NovelToon NovelToon
Hanasta

Hanasta

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Romantis / Psikopat itu cintaku / Mafia
Popularitas:12
Nilai: 5
Nama Author: Elara21

Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.

sanggupkah ia lepas dari suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hanasta 26

Hujan memukul tanah seperti ribuan jarum kecil.

Gerbang belakang setengah terbuka oleh angin, dan Nathan berdiri di sisi truk sampah tua yang ia pakai sebagai penyamaran.

Ia melihat dua sosok keluar dari lorong servis—

James dan Hana.

Hana setengah berlari, setengah ditarik oleh James, mantel tipisnya menempel pada tubuhnya karena basah hujan.

Napasnya pendek, wajahnya pucat, tapi langkahnya tidak berhenti.

“James!!

Hana!!

Ke sini!!”

Nathan berbisik keras sambil melambaikan tangan.

Raina sampai menutup mulutnya, menahan tangis lega melihat Hana masih hidup.

Namun tepat saat James dan Hana mendekat…

—BRAP BRAP BRAP—

Langkah belasan penjaga terdengar dari dalam lorong servis.

“HANA!”

“TANGKAP MEREKA!”

“SISI BELAKANG!! CEPAT!!”

James menoleh dan tanpa ragu menarik Hana lebih keras.

“Hana—cepat!”

Hana hampir jatuh, tapi James menangkap pinggangnya dan memapahnya.

Nathan berlari dari balik truk, menyambar lengan James dan bahu Hana sekaligus.

“MASUK!! SEKARANG!!”

Nathan menarik keduanya ke arah mobil hitam yang ia parkir di balik kontainer rongsok.

James dan Hana hampir terseret masuk oleh dorongan Nathan.

Hana tersandung batu, lututnya terluka, tapi Nathan mengangkatnya seperti tidak terasa berat sama sekali.

“Raina! Belakang! Tutup pintunya!!”

Nathan berteriak.

Raina dengan tangan gemetar menarik gerbang belakang menutup setengah.

Meskipun lemah, ia mendorongnya sekuat tenaga.

BRUUUK!!

Gerbang tertutup cukup untuk menahan penjaga beberapa detik.

Namun dari lorong—

Soni keluar.

Payung hitam menaungi kepalanya.

Hujan jatuh di bahunya, namun ia seolah tidak merasakannya.

Matanya langsung melihat ke arah gerbang pelayan.

Tidak terburu-buru.

Tidak panik.

Justru halus…

dan mematikan.

“Kejar mereka.”

Suaranya tenang, namun tajam.

Nathan mendengar itu, mendorong James dan Hana masuk ke dalam mobil.

“Hana, masuk dulu. James, kau di belakang. Raina, samping kiri!”

Hana masuk ke kursi penumpang depan, wajahnya basah oleh hujan dan air mata.

James masuk lewat pintu belakang, masih berusaha memastikan Hana aman.

Nathan melompat ke kursi kemudi—

menutup pintu keras—

menyalakan mesin—

VRRROOOMMMM!!!

suara mesin menggema keras di bawah hujan.

Penjaga pertama menerobos gerbang pelayan yang setengah terbuka.

“TUAN! MEREKA DI MOBIL—!!”

Nathan menancap gas.

Mobil langsung melesat ke jalan sempit di belakang gudang.

Roda selip sedikit karena tanah becek, tapi Nathan menguasai kemudi dengan sempurna.

“Tahan, James!! Tahan, Hana!!”

Nathan berteriak sambil memutar setir ke kiri tajam.

Penjaga berlari mengejar—

tapi mobil sudah terlalu jauh.

Di belakang mereka—

Soni berdiri diam di pintu gerbang, hujan membasahi rambutnya.

Ia menatap punggung mobil yang menjauh, matanya gelap dan nyaris tanpa emosi.

Namun bibirnya bergerak.

“James…

Hana…”

Ia memicingkan mata.

“Kalian pikir ini selesai?”

DI DALAM MOBIL

Hana menggenggam dashboard mobil kuat-kuat, tangannya gemetar hebat.

Raina duduk di samping Hana, memegang bahu Hana sambil menangis lega.

“Han… Han… kamu selamat… kamu selamat…”

James memajukan tubuh, memegang kursi depan.

“Hana! Kau terluka? Apa kau baik-baik saja?”

Hana menggeleng, air mata jatuh tanpa ia sadari.

“Saya… saya baik…”

suara Hana bergetar.

“James… kita berhasil… kita…”

Namun suaranya pecah.

Ia menangis pelan—

tangis yang bukan lagi karena takut…

tapi karena untuk pertama kalinya, ia bebas.

James meraih tangan Hana dari kursi belakang.

Hana meremasnya seperti pegangan hidup, tidak mau melepas.

Nathan memacu mobil ke jalan raya kecil di luar kota.

“Kalian pegang erat.

Kita belum aman.

Soni pasti kejar pakai mobil.”

James mengangguk.

“Nathan… terima kasih. Kau selamatkan kami.”

Nathan tidak menatap ke belakang, matanya fokus ke jalan.

“Jangan berterima kasih dulu.”

ujarnya datar tapi tegas.

“Kita baru mulai.”

Hana memejamkan mata, napasnya berat tapi akhirnya… lega.

“Kita… kabur dari mansion itu…”

bisiknya pelan.

James menunduk, memeluk kepalanya sebentar—

rasa syok, hancur, dan lega bercampur jadi satu.

Hana menoleh ke James, suaranya pelan:

“James…

terima kasih…”

James memandangnya, matanya merah.

“Ini baru awal, Hana.

Aku tidak akan biarkan kau kembali ke sana.”

Hana menahan napas.

Air mata kembali jatuh.

Mobil melaju ke gelapnya jalan malam.

Dan untuk pertama kalinya—

tidak ada tembok, tidak ada kunci, tidak ada Soni.

Mereka bebas.

Untuk saat ini

Hujan akhirnya mereda ketika mobil Nathan meninggalkan jalan raya utama dan memasuki daerah pinggiran kota.

Pohon-pohon besar menaungi jalan sempit yang gelap.

Hanya suara mesin mobil dan suara napas di dalam kabin yang terdengar.

Hana duduk dengan tubuh merapat ke pintu, masih memegang tangan James yang menjulur dari kursi belakang.

Nafasnya stabil tapi matanya masih sembab.

Raina sesekali menoleh pada Hana, memastikan ia tidak pingsan.

James diam, tapi tatapannya mengamati setiap sisi jalan.

Adrenalin masih mengalir.

Ia belum bisa percaya mereka benar-benar keluar dari mansion.

Nathan memutar setir ke kanan memasuki gang kecil yang tertutup oleh semak-semak.

“Sudah dekat,” katanya pelan.

Mereka memasuki area yang nyaris seperti hutan kecil, namun ada satu bangunan tua di tengahnya.

Bangunan pendek, bercat abu-abu, lampu temaram di halaman.

Tidak terlihat mencolok.

Tidak ada tetangga dekat.

Tempat persembunyian sempurna—

dan sepertinya memang sengaja dibuat seperti itu.

Nathan memberhentikan mobil di depan garasi yang sudah berkarat.

“Turun cepat,” katanya sambil mematikan mesin.

James keluar dulu, lalu membantu Hana.

Hana hampir terpeleset karena tanah becek, tapi James memeluknya, menjaga keseimbangannya.

“Nggak apa?”

tanya James, suara pelan namun penuh kepedulian.

Hana mengangguk, meski lututnya gemetar.

Mereka semua mengikuti Nathan masuk ke dalam garasi.

Nathan membuka pintu samping yang terhubung ke ruangan dalam.

Saat pintu terbuka…

Hana membeku.

Tempat itu jauh dari kata nyaman:

• Dinding bata polos

• Sofa lama

• Lantai dingin dari keramik abu

• Rak penuh dokumen dan peta

• Sebuah papan besar dengan catatan, foto, dan benang merah

Raina menatap papan itu dengan ngeri.

“Na… Nathan… kamu menyelidiki… ini semua…?”

Nathan menutup pintu dengan cepat, mengunci tiga lapis.

“Ya,” jawab Nathan tanpa ragu.

“Sejak SMA.”

James menyipitkan mata.

“Sejak SMA…? Kau menyelidiki keluarga Soni?”

Nathan meletakkan tasnya di meja.

“Ayahku wartawan investigasi.

Dia meninggal beberapa tahun lalu… kecelakaan, kata orang.”

Nathan menghela napas.

“Tapi aku tidak percaya.

Belakangan aku temukan ada jejak bahwa dia sedang menyelidiki keluarga Arther sebelum mati.”

Hana memucat.

Soni…

membunuh…?

James mengepalkan tangan.

“Jadi kau pikir ayahku—”

“Aku tidak bilang itu.”

Nathan memotong, tegas tapi tidak kasar.

“Tapi ada seseorang yang sangat ingin tutup mulut ayahku.”

James menatap papan investigasi.

Di tengah papan…

ada foto besar Melena Arther.

Ibunya.

Di bawahnya, kertas keterangan tertulis:

“Kasus kematian tidak wajar — dugaan kecelakaan direkayasa.”

James tertegun.

“Hana…”

James meraih tangan Hana.

“Kau tau sesuatu tentang ini… bukan?”

Hana menutup mata, tubuhnya mengeras.

Raina memegang bahu Hana lembut.

“Hana… kalau kamu tidak siap cerita sekarang… tidak apa—”

“Tidak.”

Hana membuka matanya.

Suara kecil tapi kuat.

“Ibu James… meninggal di malam hujan…

Aku lihat semuanya…”

James membeku total.

Hana menghela napas dalam-dalam, tubuhnya gemetar tapi ia mencoba tegar.

“…dan itu bukan kecelakaan.

Bukan juga karena aku.

Ada orang lain di sana.”

Nathan berdiri tegak.

“Maksudmu… pria berinisial A?”

Hana terkejut.

Bagaimana Nathan tahu?

James mundur selangkah.

“Pria itu…”

James memegang kepala, napasnya pecah.

“Pria yang memberi bros pada ibu…”

Ia mengeluarkan bros yang ia temukan di lorong servis.

Hana memandang bros itu, wajahnya langsung berubah pucat.

“James… itu punya pria itu.”

Raina menutup mulut.

Nathan memandangi mereka semua dengan serius.

“Sekarang kalian mengerti,” katanya.

“Ini bukan sekadar kabur dari Soni.”

Ia menunjuk foto Melena.

“Kalian menginjak sesuatu yang lebih besar dari itu.”

Hana memegang ujung mantel, tubuhnya gemetar lagi.

“James… kalau orang itu… benar-benar ada…

itu berarti—”

James menatap Hana.

Matanya lembap, suaranya pecah nyaris tak terdengar:

“…aku mungkin… bukan anaknya.”

Suasana ruangan langsung senyap.

Raina memalingkan wajah sambil menekan dada.

Hana menutup mulut, menangis perlahan.

Nathan menunduk, memberi ruang bagi emosi James.

James menatap bros di tangannya.

“Semua sikap Soni… semua dinginnya…

kekerasannya…

kebenciannya…”

Ia mengepalkan tangan sampai tulang jarinya memutih.

“Mungkin karena aku…

bukan darahnya.”

Hana langsung memeluk James dari depan, menahan gemetarnya tubuh James yang berusaha kuat.

“Tidak peduli kau anak siapa…”

suara Hana getar namun pasti,

“…kau tetap James yang aku kenal.

James yang menyelamatkan aku.”

James mengubur wajahnya ke bahu Hana, bahunya bergetar—menahan emosi yang ia pendam sejak malam itu.

Nathan memecah keheningan.

“Kita semua pulang ke sini bukan untuk menangisi masa lalu.”

Ia menatap mereka dengan mata tajam.

“Kita berkumpul untuk mengungkap kebenarannya.

Dan untuk menghentikan Soni.”

Raina mengangguk cepat.

“Aku bantu.

Soni sudah kejam terlalu lama.”

Hana menatap James.

“Dan aku…”

James menyentuh pipi Hana, suara rendah.

“Kau sudah cukup tersiksa.

Mulai sekarang… aku yang lindungi kau.”

Nathan menepuk lengan James.

“Bagus. Karena mulai malam ini… kita perang.”

Lampu berkedip terkena angin.

Di luar, suara mobil penjaga Soni lewat perlahan.

Mereka semua menahan napas.

Nathan tersenyum kecil—

bukan lega,

tapi antisipasi.

“Selamat datang di tempat persembunyian.

Mulai detik ini… kalian tidak sendirian.”

23-11-2025

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!