NovelToon NovelToon
ANTARA CINTA DAN DENDAM

ANTARA CINTA DAN DENDAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Keheningan yang menyelimuti rumah dokter terasa bagai selimut tebal, menawarkan perlindungan sementara dari kegilaan yang baru saja mereka lalui.

Setelah ambulans darurat kembali ke klinik, Sania dengan hati-hati membantu Bima masuk ke sebuah kamar tidur tamu yang sederhana.

“Pelan-pelan, Bim. Sandarkan kepalamu di sini,” bisik Sania, menopang punggung Bima dengan bantal tambahan.

Bima hanya bisa mengangguk lemah, wajahnya masih pucat, namun ketegangan di matanya mulai mengendur karena rasa aman yang mulai merasuk.

Dokter telah membersihkan luka tembak di kaki Bima, menjahit sayatan operasi kecil untuk mengeluarkan peluru, dan membalutnya dengan perban tebal.

Sania berlutut di samping ranjang, meraih botol obat pereda nyeri yang diberikan dokter.

“Kamu harus minum ini,” katanya, menyodorkan pil dan segelas air.

Bima menelan obat itu, lalu menatap Sania, matanya penuh penyesalan.

“Seharusnya kamu tidak ada di sini, San. Seharusnya aku tidak pernah melibatkanmu dalam semua ini.”

Sania menyentuh pipi Bima yang dingin. “Jangan bicara seperti itu. Kita sudah menikah, Bim. Baik suka maupun duka, apalagi hidup dan mati. Aku memilih untuk ada di sini.”

Air matanya kembali menggenang, tapi ia berusaha keras menahannya.

“Tadi, ketika aku mendengar suara dobrakan itu, aku berpikir, kita tamat.” ucap Sania.

Bima menggenggam tangan Sania erat, kekuatan yang ia miliki seolah tersalurkan hanya untuk menenangkan istrinya.

“Tidak akan. Tidak akan pernah. Kita akan keluar dari ini. Demi kamu, demi anak kita.”

Sania menghela napas panjang, mencoba mengusir bayangan wajah dingin Salvatore dari pikirannya.

Ia bangkit, mengambil waslap hangat dari baskom yang disediakan, dan mulai membersihkan keringat dingin di dahi dan pelipis Bima.

Sentuhannya lembut, penuh kehati-hatian, sebuah rutinitas sederhana yang membawa kenyamanan.

“Istirahat, ya. Kamu butuh tidur,” ucap Sania.

Ia menyelimuti Bima hingga dada, lalu duduk di kursi kayu di samping ranjang, matanya tak lepas menatap wajah suaminya.

“Kamu juga, Sayang,” gumam Bima, matanya mulai terasa berat karena obat bius dan kelelahan. “Kamu harus jaga diri dan bayi kita.”

“Aku akan tidur setelah kamu,” jawab Sania.

Ia memastikan lampu kamar sudah diredupkan, hanya menyisakan cahaya remang-remang dari lampu tidur kecil.

Di balik kegelapan itu, Sania mendengarkan dengan saksama, memastikan tidak ada suara asing dari luar.

Klinik dan rumah dokter ini terasa seperti pulau di tengah lautan badai.

Untuk malam ini, mereka aman. Namun, Sania tahu, keamanan ini hanya sementara. Di balik pintu, dunia masih milik Salvatore.

Ia kembali mengusap tangan Bima yang sudah terlelap, merasakan denyut nadinya.

Melihat Bima bernapas dengan tenang adalah satu-satunya jaminan yang ia butuhkan saat ini.

Sania meletakkan tangannya di perutnya yang mulai membesar, berbisik lirih kepada janinnya,

“Kita akan baik-baik saja, Nak. Mama akan pastikan Papa sembuh. Kita pasti bisa.”

Malam itu, Sania tidak tidur. Ia duduk menjaga, seperti benteng terakhir yang melindungi suami dan anaknya dari ancaman dunia luar yang gelap.

Sania memejamkan mata, membiarkan kelelahan dan ketakutan merasuk hingga ke tulang. Namun, bukannya ketenangan, yang datang justru bayangan yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam.

Wajah dingin Salvatore tiba-tiba muncul di benaknya, bukan hanya sebagai pengejar, tapi sebagai monster dari masa lalunya. Ingatan itu datang laksana kilat di tengah badai.

Sania merasakan rasa mual yang menusuk dan tangannya yang memegang tangan Bima terasa semakin dingin.

Ia menggigit bibir bawahnya, menahan erangan yang nyaris lolos.

Bau amis darah di celana Bima bercampur dengan aroma obat-obatan, tapi yang terkuat adalah bau trauma yang tiba-tiba menguar dari ingatannya sendiri.

"Aku tidak bisa memberitahunya. Tidak sekarang."

Bagaimana mungkin ia menghancurkan Bima yang kini terbaring lemah, baru saja selamat dari maut, dengan kenyataan pahit itu?

Bima sudah menanggung terlalu banyak beban. Luka fisik di kakinya hanyalah sebagian kecil.

Luka karena pengkhianatan di masa lalu, ketegangan bisnis yang mematikan, dan kini, harus menanggung ketakutan Sania.

Sania menoleh pada suaminya, wajahnya damai dalam tidur yang dipaksakan.

Rasa cinta yang begitu besar bercampur dengan rasa bersalah yang menusuk. Ia adalah istri yang menyembunyikan masa lalu paling kotor, paling menyakitkan, dan paling relevan dengan bahaya yang kini mengintai mereka.

Tangannya yang bebas perlahan bergerak, merogoh saku jaketnya. Jari-jarinya menemukan benda kecil, dingin, dan keras itu. Flashdisk.

Ia menggenggamnya erat, seolah benda sekecil itu adalah sumber segala kekuatan dan malapetaka. I

ni adalah alasan Salvatore mengejar mereka bukan hanya karena Bima, tapi karena apa yang ada di dalamnya.

Dokumen-dokumen rahasia yang bisa menghancurkan kerajaan gelap Salvatore.

Dan benda ini qdalah sesuatu yang ia dapatkan tepat setelah insiden itu.

Air mata Sania menetes, jatuh tanpa suara di atas tangan Bima yang ia genggam.

Ia tidak tahu apakah flashdisk itu adalah harga yang ia bayar untuk kebebasannya, atau senjata yang harus ia gunakan untuk membalas dendam.

Yang jelas, ini adalah kunci untuk mengakhiri mimpi buruk mereka, atau mengubur mereka hidup-hidup.

Ia harus melindungi flashdisk ini. Dan ia harus melindungi Bima, bukan hanya dari peluru, tapi dari kebenaran yang bisa meremukkan semangatnya lebih dari luka tembak mana pun.

Sania menyeka air mata, mengencangkan genggamannya pada flashdisk itu, menyembunyikannya kembali di saku.

"Tidurlah yang nyenyak, Bim," bisiknya pelan, berjanji pada dirinya sendiri bahwa malam ini adalah batas akhir.

Di villa mewah kediaman Salvatore, kemarahan menyala seperti api neraka.

Salvatore baru saja kembali dari pengejaran yang gagal,

dengan mobil hitamnya terparkir sembarangan di halaman.

Ia melangkah masuk ke ruang kerjanya yang luas, marmer lantai memantulkan langkah kakinya yang berat.

Bukannya pelayan yang menyambut, justru keheningan pekat yang memicu ledakan.

Ia meraih vas keramik China yang berdiri di sudut ruangan, vas mahal yang bernilai puluhan ribu dolar, dan membantingnya ke dinding.

PRANGG!!!

Suara pecahan itu memekakkan telinga, serpihan vas terbang ke mana-mana, mencerminkan betapa hancurnya kontrol diri Salvatore saat ini.

"Dasar bodoh!" raungnya, suaranya parau. Ia menendang meja kopi hingga bergeser dan menjatuhkan tumpukan dokumen.

Kegagalan itu adalah tamparan keras di wajahnya. Hanya tinggal selangkah lagi, mereka ada di depan matanya, namun licin lolos seperti belut. Dia tahu itu bukan hanya soal Bima. Ini soal Sania.

Ia mencengkeram kerah bajunya sendiri, rahangnya mengeras.

Matanya yang gelap memancarkan kemarahan, obsesi, dan pengkhianatan.

"Dia berani melawanku., bahkan ia berani melindunginya..."

Salvatore berjalan menuju minibar, menuangkan wiski ke gelas tanpa es, dan meneguknya sekali teguk.

Sensasi panas di tenggorokan tidak meredakan sedikit pun api di dadanya.

Ia mengingat kilasan mata Sania ketika terakhir kali mereka bertemu—ketika wanita itu pergi darinya, membawa serta benda terkutuk itu.

Tiba-tiba, ia melemparkan gelas wiski itu ke dinding, cairan cokelat pekat itu menetes lambat.

"SANIA!!"

Teriakannya menggema, memenuhi setiap sudut villa. Nama itu diucapkan dengan perpaduan antara kebencian, hasrat, dan janji pembalasan yang mengerikan.

"Kamu pikir kamu bisa lari? Kamu pikir kau bisa menyembunyikan mainan kecil itu dariku?"

Ia menyeringai, senyum yang sama sekali tidak mengandung tawa.

"Kamu milikku. Dan apa pun yang kamu miliki, itu juga milikku. Aku akan menemukanmu. Aku akan mendapatkan kembali apa yang kau curi, dan kali ini, tidak ada satu pun yang bisa menyelamatkanmu atau Bima."

Salvatore mengambil ponselnya, menekan beberapa nomor dengan jari gemetar.

"Aku mau semua jalan keluar kota ditutup. Cari semua ambulans dan klinik kecil di radius lima puluh kilometer. Aku mau laporannya dalam lima menit!" perintahnya dengan suara rendah, dingin, dan mematikan.

Perburuan baru saja dimulai. Dan kali ini, Salvatore tidak akan membuat kesalahan yang sama.

1
kalea rizuky
buat pergi jauh lahh sejauh jauhnya
kalea rizuky
biadap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!