Bagi Nadin, bekerja di perusahaan besar itu impian. Sampai dia sadar, bosnya ternyata anak tetangga sendiri! Marvin Alexander, dingin, perfeksionis, dan dulu sering jadi korban keisengannya.
Suatu hari tumpahan kopi bikin seluruh kantor geger, dan sejak itu hubungan mereka beku. Eh, belum selesai drama kantor, orang tua malah menjodohkan mereka berdua!
Nadin mau nolak, tapi gimana kalau ternyata bos jutek itu diam-diam suka sama dia?
Pernikahan rahasia, cemburu di tempat kerja, dan tetangga yang hobi ikut campur,
siapa sangka cinta bisa sechaotic ini.
Yuk, simak kisah mereka di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33.
Malam menjelang, langit Jakarta sudah gelap, tapi lampu di ruang kerja Marvin masih menyala. Tumpukan berkas berserakan di meja, sementara layar laptop menampilkan jejak transaksi yang mencurigakan. Matanya menatap tajam ke arah nama yang muncul di laporan, A. Mudi Consulting. Semakin dibaca, semakin jelas bahwa semua arus dana palsu itu mengarah pada satu nama yang sama.
Marvin menekan tombol interkom di mejanya.
“Dira, masuk sebentar.”
Tak lama kemudian Dira datang membawa secangkir kopi hitam. “Masih lanjut kerja, Pak?” tanyanya hati-hati.
Marvin hanya menatap layar dan bergumam, “Aku butuh semua dokumen kerja sama dengan perusahaan Mudi. Lengkap. Termasuk yang pernah ditandatangani oleh divisi keuangan dan PR dalam tiga bulan terakhir.”
“Baik, Pak. Tapi … boleh saya tanya sesuatu?”
“Tanya saja.”
“Kalau dugaan Anda benar, artinya Bu Anita menjebak perusahaan ini dari dalam, kan?”
Marvin mendongak, menatap Dira dengan ekspresi tajam. “Itu bukan dugaan lagi, Dir. Ini sudah jelas.”
Dira menelan ludah. “Kalau begitu … kita harus hati-hati, Pak. Keluarga Mudi punya koneksi luas. Mereka bisa memutarbalikkan keadaan kapan saja.”
Marvin berdiri, menatap keluar jendela kantor. Lampu-lampu kota berpendar di kaca. “Aku tahu. Tapi mereka lupa satu hal…” Ia menoleh, suaranya tegas.
“Perusahaan ini dibangun bukan dengan uang haram, tapi kerja keras keluargaku. Dan aku nggak akan biarkan siapa pun merusaknya, apalagi dengan cara kotor.”
Sementara itu di rumah, Nadin sedang duduk di ruang tamu, menunggu suaminya pulang. Tangannya mengelus lembut perut. Di pangkuannya, buku panduan kehamilan terbuka setengah, tapi pikirannya melayang.
Ia tahu Marvin sedang menghadapi masalah besar. Seminggu terakhir, nada bicara Marvin di telepon selalu tegang, sering kali diselingi helaan napas panjang.
Araya menghampiri dengan nampan berisi segelas susu hangat.
“Nadin, kamu belum tidur?”
Nadin tersenyum kecil. “Belum, Ma. Mau nunggu Marvin dulu.”
“Dia bilang akan lembur lagi, ya?”
Nadin mengangguk. “Iya, Mama. Tapi aku nggak tenang. Wajahnya tadi pagi kelihatan stres banget.”
Araya duduk di sampingnya, menepuk punggung menantunya dengan lembut. “Masalah bisnis itu pasti ada jalan keluarnya, sayang. Kamu fokus jaga diri dan bayi kamu dulu, biar nanti Marvin punya alasan kuat buat terus berjuang.”
Nadin menunduk, mengangguk pelan. “Iya, Ma…”
Tak lama, suara mobil terdengar di depan rumah. Nadin langsung berdiri, tapi langkahnya pelan, tubuhnya terasa berat dan sedikit pusing, Araya menahannya.
“Pelan-pelan, biar Mama yang bukain pintu.”
Begitu pintu terbuka, Marvin berdiri di sana. Wajahnya lelah, tapi matanya langsung melunak saat melihat Nadin yang menunggu di ruang tamu.
“Kamu belum tidur?” tanyanya lembut sambil menaruh tas di sofa.
“Aku nunggu kamu.”
Marvin mendekat, duduk di sebelahnya, menatap perut Nadin, lalu menatap wajahnya.
“Maaf, ya. Aku lagi banyak urusan. Tapi semua bakal beres, aku janji.”
Nadin menggenggam tangannya. “Aku tahu kamu bisa. Tapi jangan terlalu keras sama diri sendiri, Vin.”
Marvin tersenyum samar. “Aku cuma pengen jaga kalian.”
Nadin membalas senyum itu, lalu tiba-tiba berkata, “Aku masakin sup ayam, kamu mau makan dulu?”
Marvin menatapnya heran. “Kamu masak sendiri?”
“Dibantu Mama,” jawabnya sambil tersenyum lebar. “Tapi kalau kamu bilang enak, berarti itu hasil aku.”
Marvin tertawa kecil, untuk pertama kalinya malam itu wajahnya benar-benar tenang. Ia menatap istrinya lama, sosok yang kini jadi pusat kekuatannya.
Keesokan paginya, suasana rumah Alexander kembali dipenuhi aroma sup ayam yang masih tersisa dari semalam. Tapi kali ini, Nadin duduk di meja makan dengan wajah lesu, sementara Marvin sibuk menatap layar ponselnya.
“Investor dari Jepang batal tanda tangan,” gumam Marvin lirih sambil menatap layar dengan ekspresi serius.
Araya yang baru saja keluar dari dapur ikut duduk. “Masih karena sabotase itu?”
Marvin mengangguk. “Sepertinya, Ma. Semua bukti sementara masih samar, tapi aku yakin ini ada hubungannya sama Anita dan perusahaan Mudi.”
Nadin menatap suaminya, matanya sedikit khawatir. “Kamu yakin itu mereka?”
Marvin menghela napas panjang. “Dari pola dan waktu transaksi, iya. Tapi aku nggak punya bukti kuat buat nuntut. Mereka licik, sembunyinya rapih.”
“Kalau gitu, kita cari cara lain,” kata Nadin tenang, suaranya lembut tapi tegas. “Aku masih punya akses dari tim humas. Aku bisa bantu dari sana.”
Marvin langsung menatapnya cepat. “Nadin, kamu hamil. Nggak usah mikirin kerjaan dulu, apalagi urusan berat kayak gini.”
“Aku nggak bisa diam aja, Vin. Ini juga tentang nama baik keluarga kamu, dan perusahaan yang aku cintai. Aku cuma mau bantu sebisaku.”
Araya tersenyum simpul, menatap keduanya bergantian. “Kalian berdua ini … kalau udah urusan kerja, nggak bisa diem, ya.”
Marvin mendesah, akhirnya menurunkan ponselnya. Ia menatap Nadin dalam. “Oke, tapi kamu janji satu hal.”
“Apa?”
“Begitu kamu merasa capek atau mual, kamu berhenti. Langsung istirahat, nggak ada negosiasi.”
Nadin mengangkat tiga jari. “Siap, Pak Suami yang terlalu protektif.”
Marvin mendengus kecil tapi tak bisa menahan senyum. “Kamu bikin aku gila setiap hari, tahu nggak?”
“Gila karena cinta, kan?” goda Nadin sambil tersenyum manis.
Marvin menghela napas, menyerah. “Iya, iya. Gila karena cinta dan karena kamu nggak bisa diem.”
Siang harinya di kantor Alexander Corp, suasana berbeda dari biasanya. Beberapa karyawan menatap layar komputer dengan wajah tegang. Desas-desus beredar bahwa salah satu investor besar akan mencabut kerja sama dalam dua hari.
Dira, sekretaris Marvin, berlari kecil ke arah ruang CEO. “Pak, ini datanya sudah saya kumpulkan.”
Marvin menatap tumpukan berkas itu, kemudian berdiri. “Kita adakan rapat darurat sore ini. Semua kepala divisi harus hadir.”
Tiba-tiba, suara ketukan halus terdengar di pintu. Saat Dira membukakan, muncullah Anita dengan blazer putih dan senyum tenang seperti tak pernah terjadi apa-apa.
“Marvin,” sapanya lembut. “Aku dengar perusahaanmu sedang dalam tekanan besar. Aku datang bukan untuk menyulitkan, tapi menawarkan kerja sama baru. Mungkin bisa menyelamatkan bisnis Alexander Corp.”
Marvin menatapnya tajam. “Kerja sama atau jebakan baru, Anita?”
Senyum Anita melebar, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang dingin.
“Kalau kamu terus berpikir begitu, kamu akan kehilangan lebih banyak. Kadang, musuh terbaik bisa jadi penyelamat paling tak terduga.”
Marvin melipat tangan di dada, suaranya tegas tapi dingin. “Aku nggak butuh penyelamat yang menusuk dari belakang.”
Anita tersenyum miring. “Kamu terlalu percaya diri, Marvin. Tapi aku akan tunggu kamu sadar, kadang cinta dan bisnis nggak bisa berjalan beriringan.”
Sebelum keluar, Anita menoleh sekilas. “Oh ya, sampaikan salamku untuk Nadin. Aku doakan dia sehat-sehat saja…” katanya, nada suaranya menggantung, seperti ancaman terselubung.
Begitu pintu tertutup, Dira menatap Marvin cemas. “Pak … apa dia sedang merencanakan sesuatu lagi?”
Marvin tak menjawab. Ia menatap jendela, rahangnya mengeras.
“Bukan sedang. Dia sudah mulai.”
Dan kali ini, ia bertekad apa pun caranya, ia akan melindungi Nadin dan anak mereka dari permainan kotor Anita.
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍 😍 😍
semangat Nadin....halau dan hempaskan pelakor yang masuk ke dalam rumah tangga .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍