Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Malam itu udara terasa dingin, angin berhembus lembut menyentuh kulit Anisa yang masih lembab setelah seharian bekerja. Tubuhnya terasa begitu lelah, tapi hatinya hangat, setidaknya hari ini ia bisa bekerja dengan baik, dan Tuan Jovan tampak puas dengan hasilnya.
Di perjalanan pulang, Jovan menawarinya untuk pulang bersama.
"Kamu pulang pakai apa?."
"Saya naik taksi online aja pak."
"Ini udah malam, saya antar saja." tawar Jovan.
"Gak usah pak terima kasih." tolak Anisa sopan.
“Kamu sudah bantu banyak hari ini. Anggap saja ini bentuk terima kasih,” ujar pria itu datar, matanya fokus ke arah jalan.
Anisa hanya mengangguk kecil. “Terima kasih, Pak” ucap Nisa yang terpaksa menerima karena merasa tidak enak pada Jovan.
Sepanjang jalan mereka hanya Diam, tak ada yang berani buka suara hingga tiba di perempatan jalan,
"Maaf pak saya turun di minimarket depan saja. Saya mau beli bahan untuk sarapan besok. Saya nanti pulang nya jalan kaki aja pak, udah dekat kok." ucap Nisa.
"Saya antar kamu sampai rumah. Nanti kalau kamu kenapa-napa di jalan, saya yang di salah kan." ucap Jovan beralibi.
"T-tapi pak, saya gak enak kalau bapak nungguin saya."
"Saya gak suka dibantah Anisa putri." tekan Jovan membuat Anisa gelagapan.
"I-iya pak."
Mobil mereka berhenti sejenak di sebuah minimarket kecil. Anisa turun untuk membeli beberapa bahan makanan. Ia berniat memasak mie instan saja malam ini sekadar penghangat perut di tengah malam yang dingin, besok pagi barulah ia memasak sarapan sekaligus bekal untuk ke kantor.
Namun, begitu Anisa keluar dari minimarket dengan kantong belanja di tangan, langkahnya langsung terhenti.
Di depan pintu, berdiri Luna bersama dua temannya.
Wajah Luna menyeringai puas, pandangan matanya tajam seperti pisau.
“Eh, eh… gue nggak salah lihat, kan? Ini beneran si anak panti yang jadi istri kontrak mas Bima?” suara Luna melengking sinis.
“Wah, hidup lo enak banget ya, Nis. Cuma modal muka polos sama acting suci, bisa numpang di apartemen mewah.” celetuk salah satu teman Luna.
Beberapa orang mulai memperhatikan. Anisa menunduk, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
“Mbak Luna, tolong jangan bicara seperti itu. Saya nggak...”
“Nggak apa, hah?” potong Luna, suaranya meninggi. “Gue tau banget kelakuan lo. Pura-pura polos di depan semua orang, tapi aslinya lo cuma numpang hidup dari duit cowok gue! Lo pikir gue nggak tahu lo sengaja nikah kontrak biar bisa makan enak?”
Anisa mengepalkan tangannya. Ia sudah terlalu sering diperlakukan rendah. Dan malam ini, entah kenapa, ia tidak mau diam lagi.
“Kamu salah, Mbak. Saya memang bukan siapa-siapa, tapi saya juga nggak serendah itu. Setidaknya saya nggak menjual diri hanya demi tas dan sepatu mahal. Dan setidaknya orang tua Mas Bima menyukai saya."
Plak...
Tamparan keras mendarat di pipi Anisa. Suara itu memecah keheningan.
"Brengsek!! Berani lo nantangin gue, Hah!!."
Luna yang terbakar amarah mendorong tubuh Anisa hingga tersungkur ke lantai, kantong belanjaannya berhamburan.
“Kurang ajar lo, ya! Berani-beraninya ngomong kayak gitu ke gue!”
Luna melangkah maju, siap menendang Anisa yang masih berusaha bangkit. Tapi langkahnya terhenti ketika suara berat terdengar dari arah belakang.
“Cukup.”
Semua kepala menoleh serempak.
Tuan Jovan berdiri di sana, dengan tatapan dingin yang tajam. Aura wibawanya membuat udara di sekitar mereka seolah berhenti berputar.
“Berani kamu sentuh dia, kamu akan menyesal,” suaranya tenang, tapi sarat ancaman.
"Anda siapa?, jangan ikut campur urusan saya. Mending anda pergi dari sini." sentak Luna, namun kemudian tatapan nya berubah menjadi mendamba saat melihat Jovan dari dekat. Wajah Jovan terpahat sempurna membuat Luna membeku.
"Lun....bukanya itu CEO Millanoz Grup?." bisik salah satu teman Luna.
"Oh..iya bener...Itu Tuan Jovandra. Gila!!! Cakep banget." timpal yang satunya.
Sementara Jopan mendekati Luna dengan tatapan tajamnya,
"Sekali lagi Kamu nyentuh dia, saya patahkan tangan kamu." ancam Jovan dengan suara datar dan dingin.
Luna langsung pucat.
“T–Tuan... ini cuma salah paham, saya cuma...”
“Saya lihat semuanya.” Tatapan Jovan menusuk dalam. “Dan saya tidak butuh penjelasan dari orang seperti kalian.”
Jovan melangkah ke arah Anisa yang masih terjatuh di tanah. Dengan lembut, Jovan menunduk dan mengulurkan tangannya.
“Kamu baik-baik saja?” suaranya menurun lembut, sangat berbeda dari nada dingin yang baru saja ia lontarkan.
Anisa menatap tangannya ragu, lalu perlahan menggenggamnya. Sentuhan itu hangat, membuat dadanya bergetar.
“S–saya tidak apa-apa, Pak…” bisiknya pelan.
Jovan membantu Anisa berdiri, lalu mengambil kantong belanja yang terjatuh. Tatapannya beralih lagi ke Luna yang kini menunduk takut.
“Kamu pikir bisa mempermalukan karyawan Millanoz Group di tempat umum begitu saja? Saya akan pastikan kalian menerima ganjaran nya.”
“Tuan, tolong jangan...” Luna berusaha meraih lengannya, tapi Jovan menepis dengan tatapan dingin.
“Kalau saya dengar kamu menyentuh Anisa lagi, bahkan menyentuh seujung rambutnya pun, kamu akan saya pastikan tidak punya tempat di kota ini.”
Glek...
"Tuan Jovan kalau marah serem banget ya."Batin Anisa.
"Ayo pulang." ucap Jovan meraih tangan Anisa, menggandengnya hingga masuk mobil membuat Anisa merasakan sengatan saat bersentuhan dengan Jovan.
Luna masih terdiam, membeku.
Sementara Jovan menuntun Anisa masuk ke dalam mobil, meninggalkan tatapan iri dan marah dari Luna yang mulai menggigit bibir bawahnya hingga berdarah.
Di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil hening.
Anisa menatap keluar jendela, mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh. Tapi suara Jovan yang dalam memecah keheningan itu.
“Mulai sekarang, kalau ada yang berani menyakiti kamu, saya yang akan turun tangan. Kamu dengar, Nisa?”
Anisa menoleh perlahan. Ada ketulusan di mata pria itu, dan entah kenapa, hatinya bergetar hebat.
“Terima kasih… Pak,” jawabnya lirih.
"Kalau kamu sudah siap untuk cerita, saya akan mendengarkan nya dengan senang hati." Ucap Jovan sebelum melajukan mobil nya.
"B-baik pak."
"Tangan itu, rasanya hangat dan nyaman. Aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelum nya. Tapi aku gak boleh baper. Mungkin saja pak Jovan seperti ini karena aku adalah sekretarisnya. Aku gak boleh berfikiran jauh. Ayo Nisa.... Lo gak boleh jatuh cinta sama Pak Jovan. Kalian itu seperti langit dan Bumi. Sadar diri Nisa..." batin Anisa menatap tangan Jovan yang tengah memutar stir, berusaha mengendalikan degub jantung nya yang sedari tadi gak wajar.
Untuk pertama kalinya, seseorang membelanya bukan karena kasihan, tapi karena benar-benar peduli.
Dan malam itu, dalam keheningan mobil yang melaju, dua hati yang sama-sama terluka mulai dipertemukan oleh takdir.
minta balikan habis ini yahhh lagu lama