Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26 : Dimana Mereka Sekarang
Marius bergegas menuju ruangan begitu kabar itu sampai di telinganya. Nafasnya terengah, matanya langsung mencari sosok Celestine yang duduk lemas di kursi, bersandar dengan wajah pucat. Tanpa ragu, Marius segera duduk di sampingnya dan menariknya ke dalam pelukan.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya cemas, suaranya bergetar meski ditahan tegas.
Celestine menggeleng perlahan. Air matanya jatuh tanpa mampu ia bendung. “Aku hanya ingin menemui Yvaine… tapi yang kutemukan hanya mahkota mereka. Yvaine, Lyanna, dan Veyra… tidak ada di manapun.”
Alis Marius mengerut dalam, matanya berkilat tajam. Ia menoleh kepada penasihat istana yang baru saja masuk. Suaranya meledak, tegas penuh tekanan.
“Sudahkah kalian menemukan mereka?”
Penasihat itu menunduk dalam-dalam. “Kami sudah mencarinya, Yang Mulia. Halaman belakang, taman, perpustakaan tempat mereka sering menghabiskan waktu… semuanya kosong. Tidak ada jejak.”
Celestine menoleh pada Marius, suaranya lirih namun penuh rasa putus asa. “Bagaimana sekarang? Dimana putri-putri kita?”
Marius mengelus lembut kepala istrinya, mencoba menenangkan meski hatinya sendiri berguncang. Sekejap kemudian, ia berdiri dengan sorot mata membara.
“Cari mereka! Seluruh sudut istana, setiap lorong, setiap gerbang. Pastikan tidak ada satu tempat pun yang terlewat. Aku ingin mereka ditemukan, apa pun caranya!”
Penasihat itu segera membungkuk dan meninggalkan ruangan dengan tergesa.
Celestine masih terisak dalam pelukan Marius. Dadanya sesak, kepalanya penuh pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Dengan suara nyaris berbisik, ia bertanya seolah pada dunia yang membisu:
“Dimana mereka sekarang…?”
…
Sementara itu, jauh dari hiruk-pikuk istana, lima pasang sosok berjubah hitam melangkah menyusuri jalan setapak yang dikelilingi hutan lebat di kedua sisinya. Rembulan bersembunyi di balik awan, membuat bayangan pepohonan seolah bergerak mengikuti mereka.
Yvaine berjalan paling depan. Matanya waspada, menyapu sekeliling, memastikan tidak ada ancaman yang akan menghadang perjalanan mereka malam itu. Langkahnya mantap, namun sorot matanya menunjukkan kehati-hatian.
Tiba-tiba Lyanna berhenti. Alisnya berkerut, tubuhnya menegang. Instingnya yang jarang keliru membuatnya menoleh tajam ke arah barat hutan.
Namun ternyata bukan hanya dia yang menyadarinya. Arion, yang berjalan tak jauh di belakangnya, juga menghentikan langkah. Suaranya lirih, hampir seperti bisikan angin.
“Di sana… ada sesuatu.”
Yvaine segera menoleh. “Ada apa?” tanyanya, nada suaranya penuh kewaspadaan.
Lyanna menyipitkan mata, memperhatikan kegelapan di antara pepohonan. “Ada yang berlari di dalam hutan. Bukan hewan… seseorang. Dan-” ia berhenti sejenak, napasnya terputus, “mereka sedang dikejar.”
Lysander melangkah maju, matanya ikut menelusuri arah pandangan Lyanna. “Kalian yakin?”
Veyra terdiam sesaat, tatapannya berganti antara Lyanna dan kegelapan hutan. Begitu Lyanna mengangguk tegas, mata Veyra berkilat. Tanpa ragu ia melesat, berlari menembus kegelapan pepohonan.
“Veyra!” seru Yvaine, namun adiknya tidak menoleh sedikit pun.
Lyanna menggertakkan gigi, lalu ikut berlari menyusulnya.
Arion langsung berteriak, suaranya tegas namun cemas. “Jangan masuk ke dalam! Itu berbahaya!” Ia segera mengejar keduanya, tidak ingin kehilangan jejak.
Namun seruan itu sia-sia. Veyra dan Lyanna sudah hilang ditelan bayangan pepohonan.
Yvaine dan Lysander saling berpandangan singkat, lalu tanpa berpikir panjang ikut menyusul. Kini, kelima sosok itu bergerak cepat ke dalam hutan bagian barat.
Suara ranting patah dan daun bergesekan terdengar semakin jelas. Veyra, yang berada paling depan, menyipitkan matanya. Dari balik gelap, ia akhirnya melihat dengan jelas.
Seorang wanita dewasa berlari terengah, wajahnya pucat penuh ketakutan. Di pelukannya, seorang anak kecil menangis keras, tubuh mungilnya gemetar ketakutan. Di belakang mereka, sekawanan serigala hitam menggeram ganas, taring mereka berkilat diterpa cahaya bulan yang menembus celah pepohonan.