Sinopsis
Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.
Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.
Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.
Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 26
Lantai laboratorium Yura berdengung seperti sarang lebah yang bekerja dengan presisi tinggi. Lampu LED putih menyorot jelas ke setiap stasiun kerja. Operasi pemulihan lima ratus unit telah mencapai puncaknya.
Rio bergerak dari satu tim ke tim lain, bukan lagi sebagai pengawas, melainkan sebagai konduktor orkestra. Ia telah memecah proses restorasi menjadi tiga belas modul independen yang sangat spesifik. Setiap tim hanya fokus pada tugas kecil, mulai dari pemeriksaan kosmetik awal, pergantian baterai, hingga instalasi layar yang membutuhkan suku cadang A-Grade.
Suku cadang tersembunyi yang diamankan Tuan Banu dari Pak Sastro berperan sebagai darah yang menjaga sistem tetap hidup. Karena jumlahnya terbatas, Rio memastikan alokasinya hanya untuk unit-unit yang sangat vital, sementara unit lain yang hanya memerlukan perbaikan kosmetik disalurkan ke jalur yang berbeda.
"Tim baterai, empat puluh unit selesai. Pindahkan ke Tim Finalisasi," perintah Rio melalui headset, suaranya tenang tanpa nada panik. {Sistem ini berjalan di batas maksimalnya. Tinggal mempertahankan kecepatan rotasi modal ini sampai unit terakhir.}
Di kantor CEO-nya, Bima hanya menatap dashboard digital yang menampilkan angka laju restorasi secara real-time. Angka itu terus menanjak, melampaui target yang ia tetapkan. Target empat hari hampir pasti tercapai.
Baginya, lima ratus unit ini bukan hanya pekerjaan, melainkan pernyataan perang. Bukan perang fisik, melainkan perang sistem.
Tepat pada hari ketiga dan jam ke-20, alarm otomatis berbunyi pelan, menandakan unit ke-500 telah melewati tahap kontrol kualitas akhir dan siap dikirim. Mereka berhasil menyelesaikan tantangan gila tersebut, delapan jam lebih cepat dari target.
Bima menarik napas panjang. Rio masuk ke ruangan, tampak lelah namun matanya bersinar.
"Lima ratus unit selesai, Bos," lapor Rio, sejenak melupakan semua kelelahan fisiknya. "Tuan Banu sudah mengatur pengiriman untuk pagi-pagi sekali. Kita siap untuk Kontrak Primer."
"Kerja bagus, Rio," jawab Bima, menoleh ke layar lain di mejanya. Layar itu menampilkan draft press release sederhana yang ditujukan ke beberapa kanal media bisnis dan komunitas investor spesialis.
"Sekarang waktunya serangan narasi. Kita tidak hanya mengamankan pasokan, kita harus menyerang fondasi keyakinan pasar Pak Tejo," kata Bima. "Kirim ini, sekarang."
Rio membaca sekilas judul berita itu. Data kinerja Yura, volume besar yang dipulihkan, TTR yang singkat, dan kecepatan rotasi modal yang gila, semuanya tercantum secara terbuka, dilekatkan pada Kontrak Pasokan Primer yang baru dimenangkan.
{Pak Tejo memblokir aliran kita, tapi dia lupa bahwa Kekayaan Fungsional lebih cepat daripada Kekayaan Terlihat. Stok aset stagnan miliknya sekarang akan terlihat seperti sampah berdebu di mata investor yang mengejar growth.}
Di ruang kerjanya yang mewah, Pak Tejo melempar tabletnya ke sofa. Suasana di sekelilingnya yang biasanya tenang kini dipenuhi hawa dingin kemarahan.
Ia baru saja membaca berita yang disebar Bima.
“Yura Mengguncang Pasar: 500 Unit Restorasi Korporat Tuntas dalam 3,5 Hari. Menetapkan Standar Baru Rotasi Modal.”
Awalnya, Pak Tejo hanya tersenyum meremehkan, menganggapnya sebagai gertakan. Namun, saat ia melihat data angka yang terlampir (volume yang ditangani, margin efisiensi, dan yang paling krusial, referensi resmi pada Kontrak Pasokan Primer Korporat), senyum itu menghilang.
"Anak itu..." desis Pak Tejo, tangannya terkepal di sandaran kursi kulitnya.
Dia menyadari kegagalannya: ia terlalu fokus pada Asset Suppression dengan memblokir suku cadang, namun ia lupa bahwa Sistem Bima yang sebenarnya adalah senjata mematikan. Suku cadang lama yang ia anggap remeh ternyata menjadi celah.
Lebih buruk lagi, Bima kini menyerang dari sisi yang paling sensitif, narasi pasar. Stok aset fisik A-Grade yang ia timbun untuk menaikkan harga kini tampak seperti modal beku yang tidak bergerak. Ia memegang Kekayaan Terlihat yang stagnan, sementara Bima memamerkan Kekayaan Fungsional yang berputar kencang.
{Ini bukan lagi masalah pasokan. Anak itu membalikkan cermin ke pasar. Semua orang akan melihat aset saya sebagai inventaris yang mati, sementara aset Yura adalah mesin pencetak uang.}
Masalah taktis yang disebabkan oleh serangan Pak Tejo memang sudah beres. Bima telah melewati jebakan itu dengan cerdas. Namun, kini Bima telah meningkatkan permainan, mengubah pertarungan dari level taktis pasokan menjadi perang narasi. Pak Tejo tahu, ia harus bereaksi cepat atau investornya akan mulai meragukan Kekayaan Terlihat miliknya.
//////////////////////////////
Kekalahan Pak Tejo tidak datang dalam bentuk teriakan dramatis, melainkan melalui keheningan bank.
Dua hari setelah berita keberhasilan Yura tersebar luas, Pak Tejo duduk di depan meja marmernya. Ponselnya berdering. Itu adalah Manajer Pinjaman dari bank utama yang selama ini membiayai penyimpanan stok aset fisiknya.
"Pak Tejo, setelah peninjauan internal, kami melihat perubahan signifikan pada risiko likuiditas aset Anda," suara di ujung sana terdengar dingin dan profesional. "Dengan tren pasar yang menghargai efisiensi rotasi modal, stok aset yang stagnan dalam jumlah besar ini kini menjadi beban. Kami harus meminta Anda untuk mengurangi batas kredit hingga lima puluh persen."
Pembatasan kredit lima puluh persen adalah pukulan telak. Itu berarti Pak Tejo terpaksa menjual sebagian besar stok aset fisiknya dengan harga yang tidak optimal hanya untuk melunasi pinjaman, menghancurkan strategi penimbunan harga yang telah ia bangun. Kekayaan Terlihat miliknya mendadak kehilangan nilainya di mata pasar yang digerakkan oleh Kekayaan Fungsional milik Bima.
{Sistem. Anak itu menghancurkanku dengan Kekayaan Fungsional, membuat Kekayaan Terlihat-ku terlihat seperti sampah yang tak bergerak. Konflik ini selesai. Aku tak punya ruang lagi untuk menyerang.}
Sambil memegang gagang telepon, Pak Tejo akhirnya mengakui kekalahan total. Ia tidak hanya kalah dalam pertarungan pasokan, ia kalah dalam pertarungan nilai dan narasi. Konflik eksternal Bima dengan Pak Tejo sebagai pesaing utama kini telah selesai, meninggalkan Yura dengan jalur ekspansi yang terbuka lebar.
Di markas Yura, suasana tegang pasca-operasi 500 unit perlahan mencair. Bima duduk di sofa ruang tamu kecil, menyandarkan kepalanya ke dinding. Operasi militer ini telah menguras cadangan energinya.
Pintu terbuka dan Risa masuk. Ia membawa dua gelas matcha hangat dan meletakkannya di meja. Risa telah mengikuti perkembangan berita, ia tahu bahwa Bima baru saja memenangkan perang strategis besar.
"Selamat, CEO Yura," kata Risa lembut, duduk di sampingnya. "Kamu berhasil membuktikan bahwa sistem yang kamu bangun jauh lebih berharga daripada semua uang beku Pak Tejo."
Bima membuka mata dan tersenyum tipis. "Sistem Yura berhasil. Tapi sistem Bima, aku rasa, baru mencapai titik nol."
{Aku mengamankan aset non-likuid terberhaga (Dinda) dan memenangkan validasi pasar. Sekarang, aku harus memulai Fase Konsolidasi Hati. Aku tidak bisa mengurus Dinda dengan baik jika aku hanya berupa spreadsheet yang berjalan.}
Risa mencondongkan tubuhnya ke depan, mencuri pandang ke matanya. "Titik nol? Maksudmu, kamu baru mulai merasakan bahwa kamu bukan robot, tapi manusia?"
"Mungkin," jawab Bima, menatap gelas matcha di tangannya. Ia terdiam sejenak, sesuatu yang jarang ia lakukan. "Aku terlalu fokus pada Kekayaan Fungsional, sampai aku lupa bagaimana rasanya menjadi fungsional di luar angka."
Risa mengulurkan tangannya dan menyentuh lengan Bima. Sentuhannya ringan, namun mampu memecah lapisan tebal logika Bima.
"Itulah sebabnya aku ada di sini, Bima," bisik Risa, suaranya dipenuhi ketulusan. "Jaring pengaman emosionalmu. Kamu telah mengamankan nilai dan martabat. Sekarang, izinkan aku membimbingmu untuk mengamankan kebahagiaan sejatimu. Kita mulai dari sekarang."
Bima memegang tangan Risa. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa panasnya sentuhan manusia, bukan sekadar data atau kontrak.
"Tolong, Risa," kata Bima, matanya memancarkan kerentanan yang belum pernah ia tunjukkan pada siapa pun. "Bimbing aku."
Mereka berdua duduk dalam diam, kelelahan Bima berpadu dengan kehangatan dan ketulusan Risa, menandai dimulainya babak baru dalam hidup Bima, babak yang tidak bisa dihitung dengan margin keuntungan.
//////////////////////////////
Beberapa bulan berlalu sejak kekalahan telak Pak Tejo. Yura kini melaju kencang tanpa hambatan, memanfaatkan jalur pasokan yang telah terbuka dan validasi pasar yang mereka rebut. Laboratorium kecil itu telah bertransformasi menjadi markas besar yang modern, menampung total 1435 karyawan yang bekerja dalam sistem yang sangat efisien.
Yura telah menjadi brand yang terkenal di pasar korporat, simbol dari "Kekayaan Fungsional" yang mampu mengubah modal beku menjadi arus kas yang cepat. Tentu saja, total kekayaan Bima, yang tersembunyi di balik entitas-entitas korporat Yura, telah meningkat drastis.
Sementara Kekayaan Fungsional Bima membesar, hubungannya dengan Risa juga tumbuh. Risa telah berhasil menarik Bima keluar dari dunia angka semata. Mereka menghabiskan waktu bersama di luar urusan bisnis, berbagi tawa, dan keheningan yang nyaman.
Kedekatan mereka kini melampaui batas sepupu dan mentor emosional. Ada sentuhan yang lebih lama, tatapan mata yang lebih dalam, dan kehati-hatian yang berlebihan saat harus berpisah. Di mata orang luar, mereka terlihat seperti sepasang kekasih, bukan lagi anggota keluarga.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, perang batin sering terjadi di hati Risa.
{Aku adalah sepupunya, aku adalah jaring pengaman emosionalnya, tapi aku jatuh cinta pada sistem dan jiwa di baliknya. Apakah ini salah? Aku tahu Bima tidak melihatku hanya sebagai angka, tapi bagaimana jika perasaanku ini merusak proses penyembuhannya? Apakah aku egois karena ingin mengambil lebih dari peran yang telah diberikan padaku?}
Konflik itu menghantuinya setiap kali Bima tersenyum padanya, senyum tulus yang merupakan hasil dari bimbingannya. Risa merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan Bima, tetapi takut bahwa perasaannya sendiri akan menjadi variabel yang tidak terkelola dalam sistem hidup pemuda itu.
Di sisi lain kota, di ruang makan keluarga besar, kemajuan Bima disambut dengan rasa geram yang tak tertahankan. Roni, yang kini hanya menjabat di posisi kecil yang tidak signifikan, adalah yang paling merasakan kehinaan itu.
"Seribu empat ratus karyawan? Itu angka omong kosong," desis Roni saat ia membaca berita terbaru tentang Yura. "Anak sialan itu, dari mana dia mendapatkan modal sebesar itu? Itu mustahil, dia hanya sampah yang baru keluar dari utang."
Ibu Roni, dan anggota keluarga lain yang hadir, hanya bisa mengangguk dengan wajah pucat. Mereka telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Bima yang dulu mereka injak-injak, kini menjadi entitas yang tidak terjangkau. Mereka tidak bisa lagi membohongi diri sendiri. Kekayaan Bima, meskipun tidak terlihat, adalah fakta yang menakutkan.
Mereka telah menjual martabat mereka dengan harga murah, sementara Bima membeli kembali martabatnya dan membangun Kekayaan Fungsional yang sekarang menjadi raksasa di hadapan mereka. Rasa tidak percaya bercampur dengan cemburu, menciptakan kebencian beku yang hanya bisa mereka simpan di dalam hati.