Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Pertemuan yang Tidak Direncanakan
Tokyo menyambut Lucas dan Danu dengan udara dingin yang bersih.
Mereka berdiri di depan pusat perbelanjaan besar yang ramai, belum langsung menuju perusahaan. Lucas mengusulkan untuk membeli buah tangan terlebih dulu—alasan sederhana, meski di balik itu ada kegelisahan yang belum ia pahami sepenuhnya.
Lucas mengenakan kaos biru lautan dengan luaran jaket jeans, dipadu celana jeans dan sepatu biru muda pucat. Danu di sampingnya tampil rapi dengan kemeja putih berlengan digulung sampai bicep, jam tangan di pergelangan, jeans hitam, dan sepatu hitam.
“Cepet aja,” ucap Danu. “Besok masih panjang.”
Lucas mengangguk.
Di dalam pusat perbelanjaan, mereka berpindah dari satu toko ke toko lain. Lucas sedang memilih kotak cokelat ketika pandangannya berhenti mendadak.
Di seberang lorong.
Athaya.
Ia mengenakan kaos turtleneck warna senada dengan biru Lucas, dimasukkan rapi ke celana jeans navy. Coat biru menjuntai tegas di bahunya, dipadu jeans dan sneakers. Kacamata berframe kotak abu menambah kesan dingin yang terlalu ia kenal.
Dan di sampingnya—Gio.
Gio memakai kaos agak tebal berwarna netral dengan luaran coat yang lebih tebal dari Athaya. Bawahannya legging agak lebar, sneakers sederhana. Langkahnya sedikit lebih pelan, satu tangannya menahan tas, satu lagi tanpa sadar menjaga bagian depan coat-nya.
Lucas terdiam.
Danu menoleh—dan dadanya langsung mengeras.
Perut Gio terlihat sedikit membulat.
Tidak mencolok, tapi cukup jelas bagi seseorang yang mengenalnya lama.
“Itu… Gio,” gumam Danu.
Lucas mengangguk pelan.
Athaya dan Gio masuk ke sebuah kafe di sudut lantai dua. Tanpa banyak kata, Lucas dan Danu mengikuti.
Kafe itu hangat, tidak terlalu ramai. Athaya dan Gio duduk berhadapan. Lucas dan Danu mengambil meja dekat mereka. Beberapa menit kemudian, Athaya menoleh, tatapan mereka bertemu.
Athaya bangkit. “Lucas. Danu.”
“Aya,” jawab Lucas.
Gio ikut berdiri, senyumnya canggung. “Hai.”
Danu mengangguk kaku. Matanya turun sepersekian detik ke perut Gio, lalu cepat naik lagi.
Mereka akhirnya duduk di satu meja.
“Kalian ke Tokyo buat proyek khusus,” kata Athaya datar.
“Iya. Butuh persetujuan lo,” jawab Lucas.
Athaya mengangguk. “Besok kita bahas resmi.”
Pelayan datang membawa menu. Gio hanya memegangnya tanpa membuka.
Athaya meliriknya sekilas, lalu berkata dengan nada yang lebih rendah, tapi tegas, “Pesan makan dulu.”
Gio menoleh. “Aku gak lapar.”
Athaya mendekat sedikit, suaranya tak bisa dibantah. “Kamu belum makan dari pagi. Pesan apa aja—kecuali pedes.”
Gio terdiam sesaat, lalu mengangguk kecil. Ia membuka menu dan menunjuk satu hidangan ringan. Athaya mengangguk pada pelayan.
Danu memperhatikan semuanya. Setiap detail. Setiap perhatian kecil yang terlalu spesifik.
“Keliatan capek,” ucap Danu akhirnya, pelan.
Gio menarik coat-nya sedikit. “Biasa.”
Lucas merasakan udara di meja itu menegang. Ada terlalu banyak hal yang tidak diucapkan.
Minuman datang. Athaya mendorong gelas air hangat ke arah Gio tanpa bicara. Gio meminumnya pelan.
“Kita ketemu gak sengaja,” kata Lucas mencoba menetralkan. “Kalau gak nyaman—”
“Gak apa,” potong Athaya singkat. “Sekalian.”
Makanan Gio datang. Ia makan perlahan, seperti menimbang setiap suapan. Danu menatapnya, rahangnya mengeras, firasat buruk makin menguat.
Empat orang duduk di satu meja.
Tokyo bergerak di luar sana, tapi di dalam kafe itu, waktu terasa berhenti—menunggu satu kebenaran yang belum siap diucapkan.
Dan Danu tahu, cepat atau lambat, ia akan menuntut jawaban.
-bersambung-