Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Aku tak ingin berlama-lama di pesta ini. Rasanya malas saja. Setelah kami mencicipi beberapa hidangan, dan Keenan selesai berfoto bersama Bang Rendra dan Dela, aku langsung melirik Mas Arsya, memberi isyarat kalau aku ingin pulang.
“Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanya Mas Arsya pelan.
“Iya, Mas. Bukan karena aku cemburu atau apa, cuma rasanya aku nggak betah di sini. Lagian aku memang tipe yang nggak suka kondangan.”
“Ya sudah kalau begitu, kita pulang sekarang,” ujarnya tanpa ragu.
Kami menyapa beberapa tetangga yang aku kenal sebelum akhirnya mendekati pelaminan. Aku tetap berusaha tersenyum ramah pada kedua manten itu. Meski hatiku masih terasa aneh, aku tetap mengulurkan tangan dan memberikan selamat.
“Selamat ya, Dela,” ucapku pendek saja.
Dela tidak membalas. Dia hanya membuang muka, tanganku tetap menggantung di udara. Aku segera menarik tanganku kembali. Bodo amat lah sudah nuansa pesta begini masa masih mau drama?
Aku beralih ke Bang Rendra.
“Selamat atas pernikahanmu,” ucapku setenang mungkin.
“Hm,” gumamnya. Tapi matanya malah melirik Mas Arsya, penuh sesuatu yang sulit dijelaskan. Mas Arsya hanya merangkul Keenan lebih erat, seolah menjaga aku tanpa suara.
Kami pun berjalan menjauh dari pelaminan. Baru beberapa langkah, tiba-tiba seseorang menarik lenganku dari belakang. Cengkeramannya kuat dan kasar.
Semua mata di pesta itu sontak tertuju pada kami.
“Lepaskan aku!” desisku kaget dan marah. Tapi pegangan Bang Rendra justru menguat.
Mas Arsya cepat-cepat maju, wajahnya serius. Ia menepis tangan Rendra dari lenganku.
“Tidak pantas kamu memegang wanita lain di pesta pernikahanmu sendiri,” ucap Mas Arsya dengan nada datar tapi tegas. Suara yang cukup membuat beberapa orang terdiam.
“Dia bukan orang lain! Dia Aini!” seru Bang Rendra keras.
Aku hampir tak percaya melihatnya.
“Aini, ayo kita rujuk!” ucapnya memohon, matanya memerah.
“Abang nggak sanggup hidup tanpa kamu. Abang sadar, kalau Abang mencintai kamu.”
“Bang, kamu gila!” jawabku sambil mencoba berjalan pergi.
Tapi dia malah terkekeh ,tawanya yang aneh, tidak seperti dirinya yang dulu.
“Kenapa kamu bisa seperti ini, Aini? Bukankah kamu yang selama ini mengejar-ngejar Abang? Hanya karena lelaki kaya ini kamu secepat itu berpaling?”
Beberapa tamu mulai saling pandang. Atmosfer pesta berubah mendadak.
“Kamu masih masa iddah, Aini!” suara Bang Rendra meninggi.
“Nggak pantas kamu pergi sama laki-laki lain. Perempuan macam apa kamu ini?!”
Nadanya menusuk hatiku dan seperti hinaan.
Aku spontan menatapnya tajam. “Bisa diam, Rendra Nugraha?”
“Aku nggak bisa diam!” Ia menunjukku sambil berkata pada kerumunan.
“Biar semua orang tahu wanita macam apa Aini ini! Masih masa iddah tapi sudah menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Bagaimana kalau seandainya kamu mengandung anakku? Kita masih tidur bersama sebelum kamu pergi!”
Beberapa orang langsung terkejut. Ada yang menutup mulut, ada yang berbisik-bisik.
“Diam kamu! Kamu sudah gila!” bentakku, mulai merasa sesak karena ditonton puluhan pasang mata.
Tapi Rendra terus saja. Semakin lama semakin tidak masuk akal.
“Diam kamu!" ucapku tegas.
" Jangan bicara pantas dan tidak pantas padaku! Ingat apa yang sudah kamu lakukan padaku ha? Apa pantas kamu tidur dengan mantan pacar kamu,sedangkan kamu masih suamiku? Lalu apakah pantas kamu membawa dia ke kamar yang sering kita tidur bersama?"
Aku sudah merasakan napasku tercekat. Tanganku gemetar. Tapi aku tidak tinggal diam.
“Berhenti memutarbalikkan fakta, Rendra!” suaraku bergetar tapi tegas.
“Aku ke sini karena kamu yang undang! Dan aku bawa anak kamu karena kamu yang minta! Hargai Dela! Jangan buat dia merasakan apa yang aku rasakan waktu kamu khianatin aku!”
Rendra terdiam sejenak. Orang-orang makin ramai berbisik, beberapa mulai menggelengkan kepala.
Tapi ia kembali membuka mulut.
“Jangan sok bahagia kamu, Aini! Lelaki kaya ini juga nanti bakal ninggalin kamu!”
Aku menghela napas letih. Mas Arsya terlihat ingin membawaku pergi, tapi Rendra menoleh padanya dan berkata dengan suara lantang.
“Hey! Kamu yakin mau sama wanita ini? Aku yang paling tahu dirinya. Apa yang mau kamu banggakan dari dia? Lihat fisiknya, kurus kering. Depan belakang rata!” Ia tertawa mengejek.
“Dan kamu harus tahu, bagian itunya.. nggak akan bikin kamu selera. Karena aku sudah lihat, aku sudah cicipi semuanya!”
Dunia seakan berhenti.
Mata dan telingaku panas. Dari tadi dia menghina aku, aku masih berusaha kuat. Tapi sekarang, dia menyeret sesuatu yang paling intim, paling pribadi, di hadapan Mas Arsya dan orang banyak.
Air mataku jatuh tanpa bisa ditahan.
Bukan karena aku masih peduli padanya, tapi karena rasa malu yang begitu menampar. Karena sesuatu yang seharusnya ditutup rapat justru dia bongkar hanya untuk menjatuhkan aku.
Mas Arsya berdiri kaku, wajahnya tegang menahan emosi. Beberapa tamu menutup muka, tak percaya seorang pengantin bisa berkata sekejam itu di hari pernikahannya sendiri terhadap mantan istrinya.
Dan aku hanya bisa berdiri dengan dada sesak, menahan rasa malu, marah, dan luka yang sudah terlalu lama kupendam.
“Ayo Aini, kita pergi dari sini!”
Suara Mas Arsya tiba-tiba terdengar di sampingku. Tangan hangatnya langsung menggenggam tanganku, sementara tangan satunya tetap menggendong Keenan erat-erat, seolah melindungi kami berdua dari seluruh kekacauan ini.
“Jangan dengarkan laki-laki seperti dia bicara lagi,” tambahnya lirih tapi tegas. Nada suaranya membuat dadaku yang sesak sedikit mereda.
Lalu Mas Arsya menatap Rendra , tatapan tajam yang tidak perlu teriak pun sudah cukup menusuk.
“Dan kamu, siapa nama kamu? Rendra, bukan?” Suaranya tetap tenang, tapi dingin.
“Kalau selama ini kamu memang memperlakukan istrimu seperti itu, tidak menghargainya sama sekali, aku cuma menyesal satu hal.”
Ia menarik tanganku lebih dekat.
“Seharusnya aku lebih cepat datang. Supaya Aini nggak perlu menderita hidup bersama laki-laki macam kamu.”
Beberapa tamu menunduk, beberapa menatap Rendra dengan ekspresi jijik. Dela berdiri kaku di pelaminan, wajahnya pucat.
Mas Arsya tidak menunggu balasan. Ia langsung menarikku menjauh, langkahnya tegas dan juga penuh amarah. Aku hanya menunduk, merasa semua tatapan menusuk punggungku, tapi genggaman tangannya membuatku merasa aman.
Sesampainya di area parkir, Mas Arsya buru-buru membuka pintu mobil. Aku masuk sambil memeluk Keenan erat-erat, seolah takut dunia akan runtuh kalau aku melepaskannya. Mas Arsya duduk di kursi kemudi, tapi ia tak langsung menyalakan mobil.
“Maaf..” bisikku lirih.
“Aku sudah bikin Mas Arsya ikut terbawa-bawa masalahku.”
Mas Arsya menoleh. Tatapannya lembut, jauh berbeda dengan tatapan tajamnya barusan. Ia menghela napas pelan sebelum menjawab.
“Aini,” ujarnya pelan tapi tegas.
“Kamu nggak perlu minta maaf. Kamu nggak salah. Yang salah itu dia.”
Keenan mulai tertidur di pelukanku. Mas Arsya perlahan mengambilnya dari tanganku dan meletakkannya dengan hati-hati di car seat belakang, memastikan anak kecil itu tak terganggu.
Baru setelah itu ia kembali menghadapku.
“Aini..menangislah.” Suaranya merendah, seolah mempersilakan.
“Kamu nggak perlu tahan semuanya sendirian.”
Kata-kata itu seperti membuka bendungan yang sejak tadi kutahan mati-matian. Tiba-tiba aku terisak snaagt keras, pecah, tak tertahan. Segala sakit, malu, dan luka yang dipaksa kutelan sejak tadi akhirnya tumpah tanpa bisa kubendung lagi.
Mas Arsya tidak berkata apa-apa. Ia hanya memegang tanganku, ibu jarinya mengusap punggung tanganku pelan. Gerakannya menenangkan, membuatku merasa tidak sendirian.
Air mataku jatuh tanpa jeda.
Dadaku naik turun.
Napas kuputus-putus.
Semua kata hinaan Rendra yang menusuk tadi seolah kembali berputar di kepalaku seperti rekaman rusak.
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, tapi suaraku tetap pecah keluar.