Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Empat hari. Selama empat hari penuh, Satgasus “Operasi Penebusan” telah mencurahkan seluruh energi mereka pada satu nama: Antonius Malik. Sebuah van pengintai diparkir secara permanen di seberang apartemennya. Jejak digitalnya dipantau oleh Kompol Reza. Ruang komando dipenuhi oleh optimisme yang tegang. Mereka sedang mengawasi mangsa, menunggu saat yang tepat untuk menerkam.
Bagi Daniel Tirtayasa, hari-hari itu adalah ujian kesabaran. Setiap laporan yang masuk dari Ipda Adit di van pengintai terasa monoton.
"Pukul 07.12, target membeli sarapan di warteg. Kembali ke unit."
"Pukul 14.30, target membaca buku di balkon."
"Pukul 20.00, lampu kamar target padam."
Daniel tahu perburuan semacam ini membutuhkan waktu, tapi keheningan dari Sang Hakim terasa mengganggu. Rasanya terlalu mudah.
Pagi itu, suasana terasa sama. Daniel sedang meninjau laporan pergerakan Antonius yang nihil saat seorang petugas junior masuk ke ruang komando. Petugas itu membawa sebuah paket kotak berwarna cokelat.
“Paket untuk Anda, Ndan,” kata petugas itu. “Baru saja diantar kurir. Tidak ada nama pengirim.”
Paket itu berukuran sedang, dibungkus kertas cokelat biasa. Di atasnya, sebuah label cetakan komputer:
UNTUK AKP DANIEL TIRTA YASA
PEMIMPIN, SATGASUS "OPERASI PENEBUSAN"
PRIBADI
Jantung Daniel seolah berhenti sejenak. Satgasus Penebusan. Nama sandi itu seharusnya hanya diketahui oleh enam anggota timnya, Brigjen Hartono, dan mungkin beberapa staf administrasi di lantai pimpinan. Ini bukan paket biasa.
“Reza,” panggil Daniel, suaranya tenang namun tegas. “Kemari.”
Kompol Reza mendekat, matanya yang lelah menatap paket itu dengan curiga.
“Aku tidak mau benda ini dibuka di sini,” kata Daniel. “Bawa ke lab-mu. Pindai semuanya. Bahan peledak, agen biologis, apa pun. Jika bersih, periksa isinya di sandbox environment.”
Setengah jam kemudian setengah jam terpanjang dalam hidup Daniel Reza kembali. Wajahnya pucat.
“Bersih, Ndan. Tidak ada ancaman fisik. Di dalamnya… hanya ada satu benda.”
Ia menyerahkan sebuah kantong barang bukti transparan. Di dalamnya, tergeletak sebuah flash drive USB berwarna hitam polos.
Daniel mengambil kantong itu. Benda itu terasa dingin. Sebuah pesan dari Sang Hakim. “Ada apa di dalamnya?”
“Satu file video. Format .mp4,” jawab Reza, suaranya tegang. “Tidak ada metadata, tidak ada jejak perangkat. Seolah-olah file ini muncul begitu saja dari ketiadaan. Saya sudah pindai, tidak ada malware.”
Daniel menatap benda kecil itu. Jantungnya berdebar dengan ritme yang berat dan lambat. “Putar videonya. Di layar utama.”
Reza menyambungkan flash drive itu ke laptop yang terisolasi dan menampilkannya di monitor besar. Seluruh tim Adit, Hasan, dan dua detektif lainnya berhenti bekerja. Perhatian mereka tersedot ke layar yang kosong.
Reza menekan tombol putar.
Video dimulai. Kualitas gambarnya sangat jernih, 4K. Suara ambient alami terdengar jelas.
Dan perut Daniel terasa seperti dilubangi.
Layar itu menampilkan halaman depan rumahnya. Rumah kecilnya yang sederhana di pinggiran kota. Ia bisa melihat pot-pot anggrek yang dirawat oleh istrinya, Sarah.
Kemudian, dari pintu depan, Sarah muncul. Ia mengenakan daster yang biasa ia pakai di rumah, membawa selang air. Ia tersenyum, menyenandungkan lagu yang tidak terdengar jelas sambil menyirami tanaman.
Kamera, yang sepertinya diambil dari seberang jalan, perlahan-lahan melakukan zoom. Membingkai wajah Sarah yang sama sekali tidak sadar bahwa ia sedang diawasi.
Ipda Adit terkesiap pelan di belakang Daniel. Ruangan itu menjadi sunyi senyap, hanya terdengar suara siraman air dari video.
Video kemudian terpotong. Pemandangan baru.
Kali ini dari sudut yang berbeda, sedikit lebih tinggi, seolah dari jendela rumah tetangga atau menggunakan lensa telephoto yang kuat. Pemandangan itu adalah halaman belakang rumah Daniel. Di sana, di atas ayunan tua, putrinya, Nadia, sedang bermain.
Nadia tertawa lepas, kakinya menendang-nendang ke udara, rambutnya yang dikuncir kuda bergoyang-goyang. Tawa riangnya yang polos memenuhi audio rekaman itu.
Bagi Daniel, itu adalah suara paling indah di dunia. Kini, suara itu terdengar seperti lonceng kematian.
“Bajingan,” Iptu Hasan menggeram pelan.
Kamera kembali melakukan zoom, menangkap detail wajah Nadia yang berbinar-binar.
Daniel merasakan darah terkuras dari wajahnya. Napasnya tercekat. Ini bukan lagi investigasi. Ini adalah sebuah pelanggaran yang paling brutal.
Lalu, potongan terakhir. Potongan yang menghancurkan sisa ketenangan Daniel.
Sebuah stempel waktu muncul di sudut layar: 06:30 – HARI INI.
Pemandangan itu kini dari dalam sebuah mobil yang diparkir di ujung jalan. Video itu menunjukkan Daniel sendiri, keluar dari rumahnya dengan seragam lengkap, masuk ke dalam Fortuner-nya, dan pergi bekerja. Mobilnya baru saja menghilang di tikungan saat kamera itu, alih-alih berhenti, justru bergerak.
Kamera itu bergeser perlahan, melewati pagar, melewati taman, dan berhenti.
Melakukan zoom yang sangat lambat dan disengaja ke satu titik.
Jendela kamar tidur Nadia di lantai dua.
Layar menjadi hitam. Video berakhir.
Selama satu menit penuh, tidak ada seorang pun di ruang komando yang bergerak. Mereka semua membeku, terguncang oleh tingkat kebrutalan psikologis yang baru saja mereka saksikan.
Daniel berdiri mematung, tangannya mencengkeram sandaran kursi begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Kemarahan yang begitu murni, begitu panas, dan begitu pribadi menjalari dirinya, membakar semua rasa takut.
Ini bukan lagi permainan catur. Sang Hakim baru saja mengancam akan membakar seluruh papan caturnya.
Ia berbalik, matanya yang biasanya tenang kini berkilat seperti baja. Ia melihat wajah-wajah anak buahnya yang pucat.
“Reza,” perintahnya, suaranya rendah dan berbahaya. “Aku mau kau bongkar video itu atom per atom. Cari pantulan di kaca jendela, cari model mobil yang lewat, cari apa pun.”
“Siap, Ndan,” jawab Reza, langsung kembali bekerja.
Daniel mengeluarkan ponsel pribadinya. Jari-jempolnya melayang di atas nomor Sarah. Ia ingin menelepon. Berteriak. Kunci pintunya! Masuk ke kamar! Jangan keluar!
Tapi ia berhenti. Apa yang akan ia katakan? “Sayang, seorang psikopat baru saja mengirimiku video pengintaian keluarga kita?” Itu hanya akan menimbulkan kepanikan. Itu adalah apa yang diinginkan oleh Sang Hakim.
Ia menelan ludahnya yang terasa pahit. Sebagai gantinya, ia menelepon nomor lain nomor kepala unit pengamanan internal.
“Saya Daniel Tirtayasa,” katanya tanpa basa-basi. “Saya butuh satu tim pengawas tak terlihat di kediaman saya. Sekarang juga. Protokol ancaman langsung terhadap keluarga perwira. Rahasiakan sepenuhnya. Laksanakan.”
Ia menutup telepon sebelum sempat ada pertanyaan.
Ia kemudian menatap papan tulis, pada foto Antonius Malik yang sedang mereka awasi dengan begitu ketat. Sebuah tawa kering dan tanpa humor lolos dari bibirnya.
Umpan.
Antonius Malik adalah umpan yang salah arah. Sebuah pengalih perhatian yang dirancang dengan brilian. Ia teringat perdebatan sengit antara Dr. Maya dan Dr. Samuel. Keraguan logis Maya. Dan argumen Samuel yang lebih logis, yang mendorong mereka ke arah Malik.
Dia tidak hanya bermain catur, pikir Daniel. Dia merancang papan caturnya. Dan dia menggunakan logikaku sendiri untuk melawanku.
Sementara seluruh kekuatan Satgasus terfokus pada seekor ikan teri di Jakarta Timur, sang hiu sesungguhnya sedang berenang bebas di halaman depan rumahnya sendiri.
Panggilan telepon itu bukan hanya ejekan. Video ini bukan hanya ancaman. Keduanya adalah bagian dari sebuah pelajaran yang diberikan oleh Sang Hakim kepada sang Gembala.
Pesan itu sederhana: Aku bisa berada di mana saja. Aku bisa melihat apa saja. Saat kau sibuk memburuku, aku sudah berada di belakangmu, mengawasi domba-domba yang paling kau cintai.
Pertaruhan dalam permainan ini baru saja berubah. Ini bukan lagi soal keadilan untuk Lukas atau Riana Wulandari. Ini bukan lagi soal menghentikan korban berikutnya dari daftar 50 nama.
Kini, korban potensial berikutnya yang paling mungkin adalah istri dan anaknya sendiri. Dan Daniel tahu, Sang Hakim ingin ia tahu bahwa ia mengetahuinya.