Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
“menurut lu apa yang harus gue lakukan, Cia?” tanya Bianca pada Marcia yang duduk di hadapannya saat ini. Ia tidak membawa dirinya pulang ketika meninggalkan gedung counseling center tempatnya praktek tapi memutuskan bertemu Marcia di sebuah kedai kopi langganan mereka sejak kuliah.
Marcia meneguk cappucinonya sambil mencerna cerita Bianca barusan. Semua yang diceritakan Bianca dapat disimpulkan oleh Marcia bahwa temannya ini sedang jatuh cinta pada pria yang berstatus sebagai kliennya, meski secara berulang Bianca menekankan dirinya tidak menyukai Marvin tapi tatapan mata dan caranya bercerita sudah menggambarkan semuanya.
“kenapa gak di rujuk aja ke psikolog lain?” Marcia balik bertanya, menurutnya ini bukan sesuatu yang harus di pusingkan, Bianca sudah pernah merujuk kliennya kepada psikolog lain tapi mengapa merujuk pria ini untuk ditangani psikolog lain seolah sulit dilakukan wanita di hadapannya.
Pertanyaan Marcia membuat Bianca terdiam dan menerawang, menanyakan kembali kepada dirinya sendiri mengapa merujuk Marvin kepada Psikolog lain menjadi hal yang begitu sulit, tapi di dasar hatinya ia selalu merasakan ketakutan jika Marvin merasa ia menolak pria itu.
“bagaimana kalau dia yang tidak mau?” Marcia tertawa kecil, menertawakan temannya yang terkenal pintar tapi bisa sangat polos dan bodoh ketika menyukai seseorang. “kenapa ketawa? Apa yang lucu?” mendengar tawa Marcia membuat Bianca kembali bertanya.
“lu bener ga menyukai pria itu?” Bianca hampir tersedak kopinya mendengar pertanyaan Marcia yang sudah kedua kali memastikan dirinya tidak menyukai Marvin. “cerita lu barusan udah sangat menggambarkan sih, Ca. Solusinya ya rujuk dia ke Psikolog lain dan lu tetap bisa memiliki hubungan dengannya.” Lanjut Marcia menyuarakan isi kepalanya.
Sejauh ini Bianca masih merasa peran yang dia berikan ketika bersama dengan Marvin adalah perannya sebagai psikolog pendamping pria itu, karena dirinya sendiri belum mampu mengakui bahwa ia jatuh cinta.
“gue Cuma merasa kami memiliki luka yang sama-sama belum sembuh dan bisa saling menjadi reminder untuk sembuh.” Lirih Bianca ragu, ia sadar semua hal yang keluar dari mulutnya terdengar seperti sebuah alasan untuk dirinya tidak melepaskan Marvin.
Marcia mengedikan bahunya, kemudian kembali meneguk capucinonya. “sebenernya Cuma lu yang tau apa yang harus lu lakuin, Ca.” Tutur Marcia akhirnya.
Sore tadi memang tidak biasanya Bianca mengajak Marcia bertemu, mengatakan butuh teman ngobrol. Marcia yang memang memiliki waktu senggang dengan senang hati menerima ajakan temannya itu. Mendengar cerita Bianca, Marcia sempat merasa senang karena untuk pertama kalinya ia melihat Bianca kesulitan menghadapi situasi seperti ini, terhimpit diantara rekan sejawatnya yang mempertanyakan profesionalitasnya dan perasaannya sendiri, tapi di satu sisi Marcia juga tidak bisa melihat Bianca kesulitan, terlebih lagi ceritanya soal seseorang yang mengadukannya pada seniornya disana.
“Udah minta Jean selidikin siapa yang nyebarin berita dan ngaduin lu?” tanya Marcia mengalihkan fokus pembicaraan mereka yang sedari tadi berfokus pada perasaan Bianca dan pria bernama Marvin yang mampu meluluhlantakkan hati temannya itu.
“Bianca mengedikkan bahunya, “tidak tertarik mencari tahu meski penasaran juga, mau gue diemin aja kayaknya.” Marcia hanya melongo mendengar jawaban santai Bianca meski ia tahu kepala temannya itu penuh memikirkan siapa yang melakukan hal tersebut kepadanya.
“Lu emang gak berubah.” Sahut Marcia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, kebiasaan Bianca adalah mendiamkan dan membiarkan sesuatu yang terjadi padanya meskipun itu bisa menyudutkan posisinya.
*
Marvin masih menunggu, meski sejak siang pesan balasan Bianca yang ditunggunya tidak kunjung ia dapatkan. Terlebih sore tadi pesan dari Jean masuk yang mengatakan bahwa jadwal sesinya dengan Bianca ada perubahan karena Bianca berhalangan pada jadwal sebelumnya.
Wanita itu pun sedari tadi tidak membalas pesannya atau mengabarinya seperti biasa, membuat Marvin tidak berhenti berpikir akan banyak hal yang mungkin terjadi.
“kenapa melamun aja sih, bos?” seketika lamunan Marvin buyar ketika suara Leo masuk ke dalam indera pendengarannya dan membuatnya tersadar Saka dan Leo sudah ada di hadapannya.
“balik ga?” tanya Saka yang melihat Marvin tidak akan merespon pertanyaan Leo. Saat ini ketiganya sedang berada di lokasi proyek yang memang menjadi salah satu jadwal Marvin untuk memeriksanya langsung.
“saya ambil mobil dulu.” Setelah melihat Marvin mengangguk, Leo dengan segera beranjak untuk mengambil mobil.
Leo melajukan mobil meninggalkan lokasi proyek, dengan Saka yang duduk di sebelahnya dan Marvin yang duduk di kursi belakang.
“nungguin apaan sih, bos?” tanya Leo yang sedari tadi memerhatikan Marvin bolak balik memerhatikan ponselnya seolah menunggu sesuatu masuk ke dalam ponsel itu.
“tidak ada.” Jawab Marvin singkat sambil kembali memerhatikan jalan ibu kota yang macet karena bertepatan dengan jam pulang kerja.
“nungguin wanita pujaan lah, Le.” Celetuk Saka yang juga sedang sibuk dengan ponselnya.
“Bos udah punya wanita pujaan?” tanya Leo menggoda, “saya bakal punya bu bos dong bentar lagi.” Marvin hanya menatap Leo tajam kemudian kekehan terdengar dari dua orang yang ada di depannya.
“jangan menggodanya terus kalau masih mau kerja, Le.” Sambung Saka masih terkekeh, Marvin tidak memerdulikan dua orang di depannya ia tetap fokus memerhatikan jalan di luar kaca jendelanya.
“udah tau siapa yang bakal jadi kakak ipar, Ka?” tanya Leo masih melanjutkan menggoda Marvin meski yang digoda hanya diam tidak peduli.
Tawa Saka pecah, “sepertinya mantan adik kelas gue di kampus, Le.” Sahut Saka sengaja menekankan pada kata adik kelas gue saat di kampus, yang berhasil membuat Marvin menoleh ke arahnya dan menatapnya serius.
“kayaknya bener, Ka. Langsung kepancing tuh.” Sambung Leo yang sekarang mendapat pelototan tajam dari Marvin yang berhasil membuat Saka dan Leo tertawa.
“Pendekatannya jangan kelamaan, Vin. Keburu ditikung yang lain.” Ujar Saka lebih serius, sudah tidak terdengar tawa dari suaranya. Marvin terdiam mendengar perkataan Saka, ia kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi dan kembali memerhatikan jalanan yang masih ramai.
“kayaknya dia meliat gue hanya sebatas kliennya aja.” Gumam Marvin yang masih dapat didengar oleh Saka dan Leo. Mendengar setiap respon Marvin yang membenarkan mengenai wanita yang berhasil membuatnya jatuh hati membuat sesuatu bergemuruh dalam diri Saka.
Kali ini Saka tahu harapannya akan kembali pupus untuk bisa mengharapkan Bianca, karena ia sendiri tidak berminat bersaing dengan sepupunya untuk memperebutkan wanita yang sama.
“ya makanya pendekatannya jangan Cuma ngandelin waktu konsultasi doang.” sambar Saka ringan, yang langsung disetujui oleh Leo karena pemuda itu terdengar mengatakan “iya, bener bos.”
“sulit ketemu dia kalau bukan karena konsultasi.”
“kemarin kan berhasil ngajak ke rumah, Vin.” Saka terdengar mengingatkan kejadian jumat malam kemarin, dimana ia mendapati Marvin datang membawa Bianca bersamanya.
Marvin terdengar menghela nafas perlahan, tidak lagi merespon perkataan Saka, dua orang di hadapannya pun sudah melanjutkan obrolan mereka dengan topik lain. Sesekali Marvin masih melihat ke layar ponselnya yang masih hening, tidak ada tanda pesan masuk dari orang yang ia tunggu, tapi sedetik kemudian, dering ponselnya mengejutkan bukan hanya dirinya tapi juga Saka dan Leo yang langsung menoleh.
Marvin menyipitkan matanya, melihat nama yang tertera pada layar ponselnya, kemudian mengangkat panggilan tersebut.
“sore, Pak Marvin.” Sapa seorang pria di seberang sana, Fahmi salah satu penanggung jawab lapangan yang cukup ia percayai. Ia baru saja bertemu dengan pria itu ketika memeriksa proyek tadi.
“ada apa?” tanya Marvin serius, ia bisa menduga berita apa yang akan ia dapatkan dari Fahmi, karena tadi mereka sempat berbicara dan mencurigai salah satu karyawan di bagian keuangan yang sepertinya menyalahgunakan uang proyek.
“sepertinya dugaan Bapak tadi benar, Pak Marvin.” Ujar Fahmi menjawab pertanyaan Marvin.
“selidiki lebih lanjut, segera laporkan kepada saya.” Titah Marvin tegas pada Fahmi, membuat Saka sekali lagi menoleh dan menatap Marvin penuh tanya.
Marvin memijat keningnya yang terasa berdenyut, dia kecolongan dalam beberapa proyek baru karena orang-orang tidak bertanggung jawab.