hari ini.”
Bulan mengerling. “nol koma lima sisanya?”
“Karena lo belum senyum waktu ngomong sama vendor listrik tadi,” sahut Liora cepat, membuat Bulan menahan tawa.
Suasana kantor itu mungkin belum sempurna, tapi ada sesuatu yang hidup di dalamnya: energi, semangat, dan rasa kebersamaan. Bulan menatap ruangan itu lama sebelum melangkah ke balkon kecil di ujung kantor. Dari sana, ia bisa melihat atap-atap kota dan sebagian siluet Gunung Arjuno yang samar di kejauhan. Ada ketenangan yang baru, seperti pelukan kota ini mulai menghangatkan hatinya.
Bulan melangkah pelan menuju sisi ruangan yang paling ujung, tempat kaca besar terbuka menuju balkon kecil. Angin Surabaya menyambutnya dengan hembusan hangat bercampur aroma debu kota dan bunga kamboja dari taman bawah.
Dari ketinggian lantai empat belas itu, pemandangan terbentang luas — jalanan yang sibuk, gedung-gedung berkilau, dan di kejauhan, samar-samar, bayangan biru Gunung Arjuno menembus kabut tipis.
Ia menatapnya lama. Gunung itu tampak jauh dan tenang, seolah menyimpan rahasia yang tak perlu dijelaskan. Entah kenapa, pemandangan itu membuat dadanya terasa hangat — seperti ada sesuatu yang menunggu di balik tenangnya siluet biru itu.
“Cantik, ya?” suara Liora terdengar dari belakang, lembut tapi penuh makna.
Bulan menoleh sedikit, tersenyum. “Iya. Aku gak nyangka bisa lihat Arjuno dari sini.”
Liora berdiri di sampingnya, menyandarkan tangan di pagar balkon. “Gue pernah denger kata orang tua gue, kalau Arjuno itu gunung yang diam tapi selalu ngamatin. Gak semua orang sadar dia ngelihat balik.”
Bulan terkekeh pelan. “Kedengarannya kayak metafora buat seseorang.”
Liora melirik nakal. “Atau pertanda lo bakal dilihat seseorang, tapi belum sadar aja.”
Bulan mencubit pelan lengannya. “Kamu tuh, Li. Selalu aja nyelipin teori cinta di mana-mana.”
Mereka tertawa kecil. Tapi ketika tawa Liora memudar dan angin kembali berhembus, Bulan masih menatap siluet gunung itu. Dalam diam, sesuatu di dalam dirinya bergeser — bukan besar, tapi cukup untuk membuatnya sadar bahwa ada bab baru yang sedang menunggu untuk dibuka.
**
Sementara itu, di lantai tiga puluh Arjuno Grand Hotel, Bhumi Jayendra sedang memeriksa agenda bisnis di tablet-nya. Ruang kerjanya tenang, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan. Ia sudah terbiasa dengan rutinitas: laporan, rapat, kontrak. Tidak ada yang di luar kendali — sampai matanya berhenti pada satu nama di layar.
Daftar Undangan Meeting Kolaborasi Digital Arjuno Group – PT Global Teknologi
COO: Rembulan Adreyna
Bhumi terdiam. Namanya muncul lagi. Tanpa sengaja. Tanpa peringatan. Ia menatap tulisan itu beberapa detik terlalu lama. Jari-jarinya mengetuk perlahan permukaan meja, detaknya teratur tapi pikirannya tidak.
Arsen, sekretarisnya, masuk sambil membawa berkas baru. “Ini jadwal meeting dengan PT Global, Pak. Katanya mereka tertarik untuk kerja sama dalam pengembangan sistem digital hotel. Mau saya masukkan di agenda minggu depan?”
Bhumi tidak langsung menjawab. Pandangannya masih tertuju pada layar tablet. Akhirnya ia berkata pelan, “Jadwalkan ulang jadi besok siang. Saya ingin ikut langsung.”
Arsen sempat menatap heran, tapi tidak berani bertanya. “Baik, Pak.”
Bhumi mengetuk permukaan meja pelan dengan jarinya, irama ringan tapi teratur. Ada jeda sesaat sebelum ia bersuara lagi,
“Arsen,” panggilnya tanpa menoleh.
Arsen yang berdiri di dekat pintu langsung menegakkan badan. “Ya, Pak?”
“Pastikan tim digital mereka dikonfirmasi untuk rapat besok. Saya mau lihat langsung sistem yang mereka tawarkan.”
“Baik, Pak.”
Bhumi kembali menatap layar. Sekilas saja, tapi cukup lama untuk mengingat suara perempuan itu dari event kemarin — nada tenang, penuh percaya diri, tapi lembut. Ada sesuatu dari caranya berbicara yang masih menempel di pikirannya. Bukan suaranya saja, tapi juga ketenangan itu… yang terasa asing bagi seseorang sepertinya.
Ia menutup tablet perlahan, lalu menatap keluar jendela. Langit Surabaya sore itu berwarna keemasan, dan dari ketinggian tiga puluh lantai, matahari tampak seperti bulatan oranye yang perlahan tenggelam di balik horizon.
Untuk pertama kalinya sejak lama, Bhumi tidak langsung kembali ke pekerjaannya. Ia hanya berdiri diam di depan jendela, membiarkan dirinya menatap pemandangan yang sama — langit yang mungkin sedang disaksikan juga oleh seseorang di sisi lain kota.
**
Sore berganti malam dengan tenang di Surabaya. Langit di luar jendela apartemen Bulan sudah berwarna ungu gelap, dan lampu-lampu kota mulai berpendar seperti bintang-bintang yang tersesat di darat.
“Cepetan, Bul! Gue udah kelaperan banget,” teriak Liora dari ruang tamu sambil berdiri di depan cermin. Gaun midnight blue-nya memeluk tubuh rampingnya dengan elegan, rambut bob-nya disisir rapi tapi tetap bergaya kasual.
“Ini bukan makan biasa, ini syukuran karena kita berhasil keluar dari jebakan zona nyaman Jakarta,” katanya sambil mengacungkan lipstik ke arah Bulan.
Bulan muncul dari kamar dengan blus hitam satin yang sederhana tapi anggun, rambutnya diikat setengah, make up-nya tipis tapi segar.
“Li, gue gak nyangka lo bisa ngasih alasan ‘syukuran keluar dari Jakarta’, buat alasan makan steak mahal.”
Liora pura-pura menatapnya serius. “Eh, tiap pencapaian hidup wajib dirayain, Bul. Kita udah kerja kayak robot bertahun-tahun di ibu kota, pindah ke Surabaya aja udah kayak nyelamatin jiwa.”
Bulan tertawa kecil, mengambil clutch hitam di meja. “Yaudah, gue ikut. Tapi lo yang traktir.”
“Deal!” sahut Liora cepat. “Kalau lo bayar, itu bukan syukuran tapi sedekah.”
**
Restoran Éclat Dining terletak di jantung kota, di lantai atas sebuah hotel butik dengan jendela besar yang menatap langsung ke arah skyline Surabaya malam hari. Lampu gantung berbentuk kristal memantulkan cahaya lembut, menciptakan suasana hangat dan elegan.
Pelayan menyambut mereka dengan senyum ramah dan membawa menuju meja di dekat jendela — tempat cahaya kota tampak paling indah.
“Tempatnya bagus banget…” ujar Bulan sambil menatap ke luar jendela. Dari atas sini, jalanan tampak seperti sungai cahaya yang mengalir.
“Makanya gue pilih sini. Romantis, tapi gak norak,” kata Liora sambil membuka menu. “Kecuali lo tiba-tiba nangis waktu makan steak, baru norak.”
Bulan menghela tawa. “Gue nangis cuma kalau liat tagihan, Li.”
Mereka langsung menuju ke meja yang berada di dekat jendela agar mereka bisa melihat suasana di luar restoran yang syahdu.
Di sisi lain ruangan, duduk dua pria di meja berbeda — lebih ke arah tengah restoran, di bawah cahaya lampu temaram. Bhumi Jayendra dan Marvin Nalendra.
Keduanya tampak kontras, Bhumi dengan setelan abu-abu arang dan jam tangan hitam di pergelangan tangannya, duduk tegap tapi santai. Sementara Marvin, dengan kemeja putih bersih dan ekspresi datar seperti selalu, duduk berhadapan dengannya, memegang segelas air tanpa menyentuh makanan di piring.
Di meja mereka ada laptop terbuka, grafik proyek properti yang masih setengah dibahas.
Tapi kalau Marvin menatap layar, Bhumi malah… tidak.
Sejak lima menit lalu, tatapan Bhumi sesekali melayang ke arah meja di dekat jendela — tempat dua wanita sedang tertawa kecil sambil menyesap red wine. Dari posisinya, Bhumi bisa melihat jelas profil Bulan. Cahaya lampu jatuh lembut di wajahnya, memantulkan kilau hangat di kulit putihnya. Ia mengenakan blus hitam sederhana, tapi entah kenapa, justru kesederhanaan itu yang membuatnya sulit dialihkan dari pandangan.
Marvin mengetuk meja pelan. “Lo dengerin gue gak sih, Bhum?”
Bhumi tersentak ringan. “Hm? Dengerin kok.”
Marvin menatapnya datar. “Lo bilang ‘hm’ dari tadi lima kali, dan semua dengan nada berbeda.”
Bhumi menghela napas kecil. “Gue fokus.”
“Fokus ke gue atau ke orang yang duduk di belakang gue?” tanya Marvin, tanpa emosi tapi menembak tepat.
Bhumi diam dua detik, lalu meneguk tehnya pelan. “Lo parno.”
Marvin menyandarkan diri di kursinya. “Gue bukan parno, gue observatif. Dan lo, sahabat gue yang paling tenang sedunia, keliatan kayak lagi nonton pertandingan penting tapi gak punya tiket depan.”
Bhumi menatap layar laptop lagi, tapi sudut bibirnya menahan senyum kecil. “Lo terlalu banyak mikir, Vin.”
Marvin menatapnya tajam. “Lo terlalu kelihatan.”
Bhumi akhirnya tertawa pelan — suara tawa yang jarang keluar. “Kadang gue lupa lo bukan cuma CEO tapi juga detektor emosi manusia.”
“Bukan detektor. Cuma kebetulan lo ngelihatin punggung seseorang terus sejak sepuluh menit lalu,” jawab Marvin datar.
Bhumi memutar sendok di piring, suaranya rendah. “Cuma… orang yang pernah gue liat di event kemarin. Perusahaan digital.”
“Ah, jadi bukan ‘orang’, tapi ‘kolega bisnis’. Gaya banget,” sahut Marvin sambil mengangkat alis. “Kalo lo mau nyamperin, tinggal bilang. Lo Bhumi Jayendra, bukan bocah SMA yang naksir barista.”
Bhumi menatapnya sekilas, mata cokelat gelapnya memantulkan cahaya lampu. “Gue gak tertarik ngobrol. Cuma kebetulan liat.”
“Kebetulan liat, tapi gak kebetulan liat terus,” gumam Marvin, membuat Bhumi akhirnya tersenyum kecil tanpa menyangkal.
Lalu mereka melanjutkan pembahasan bisnis yang sempat tertunda. Pembahasan bisnis kali ini merupakan kolaborasi kesekian kalinya untuk mereka berdua. Bhumi ingin melebarkan sayap hotelnya hingga ke Bali dan ia membutuhkan Perusahaan Marvin untuk mengeksekusinya. Yap, pembuatan hotel bintang lima dan villa resort di Bali yang sedang mereka diskusikan kali ini.
Sementara itu, di meja dekat jendela, Liora baru saja menaruh pisau steak-nya sambil mendesah puas.
“Sumpah, ini steak terenak yang pernah gue makan setelah gaji masuk.”
Bulan menatapnya geli. “Padahal gaji lo yang paling gede dari semua orang di kantor.”
“Gaji gede gak berarti hati tenang,” balas Liora sambil menyeruput wine. “Yang tenang tuh makan.”
Bulan terkekeh. “Lo emang butuh makan buat nyembuhin stres, Li.”
“Tepat banget. Ini namanya healing elegan. Dulu di Jakarta kita healing-nya mie instan sambil nangis liat laporan pajak.”
Tawa mereka berdua mengalun lembut di antara musik jazz pelan yang dimainkan di pojok ruangan. Malam itu terasa ringan, seperti dua perempuan yang akhirnya bisa bernapas di tengah hidup yang keras.
Namun di sisi lain ruangan, tatapan Bhumi masih belum beranjak. Setiap kali Bulan tertawa, ujung matanya mengerut sedikit, dan Bhumi menemukan dirinya memperhatikan hal sekecil itu — padahal ia sendiri tidak tahu kenapa.
Marvin yang sedari tadi memperhatikan reaksi sahabatnya akhirnya berkata pelan,
“Lo tau gak, Bhum... buat orang yang katanya gak tertarik, lo keliatan kayak lagi baca novel dari kejauhan.”
Bhumi menaruh sendoknya dan menatap Marvin dengan ekspresi datar tapi tenang. “Dan lo keliatan kayak naratornya.”
Marvin menyesap airnya, bibirnya menahan senyum kecil. “Gue cuma pengen pastiin lo gak lupa makan gara-gara ‘kolega bisnis’ lo itu.”
Bhumi menatap lagi ke arah jendela, senyum tipis muncul di wajahnya. “Tenang aja,” katanya pelan, “gue masih bisa makan… sambil liat laporan malah.”
Malam terus berjalan. Di luar, lampu kota Surabaya berkilau di balik kaca jendela besar, menyelimuti suasana dengan kehangatan lembut.
Bulan dan Liora tertawa tanpa tahu bahwa seseorang beberapa meja di belakang mereka sedang diam-diam mempelajari setiap senyum dan tatapan mereka — dan di antara piring steak dan segelas teh hangat, Bhumi Jayendra mulai menyadari bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, fokusnya bisa terpecah… dengan sangat indah.
**
Musik jazz masih mengalun lembut ketika Liora meletakkan serbetnya di meja.
“Bul, gue ke toilet bentar ya, habis minum wine dua gelas gue kayaknya bakal tumpah kalau nambah lagi.”
Bulan tertawa kecil sambil mengangguk. “Cepet ya, jangan nyasar ke dapur.”
“Tenang, gue udah punya GPS di di kepala gue,” jawab Liora percaya diri sebelum beranjak.
Di sisi lain restoran, Marvin menutup laptopnya, menatap sekilas ke arah Bhumi yang masih diam menatap layar tanpa benar-benar membaca.
“Gue ke toilet bentar,” katanya datar.
Bhumi hanya mengangguk tanpa menoleh.
“Ambil waktu lo,” gumam Bhumi pelan, masih dengan pandangan yang entah kenapa tak bisa lepas dari arah jendela.
**
Lorong menuju toilet fine dining itu sempit, tapi penerangannya hangat dan elegan. Lantai marmernya mengilap, aroma parfum bunga dan cologne bercampur halus di udara. Liora berjalan cepat dengan langkah kecil penuh percaya diri, sambil ngecek lipstick di kamera HP-nya.
Di waktu yang sama, Marvin keluar dari arah berlawanan, menggulung lengan kemejanya sedikit.
Dunia, tentu saja, punya selera humor yang aneh.
“—Eh! Astaga!”
“—What the—!”
BRUK!
Mereka tabrakan cukup keras di tikungan kecil, dan yang terjadi berikutnya adalah adegan slow motion paling konyol di dunia elegan, Tas kecil Liora terayun, bedak dan lipstiknya terlempar keluar, dan seolah ikut berkonspirasi, puff bedak dan foundation-nya menempel sempurna di dada Marvin — tepat di bagian kemeja putih bersihnya yang mahal itu.
Keduanya terpaku selama dua detik.
Liora berkedip cepat, matanya membulat. “Oh. My. God. Ini nggak mungkin. Gue baru aja… Ngecapin bedak di dada orang asing.”
Marvin menatap ke bawah, lalu ke wajah Liora, lalu ke kemejanya lagi — ekspresi datar tapi jelas ada keputusasaan di mata. “...Itu bukan cuma bedak. Itu kayak lukisan abstrak.”
Liora langsung panik. “Ya Tuhan—ini gara-gara foundation cushion! Harganya aja mahal, tapi kenapa nempel di lo, bukan di muka gue!”
Ia buru-buru nyari tisu di tasnya yang sekarang isinya kayak kapal karam: lipstick, compact powder, dan parfum pada keluar semua.
Marvin berdiri diam, menatap kemejanya yang kini punya noda bentuk tangan samar warna beige.
“Jadi… lo baru aja ninggalin sidik jari kosmetik di dada gue?” Nada suaranya datar, tapi ada humor kering yang nyelip di ujung kalimat.
Liora menepuk dadanya sendiri (bukan dada Marvin ya ) dan berusaha menjelaskan cepat.
“Gue sumpah, gak sengaja! Gue cuma mau ke toilet, bukan launching produk kosmetik di baju orang!”
Marvin akhirnya menghela napas panjang, mencoba sabar. “Gue... gak marah. Cuma… ini kemeja linen Italia.”
Liora langsung menatapnya ngeri. “Italia? Ya ampun! Jadi ini bukan Uniqlo?!?”
“Sayangnya enggak.”
“Berarti gue barusan ngeprint wajah gue di aset internasional??”
Suara tawa kecil lolos dari bibir Marvin — tawa tipis yang nyaris nggak terdengar, tapi sukses bikin Liora membeku.
Dia tertawa. Si kulkas 12 pintu ternyata bisa mengeluarkan suara manusia.
Liora mendadak kehilangan kata-kata, karena baru kali ini ia sadar... Cowok di depannya ‘gila.. ganteng bangett.’
Bukan cuma tampan, tapi jenis tampan yang kayaknya bisa ngebekuin ruangan cuma dengan tatapan. Rahangnya tegas, hidungnya mancung sempurna, mata gelapnya punya sorot tenang yang berbahaya.
Dan yang lebih berbahaya — kemejanya sekarang punya bekas makeup Liora tepat di dada.
“Gue... sumpah bakal gantiin biaya dry clean-nya,” ucap Liora cepat, suaranya setengah panik, mencoba menyelamatkan sisa harga diri yang masih tersisa.
Tangannya bahkan sudah merogoh dompet kecilnya, siap membayar dosa kosmetik berwujud foundation itu di tempat.
Marvin menatapnya lama — benar-benar lama. Tatapan datarnya kayak pendingin ruangan model baru, tidak bergerak, tidak bereaksi, tapi entah kenapa sukses bikin Liora keringat dingin.
Sampai akhirnya, dengan nada sedingin kulkas 12 pintu yang dibuka di tengah Antartika, dia berkata, “...Gak usah diganti.” Mode kulkasnya On lagi bestie.
Liora berkedip cepat, suaranya meninggi spontan.
“APA?!”
Marvin menatapnya lagi, ekspresinya tetap datar, suaranya stabil banget kayak garis ECG orang yang udah menyerah hidup. “Gue bilang, gak usah diganti.”
Liora menganga kecil. “Lo serius? Itu linen Italia loh! Kemeja lo sekarang kayak hasil eksperimen warna kulit gue!”
Marvin menatap noda di dadanya sekilas, lalu kembali ke wajahnya. “Ya udah. Anggep aja limited edition.”
Liora menatapnya lama, antara bingung, malu, dan kagum sekaligus. “Lo ngomong kayak orang yang udah pasrah hidup, tapi Sumpah, lo tuh dinginnya bukan normal lagi.”
Marvin mengangkat alis sedikit, nyaris gak kelihatan. “Kebetulan gue gak biasa heboh.”
“Ya jelas!” Liora mendengus sambil mengangkat tangannya frustrasi. “Lo bahkan ditabrak cewek pake make up, tapi respon lo kayak di-klik mute.”
Marvin menatapnya sebentar, dan entah kenapa, ada senyum kecil yang sekilas muncul di ujung bibirnya — sekilas banget, tapi cukup buat bikin jantung Liora salto.
“Gue masih hidup, kan? Jadi gak perlu drama,” ujarnya tenang sambil berjalan menuju wastafel.
Liora cuma bisa berdiri di tempat, bengong total, sambil ngeliatin punggung Marvin yang menjauh dengan aura dingin tapi ganteng banget.
“Ya Tuhan…” Bisiknya pelan, “gue baru aja nabrak manusia versi premium freezer.”
**
tbc